Chapter 4 - {Chapter 4}

{Chapter 4: Kedatangan}

"Selamat ulang tahunmu yang ke-10 nak, kami mengharapkan yang terbaik untukmu" Suara ibuku sambil membawa sebuah kue ulang tahun bertulis namaku dan lilin yang menyala.

"Selamat ya nak, kamu memang anak yang patuh" Ucap ayahku sambil menepuk-nepuk kepalaku.

"Terima kasih ayah dan ibu" Jawabku sambil meniup lilin yang berada di kueku.

Tiba-tiba, ayah berbisik-bisik kepada ibu, karena aku bodoh jadi aku tidak mengetahui apa yang sedang mereka lakukan.

Ibuku menggaguk dan tiba-tiba menangis, ia langsung berlari menuju kekamarnya. Ayahku langsung mendekatiku dan berlutut.

"Ayah, ibu kenapa?" Tanyaku dengan polosnya

"Kami harus pergi ke kampung halaman, nenek meninggal Torru" Jawab ayahku

"Apakah aku bole--"

"Tidak Torru, kamu tetap dirumah. Maaf meninggalkanmu sendiri disini" Potong ayahku dan langsung berlari kekamarnya, mengemas barang-barang.

Tanpa banyak kata, aku kembali duduk diatas sofaku, hanya menatap kosong kueku, yang bahkan tidak tersentuh siapapun. Orang tuaku sudah selesai mengemas-ngemas barang-barang mereka, dan mereka akan segera pergi.

Itulah momen paling menyedihkan di dalam hidupku, dan itu merupakan pertemuan terakhirku dengan mereka. Aku telah kehilangan mereka untuk selama-lamanya....

*****

"Akkhh!"

Apa itu tadi? Aku seperti bermimpi sangat indah, tapi kenapa aku terbangun? Dan dimana aku sekarang? Aku melihat sekelilingku, hanya ada puing-puing bangunan yang sudah rusak. Tunggu, puing bangunan? Mengapa ada puing bangunan di pesitaran sekolah?

Apa jangan-jangan, bom itu meledak dan mengenaiku. Tapi beruntungnya aku masih dapat bernafas sampai hari ini. Pandanganku benar-benar rusak, seperti semua yang aku lihat terlihar seperti pudding, bergerak kesana kemari, tidak stabil. Apa memang aku yang tidak stabil ya?

Aku melihat kembali gedung sekolah yang sudah kuhancurkan, benar-benar hancur. Niatku untuk mengistirahatkan satu orang malah mengistirahatkan seluruh penduduk sekolah, memang nggak ada yang namanya kebetulan, semuanya telah diatur yang kuasa.

"Mei!" Teriakku dan berlari ke arah gedung sekolah yang sudah hancur, benar-benar hancur oleh puluhan kilo peledak 'Semtex".

Dimana dia? Aku sedang mencari keberadaannya untuk melakukan 'sesuatu' yang menyenangkan. Aku harap, ia masih bisa melihat dan bernafas, karena itu yang membuatnya semakin menarik.

"T-T-Tolong! S-Siapapun, tolong aku" Teriak suara perempuan, dan yang seperti aku duga, aku pernah mendengarnya, tapi dengan nada membentak dan memaki.

Aku segera berlari menuju arah sumber suara, dan setelah aku melihatnya, itu memang dia yang berteriak tadi.

"Mei"

"T-T-Torru? Torru! Kumohon, bantu aku, aku tidak ingin mati"

*prut*

Ups, kelepasan. Saking senangnya, aku sampai-sampai buang angin disini. Dia, dia memang Mei, kali ini akan kubuat dia menderita sama sepertinya membuatku menderita.

"Menolong, tenang saja aku akan menolongmu Mei" Ucapku kepada Mei yang setengah badannya tertimpa puing reruntuhan sekolah.

"B-Benarkah?"

"Tentu saja (tidak), aku akan membantu menghilangkan penderitaanmu"

"Terima kasih, kau memang baik"

Baik? Kenapa tidak ada kata maaf disetiap kalimat yang dia ucapkan? Seperti, ia hanya menggunakanku untuk kepentingan pribadinya, yaitu melarikan diri dari maut.

Tanpa banyak berfikir panjang, aku mengambil sebuah batu, dan mulai melemparinya. Percayalah, itu sangatlah sakit.

"Akkhh!" Teriaknya setiap satu batu yang kulempar kearah kepalanya.

"K-Kenapa kau melakukan ini Torru?!" Mei bertanya, kali ini dia suaranya hampir setengah menghilang, entah karena apa itu bisa terjadi.

"Kenapa ya? Tadi pagi, aku tidak sempat sarapan, sampai disekolah pagarnya sudah terkunci, sampai kelas malah didiemin, waktu pelajaran selesai malah dipukulin, dihina, nama keluargaku lagi.

Aku tidak masalah kau menghinaku, memukuliku, atau apalah, asal bukan nama keluargaku, aku akan benar-benar membuat mereka hidup sengsara dan terasa lambat jika itu terjadi" Jawabku datar.

"Kumohon, ampuni aku, kita kan sama-sama penghuni sekolah ini, sepantasnya kita adalah sebuah keluarga"

Aku sudah muak melihat wajah sok diimut-imutin miliknya itu, aku merogoh kantongku dan menemukan sesuatu yang aku sangat butuhkan sekarang..

"TATP" Aku tidak menyadarinya bahwa aku mengucapkannya.

"Apa?" Tanya Mei

Aku mencari korek dan bensin untuk melakukan tugas menyenangkan ini, beruntung aku menemukan beberapa, walaupun tidak banyak tapi bisa menyelesaikan tugas dengan baik.

Aku mulai melumurinya dengan bensin, TATP yang tersisa diatas batu yang menimpanya, dan mulai aku mulai mengucapkan sesuatu yang dari dulu aku ingin ucapkan kepadanya.

"Mengampunimu adalah urusan tuhan, tapi mengirimu kepada tuhan itu adalah urusanku" Ucapku datar sambil memberikan senyuman, senyuman kebahagiaan.

"T-Tidak...." Jawabnya, lesu. Mungkin, ia sudah benar-benar menyesali perkataannya yang sudah lampau. Tapi, nasi sudah menjadi bubur, menyesal memang selalu diakhir.

"Selamat tinggal Mei, semoga kau kekal disana, di neraka"

Aku melempar korek api yang sudah terbakar, dan korek itu membentur batu yang terlumuri oleh bensin tadi. Dan kembang api ronde kedua dimulai lagi. Suara teriakannya benar-benar terdengar jelas, ia meminta mohon kepadaku untuk menolongnya.

Tapi aku pernah mendengar ini, 'Jika kau mengotori tanganmu untuk hal yang tidak berguna, bahkan budak lebih baik darimu'. Daripada menolong orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri, lebih baik aku mengajarinya, bahwa manusia hidup secara beramai-ramai, bukan solo-player. Kalo nolep beda ceritanya.

Saat ledakannya selesai, aku mendekati lokasi pembakaran itu dan melihatnya secara dekat. Kepalanya gosong, badannya bernasib sama dengan kepalanya., aku hanya bisa melihatnya saja, mengingat aku sangat benci melihat mayat secara langsung.

"Kayak di Auschwitz, tapi versi lokalnya" Ucapku, dan entah mengapa aku mengucapkan kalimat itu.

*bdum*

Suara apa itu? Aku tidak tahu? Kalau tidak tahu...

"Maka, mari mencari tahu!" Ucapku lagi, entah kenapa aku mengucapkan ini.

Aku mendatangi asal suara ledakan kecil tadi, itu berasal dari puing reruntuhan bertuliskan laboratorium dimana aku menciptakan 'Kembang Api' atau bom itu.

Dengan (tidak) berani, aku mendekatinya perlahan-lahan, mengingat tadi sebuah bom meledak disini secara tiba-tiba, aku tidak ingin mati duluan, banyak anime yang airing hari ini.

Aku mengecek sebuah kantong yang masih utuh, aku merogoh-rogohnya dan menemukan...

Puluhan kilo 'Semtex' lainnya, kemungkinan bisa membuat sekolah ini dua-kali lebih hancur ketimbang yang pertama. Seperti ada orang yang telah meletakannya disini, atau telah direncanakan.

*pip*

*pip*

*pip*

Sebuah receiver seperti jarum tiba-tiba mengedipkan lampu merah berulang kali, anehnya, jarum itu sama seperti jarum yang diberikan SneakkyBoi. Jangan-jangan, dialah pemimpin dari semua ini?!

"Oh sh--"

*****

Sudah lebih dari sepuluh jam setelah kepergian orang tuaku dari rumah, kini aku benar-benar kesepian, dilibur yang panjang dan tinggal sendiri, memasak, mencuci, hampir segalanya dipegang oleh kedua tanganku.

"Bosannya, menonton anime bukanlah ide yang buruk" Ucapku sambil meraih remot TV dan menghidupkannya.

"Lah, kok berita yang keluar?"

"Sebuah pesawat bernomorkan U-101 tertembak jatuh dikawasan area militerisasi pihak pemberontak. Menteri pertahanan Republik Selatan sedang bernegosiasi dengan pihak pemberontak, untuk mengizinkan mereka mengevakuasi pesawat tersebut.

Karena sedang terjadinya gencatan senjata selama satu bulan, Menteri pertahanan tidak ingin mengambil resiko yang besar" Jelas seorang pembawa acara TV menjelaskan bahwa sebuah pesawat baru saja ditembak jatuh.

U-101? Pesawat? Apa ini pesawat yang membawa Ayah dan Ibu? Aku langsung menuju kamar mereka, mencari keberadaan sebuah nota pembayaran tiket yang kemarin mereka beli.

"Tidak, tidak mungkin. Ini tidak mungkin"

Nota tersebut bertuliskan pesawat dengan nomor penerbangan U-101 menuju Federasi Utara. Tempat kelahiran Ibu dan rumah bagi nenekku yang sudah beristirahat dengan tenang disana.

Dan sekarang, Ayah dan Ibu telah menyusul nenek kesana, beristirahat dengan tenang. Aku hanya bisa menangis, kehilangan semuanya dalam hitungan hari.

*****

"Ilya! Anak kita laki-laki" Ucap seorang laki-laki

"Benarkah? Bolehkah aku mengendongnya?" Tanya perempuan itu kepada laki-laki tersebut

"Kamu Ibunya, tentu saja boleh, ngomong-ngomong kamu ingin menamainya siapa?"

"Kamukan bapaknya, masa tidak bisa menamainya"

"Aku akan menamainya Chen, untuk mengingatkanku kepada kakek besar Chen yang sangat berjasa kepada kita"

Torru adalah namaku yang dulu, kelak aku akan dikenal sebagai Chen sang perusuh...