Pria itu memandangi foto gadis yang ada dalam CV cukup lama, membuat Vano penasaran dengan apa yang sedang dipikirkan oleh bosnya.
"Apa yang harus saya lakukan selanjutnya?"
"Aku ingin kau memberiku semua informasi tentang peserta ini selama mengikuti kompetisi" Pria tersebut menunjukkan salah satu CV dari dalam map tersebut.
"Lakukan dengan hati-hati. Aku tidak ingin ada yang tahu tentang ini. Terutama Kakek" katanya lagi.
"Baik" kata Vano tanpa banyak bertanya.
"Selanjutnya, kosongkan jadwalku besok pagi. Aku ingin berkunjung ke kediaman Mahardika."
"Apa perlu saya beritahu ketua jika anda akan datang mengunjunginya? Beliau akan sangat senang mengetahui ini."
"Tidak, jangan beritau bocah tua itu."
Reflek Vano menahan tawa, meski ia sudah sering mendengar bosnya menyebut kakeknya dengan panggilan itu, tapi Vano masih saja geli setiap kali bosnya mengatakan kata tersebut.
"Baiklah, apa masih ada yang harus saya lakukan lagi?"
"Kau boleh pergi."
"Baik."
Vano keluar dari ruangan bosnya itu. Pria itu kembali menatap foto gadis yang sejak tadi mencuri perhatiannya. Ia memandang fotonya dengan senyum yang terkembang, sekilas bayangan kenangan masa lalu kembali melintas di benaknya. Itu cukup membuatnya merindukan sosok yang selama ini tidak pernah luntur barang sedetikpun dari ingatannya.
"Akhirnya waktu pertemuan kita tidak akan lama lagi. Kini aku sudah bisa berdiri tegak di hadapanmu dengan penuh rasa bangga. Aku akan segera menemuimu dengan cara yang lebih spesial" Katanya dengan senyuman yang tidak pernah surut.
Kau cukup membuatku terkejut, meski kau sudah merubah penampilan. Tapi aku masih bisa mengenalimu. Katanya dalam hati.
***
Di dalam asrama para peserta kembali ke kamar mereka masing-masing. Naya merasa lega, ia bisa bebas di kamarnya sendiri. Ini satu-satunya tempat nyaman dia selama berada di asrama. Ia tidak harus pura-pura tidak mengenal kakaknya. Berpura-pura tidak mengenal Fisa membuatnya tersiksa. Pandangannya selalu saja mengarah ke kakaknya. Permintaan kakaknya untuk tidak menyapannya cukup mengganggu pikiran Naya.
Ini malam pertamaku di asrama, untungnya pihak penyelenggara memberi tempat privasi bagi para pesertanya. Naya senang tidak harus membagi kamarnya dengan orang lain.
Naya kemudian berbaring di ranjangnya sambil memainkan ponselnya. Naya mulai mempelajari tentang berbagai pose saat pemotretan dan apa saja yang harus ia lakukan saat pemotretan. Naya nampak sangat tekun mempelajari bidang foto model ini. Ia benar-benar berjuang keras untuk dapat memulihkan perusahaan. Untungnya Naya mempunyai kepala yang mudah mengingat dan mudah mengerti sehingga tidak akan terlalu sulit baginya.
Drrrrtttttt ...
Ponselnya berbunyi, itu cukup membuatnya terkejut karena ia sedang fokus menyimak layar ponselnya. Foto tampan Putra terpampang di layar ponselnya.
Dasar! Mengagetkanku saja. Kanapa dia menelponku? Batin Naya yang kemudian segera menjawab panggilan.
"Ada apa?!" jawab Naya tak bersahabat.
"Busyet, baru juga masuk asrama tadi sore, sekarang sudah berubah judes gini? Makan apa sih lo disana?" protes Putra.
"Penting nggak? Kalau nggak penting gue matiin nih."
"Slow dikit kenapa? Jutek amat. Kenapa sih lo? Ada yang gangguin lo ya? Sini ngomong, biar gue hajar."
"Apaan sih lo. Justru lo itu yang ngeganggu gue."
"Gue? Lah kenapa jadi gue? Ah lo sensi banget. Lagi datang bulan ya?"
"Nyebelin ih. Gue lagi nggak minat buat bercanda. Cepet katakan atau gue tutup ponselnya."
"Ok, ok. Sepertinya mood lo sedang nggak bagus. Gue cuma mau bilang, selamat istirahat. Jangan belajar terus, kau juga perlu istirahat. Kesehatan lo juga penting."
"Iya gue ngerti. Tapi makasih sudah diingatkan. Sudah dulu ya? Gue harus persiapan buat pemotretan perdana besok pagi."
"Ok, selamat istirahat. Have nice dreame ya?"
"Ok, thanks."
Naya mematikan panggilan dari Putra dan kembali melanjutkan kesibukannya.
Sementara itu di rumahnya, Putra sedang berada di balkon luar kamarnya. Putra menatap ponselnya.
"Gue sudah merindukan lo Nay. Ingin rasanya malam ini gue menghabiskan waktu untuk mengobrol berdua dengan lo. Tapi sepertinya lo begitu sibuk dengan kegiatan lo sekarang. Gue harus belajar untuk bisa ngertiin lo. Gue tidak mau menghambat kegiatan lo. Yah meski gue harus menahan rasa yang tidak nyaman ini sendirian. Gue harus kuat, setelah satu bulan nanti gue tidak mau nahan diri lagi. Gue tidak akan membiarkan Naya berada jauh dari gue lagi. Untuk sekarang, gue hanya bisa mendoakan semoga lo baik-baik saja disana dan mampu menyelesaikan kompetisi ini dengan sukses."
Putra lalu memandang jauh ke atas, memandang bulan yang kebetulan sedang purnama malam ini.
Untung saja Putra bukan Pria yang posesif, yang terlalu mengekang orang yang ia sukai.
***
Keesokan harinya para peserta sudah mulai rutinitas pagi, olahraga pagi di sekitar asrama, kemudian membersihkan diri sekaligus bersiap untuk pemotretan. Setelah itu para peserta baru sarapan bersama. Kak Ana selalu mendampingi mereka, ia sudah seperti seorang kakak bagi para peserta.
"Setelah sarapan, kalian segera bersiap. Aku akan menunggu kalian di depan dalam lima belas menit. Kita akan segera menuju ke studio untuk melakukan pemotretan. Aku harap kalian akan melakukannya dengan baik karena setelah hasilnya keluar, maka dua peserta dengan nilai terendah akan tereliminasi. Harap kalian bisa pahami ini, karena pihak penyelenggara mengadakan kompetisi ini secara singkat jadi kami pun akan melakukan seleksi dengan singkat. Aku sarankan kalian tidak main-main dan lakukan setiap prosesnya dengan sebaik mungkin."
"Baik, kak" kata mereka kompak.
Sementara itu di tempat lain, sebuah rumah besar dengan perabot serba mewah. Pintu dan pilar yang kokoh menjulang tinggi. Di taman bagian belakang rumah mewah tersebut yang dihiasi dwngan berbagai macam tanaman beraneka macam jenis dan warna menampilkan keindahan taman yang serasi. Gemericik air mancur yang jatuh ke dalam kplam ikan berisi berbagai jenis ikan dengan ukuran dan warna yang beragam. Tidak jauh dari sana, di sebuah kursi santai yang terbuat dari kayu. Seorang pria dalam usia senja sedang tekun membaca koran di taman belakang rumah sambil sesekali ia terlihat menyesap kopi hitamnya.
Seorang pria berpenampilan rapi dengan pakaian kasualnya datang menghampirinya.
"Seberapa banyak darah yang ingin dinaikkan oleh bocah tua ini? Apa sudah bosan hidup?" sindir pria muda yang baru datang.
Pria tua itu langsung menengok ke arah sumber suara. Ia tidak menyangka akan melihat cucunya berada di rumahnya. Apakah ia sedang bermimpi?
"Abi? Kau kah itu? Abimanyu Mahardika, cucuku" kata pria tua itu sambil membetulkan letak kaca matanya.
Wah Abi muncul, tapi apakah ini orang yang sama? Abi pria yang disukai Naya semasa Sekolah dulu? Tapi ada apa dengan namanya? Bukankah Abi itu bernama Abimanyu Pratama? Atau jangan-jangan mereka orang yang berbeda?