Aku hampir melupakan acara makan malam untuk merayakan wedding anniversary orangtua Ryan. Untung saja Ryan mengingatkanku via telepon.
Ah, akhir-akhir ini, pikiranku benar-benar kacau. Aku melupakan banyak hal, aku merelakan berbagai hal, tapi kesulitan melupakan sesuatu yang ingin aku relakan.
Lebih dari satu jam menunggu tapi Ryan tidak terlihat. Keterlambatan tidak menggambarkan dirinya, ini di luar kebiasaan.
Dia disiplin dan tepat waktu, tapi kali ini dia seperti mengulur waktu. Biasanya, sebelum waktunya dia sudah muncul di depan pintu kamarku.
"Ara, sudah siap keh belum ?", tanya Mak Mah yang baru saja ke kamarku.
"Udah Mak Mah, tapi bang Ryan belum jemput kan", jawabku.
"Ryan, dah tunggu dekat luar", sahutnya.
Aku melongo heran sebelum bayangannya menghilang dari balik pintu. Kemudian, Mak Mah langsung pergi bersama Pak Ali.
Aku meninggalkan kamar dan menemui Ryan di ruang tengah. Benar-benar aneh, biasanya dia akan langsung muncul di depan pintu kamar.
"Joom!", ucapnya dengan intonasi datar seraya bangkit dari sofa.
"Abang marah ya ?", tanyaku.
"Jawab dulu!", lanjutku dan refleks memegang lengannya.
Dia sama sekali tidak menanggapi dan terus berjalan. Dia tidak mengubris ucapanku, lalu memindahkan tanganku yang masih melingkari lengannya.
Ah, dia benar-benar serius mengabaikanku. Kemudian membuka pintu mobil, memberi isyarat padaku untuk masuk. Aku menurut, meski kebingungan dengan sikap dinginnya.
Dia duduk diam mematung dengan posisi tangan siaga di atas setir. Aku menyerah, tidak lagi memaksanya bicara.
"Tolong ambil kotak di belakang", ucapnya memecah kesunyian.
"Bukalah!", komandonya setelah aku meraih kotak yang dimaksudnya.
Setelah itu, dia langsung menyetir. Aku membuka kotak sesuai perintah, ternyata berisi coklat favoritku.
Coklat itu satu per satu menghilang dalam mulut, aku menikmatinya tapi tidak berterimakasih. Anggap saja, setimpal, dia mengabaikanku tanpa alasan ataupun kesalahan.