"Ara, mau makan apa ?", tanya Aunty Meera setelah aku duduk.
Mendengar ucapannya, Hanan protes karena ibunya mengabaikannya dan hanya fokus padaku. Aku tidak menganggap itu sebagai kecemburuan karena dia tersenyum setelah mengatakan hal itu.
"Dengan Ara pun nak jealous ?", goda ibunya.
"Mau makan apa, biar saya ambilkan", tanyaku sambil meraih piring di hadapan Hanan.
Reaksi Hanan berubah seketika, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu; langsung mengarahkan jemarinya pada beberapa menu makanan.
Aku meletakkan makanan yang diinginkannya ke piring. Segurat senyuman muncul dari wajah Aunty Meera, aku tidak sengaja menangkap momen itu.
Sekali lagi aku menyadari ini adalah kesalahan berikutnya, a fake chance.
"Adek dah selesai exam. Jom bercuti dekat Phuket hujung minggu ni", ucap Hani yang baru saja bergabung di meja makan.
Aunty Meera melirik Hani, kemudian mereka kompak melirik Hanan yang seolah tidak mendengar apapun; fokus menyantap makanan tanpa menghiraukan sinyal ajakan adiknya.
Tiba-tiba Hani menyenggol lenganku, berbisik agar aku membujuk Hanan. Aku menggeleng keberatan karena tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam permasalahan keluarga mereka.
"Along, boleh tak ?", tanya Hani.
Dia sama sekali tidak bergeming atas pertanyaan adiknya. Diamnya tidak dapat dijabarkan sebagai bentuk persetujuan, sebaliknya itu adalah penolakan.