Chereads / Keajaiban untuk Hati / Chapter 118 - Maka, Nikmat Tuhan-mu yang Manakah yang engkau Dustakan ?

Chapter 118 - Maka, Nikmat Tuhan-mu yang Manakah yang engkau Dustakan ?

Setelah melakukan aktivitas rutin setiap pagi, aku meninggalkan villa. Udara pantai yang segar membawa kembali makna pagi yang telah lama hilang.

Untuk sesaat membiarkan mata terpejam dan menghirup udara segar, merentangkan sayap dengan lebar seperti akan terbang.

"Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang engkau dustakan ?", bisikku pada angin yang menyapu wajah dengan lembut.

Tiupan angin ikut menggerakkan baju dan jilbab yang aku kenakan. Ketenangan menyeruak perlahan dari dalam jiwa.

Desiran angin membawa seluruh kerinduan dan kesedihan pada saat yang sama.

Perasaanku menjadi hancur sekaligus hangat, seperti kompleksasi yang sulit diutarakan.

Ayat yang diulang berkali-kali dalam Qur'an Surat Ar-Rahman itu selalu terngiang di telingaku. Benar, tidak ada nikmat yang dapat kita dustakan.

Saat itu, aku tidak pandai mensyukuri nikmat yang dianugerahkan kepadaku. Pada saat yang sama, aku juga merindukan nenek dan kakek. Mereka adalah orang yang selalu mengingatkan aku untuk berpegang teguh pada ayat ini, sehingga dapat menjalani hidup dengan penuh syukur.

Dalam hidup begitu banyak anugerah yang kita terima, tapi kita tidak menyadari itu sebagai pemberian tanpa syarat.

Setelah kehilangannya, kita baru menyadari sesuatu yang hilang itu berharga. Hal itu yang selalu dikatakan oleh alm. nenek padaku.

Kita harus merasa cukup untuk bisa bahagia dan kekayaan bukan segala-galanya. Hal yang paling berharga adalah amal ibadah, ketaatan, dan kepatuhan kepada Rabb yang memberi kita kesempatan untuk hidup.

Dengan begitu, kita dapat memaknai hidup dan belajar bersyukur.

Bagi seorang anak yang terpenting adalah taat pada perintah agama dan orangtua, serta menjaga nama baik keluarga.

Dulu nenek selalu mengulang-ngulang nasehatnya itu padaku.

"Ya Allah, tempatkanlah ia di tempat yang terbaik di sisi-Mu. Jauhkanlah ia dari siksa api neraka dan jadikan alam kuburnya seperti taman surga", hanya doa itu yang dapat aku hadiahkan untuknya sebelum suatu hari menyusulnya.

Perlahan ada setitik air yang jatuh membasahi pipi. Setitik air mata kerinduan yang tidak lagi menemui ujungnya.

Kerinduan itu lebih sering bertaut di langit bersama doa yang selalu aku hantarkan untuknya.

Bahkan terkadang aku merasa berdosa karena lebih menyayangi nenek daripada ayah dan bunda. Tapi begitulah hati, tidak berdusta.