Tiba-tiba Hanan datang, aku baru menyadari kehadirannya setelah dia berdehem beberapa kali. Aku meliriknya sekilas, lalu melanjutkan makan. Tapi dia masih saja berdiri dalam diam yang panjang.
"Duduklah, jangan berdiri!", ucapku sambil menarik kursi dan mengambil tongkatnya.
"Along kenapa, tak kan dengan angah pun nak jealous ?", ucap Harraz yang kini meneguk minuman.
Dia hanya duduk dan tidak mengatakan apapun. Perasaan aneh mulai mengganjal di hatiku saat dia berubah jadi pendiam. Atmosfer seperti ini sama sekali tidak nyaman.
Aku mencoba melakukan sesuatu untuk mencairkan suasana. Mungkin saja perbuatan ini akan menjebakku semakin dalam menuju dasar gulungan badai dan sulit melepaskan diri dari sana.
"How was the taste?", tanyaku usai menyuapinya nasi goreng yang tersisa.
"Not bad", jawabnya.
Aku juga menyuapi Ryan yang baru saja bergabung di meja makan dan menanyakan hal yang sama padanya. Dia tidak menjawab pertanyaanku dan membuat tatapan hampa.
"Along dan bang Ryan dah lunch, so jangan kacau orang yang tengah lapar boleh tak ?", ucap Harraz yang langsung menghabiskan nasi goreng yang masih tersisa.
Dia membawa piring kosong ke dapur, lalu kembali ke meja makan setelahnya. Meski telah menyudahi makan siang yang terlalu lewat waktu, tapi aku tidak meninggalkan meja makan.
Suasana tidak mendukung untuk pergi sekarang karena mereka masih duduk di sana.
Suara adzan dari aplikasi handphone menyelamatkan aku dari situasi yang tidak kondusif itu. Aku meninggalkan mereka, beranjak kembali ke kamar untuk mandi dan menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim.