Di akhir perayaan itu, semua orang menyerahkan hadiah. Tidak terkecuali dengan Ryan dan Harraz yang sebelumnya tidak tahu tentang acara surprise party ini.
Hanya aku yang tidak memberi apapun, sehingga Hanan menyindirku secara terang-terangan. Aku beralasan tidak menyiapkan kado karena sama sekali tidak tahu tentang perayaan ulang tahunnya.
"Kak Ara sedia buat cake dah bagus, along nak lebih-lebih pula", bela Hani.
Hani benar-benar pembela sejati, adik perempuan idaman. Perkataannya membuat Hanan terdiam sesaat dan kembali tersenyum beberapa saat kemudian.
"Thank you, cake-nya sedap", bisiknya.
Aku hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. Aku sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Entah mengapa, perasaanku sangat hancur. Mood-ku benar-benar berantakan.
Aku hanya menatap Ryan yang tengah duduk di samping Hanan dalam diam. Dia bahkan tidak melihatku, tapi yang aku lakukan malah sebaliknya. Merenungi wajahnya, mencoba mencari jawaban, tapi tidak mendapatkan apapun, selain kekecewaan.
Kesal, marah, kecewa, semua rasa bercampur-aduk, aku benar-benar merasa tidak berharga baginya. Aku ingin menangis tapi air mataku telah kering hanya untuk menangisinya.
Aku telah menghabiskan banyak waktu, menunggu, menanti, dan mengharapkan hatinya. Tapi apa?
Baginya, aku hanya seseorang yang bisa diserahkan kepada siapapun.
Seperti ini rasanya benar-benar patah, seperti ini rasanya memperjuangkan hati yang tidak pernah memihak padamu.
Sesakit itu..
"Ara, are you okay?", tanya Hanan.
Aku hanya mengangguk.
Percuma.
Penjelasan tidak akan menyelesaikan apapun. Lebih baik menyimpan sesak hati seorang diri.
"Ara nampak tak seberapa sihat. Are you tired?", tanyanya lagi.
"Ehm, agaknya saya lelah", ucapku sambil memegang kening, lalu pamit meninggalkan mereka semua untuk istirahat.
Sebelum pergi, untuk sesaat mataku dan Ryan beradu tidak lebih dari satu detik. Lebih tepatnya aku memilih menghindari matanya.
Ketika dia menatapku, aku tidak bisa membalas tatapan itu karena bisa saja semua yang terpendam di hati akan terkuak bersama seluruh emosi yang coba kutahan dengan segenap usaha.
Aku tidak sakit.
Aku tidak terluka.
Aku tidak tersakiti.
Tidak secara fisik, tapi hati.
Seandainya saja Ryan mengerti. Seandainya saja Ryan tidak berpura-pura bodoh. Seandainya saja Ryan tidak mencoba mengabaikan perasaanku.
Kenapa?
Kenapa aku merasa benar-benar tertolak, bahkan sebelum sempat mengatakan apapun padanya.
Mengapa sesakit ini rasanya, Tuhan?
Mencintai begitu dalam, tapi perasaan itu bahkan tidak terbalas.
Mengapa manusia selalu tahu cara menyakiti?
Tidak, bukan.
Mengapa Ryan selalu bisa menyakitiku tanpa pernah melakukan apapun?
Amukan dan gejolak batin itu hampir mampu membunuhku dari dalam.
Saat itu juga, tepat ketika mata kami bertemu.