Hanan sudah berada di sampingku ketika aku tersadar dari lelap sesaat. Aku mulai memejamkan mata sejak dilanda kebosanan akut karena hanya duduk mematung di hadapannya yang tengah melakukan pekerjaan.
Atau, mungkin saja aku sedang ingin melarikan diri dari kekusutan seperti sebelumnya.
"You sleep like a baby, comel", ucapnya.
"Sorry, Ryan called you a few minutes ago. That's why..", jelasnya sambil menyerahkan kembali handphone-ku.
"It seems that your life looks so boring in every single thing", lanjutnya seraya mengedarkan pandangan pada layar handphone-ku yang berlatarkan sketsa monokrom sederhana.
"If I'm not mistaken, white have represented people with no emotion since prehistoric period. Are you one of them ?", lanjutnya.
Aku tidak menanggapi kecerewetannya karena emosiku sering tidak stabil ketika baru bangun tidur, meski itu hanya lelap sesaat.
Aku merubah posisi duduk, menegakkan badan, memejamkan mata sekitar 30 detik untuk mengembalikan seluruh jiwa yang baru saja mengembara. Lalu, melirik jam seperti biasa; sudah memasuki waktu dzuhur.
Dia langsung mengerti dan menyuruhku menggunakan kamar yang pernah aku tempati pada hari kecelakaan. Tanpa menunggu lama, aku beranjak bangkit.
"Ryan asked you to call him back", ucapnya ketika aku baru akan berdiri.
"Emm…", sahutku lalu pergi.
__________________
Shalat merupakan jawaban yang lebih baik dari tidur; menyandarkan hati hanya pada Allah dalam untaian doa dan pengaduan adalah solusi terbaik untuk semua permasalahan yang dihadapi manusia.
Kali ini aku menangis, ada bongkahan batu yang hancur dalam hati. Perasaan ini hadir bukan karena Ryan, tapi karena satu kesalahan fatal. Aku yang tidak pernah bisa merelakan, tidak mampu melepaskan perasaanku terhadapnya.
Seringkali namanya bertaut dalam untaian doa yang kulangitkan bersama kekacauanku. Meski itu adalah pemaksaan, meski itu salah, aku masih mengharapkannya, masih menyebutnya dalam doaku.
Suara ketukan pintu menyadarkanku dari seluruh kekacauan panjang yang semakin hari semakin mengusik ketenangan hidup. Aku meninggalkan seluruh kesedihanku, lalu menghampiri Aunty Meera yang menungguku di depan pintu.