Pembicaraan kami terhenti karena asisten rumah tangga datang membawa minuman.
Dia meraih gelas dan menghabiskan minumannya sekali teguk.
Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya yang terkadang seperti anak kecil, sesekali akan sangat mengayomi seperti seorang laki-laki dewasa, meski tindakan-tindakannya seringkali sangat menyebalkan dan menguras kesabaranku yang memang sangat terbatas.
Pembicaraan kami tidak berlanjut lebih jauh karena dia mengalihkan perhatian pada laptop dan berkas-berkasnya.
Kali ini aku percaya, dia adalah seorang workarholic. Tatapannya serius dan tajam menatap layar laptop, jarinya bergerak cepat di atas keyboard.
Pasti akan membosankan menghabiskan waktu bersama orang sepertinya. Sekarang saja aku merasa benar-benar bosan duduk mematung di hadapannya.
Ironis, bagaimana bisa perempuan secantik Bella jatuh cinta pada manusia membosankan ini.
Berusaha mencari jawaban, tapi berakhir buntu.
Jika Bella mencintainya karena kekayaan, masih banyak orang yang lebih kaya. Bella juga sudah cukup kaya dengan warisan dari orangtuanya.
Jika ketampanan yang menjadi alasan, masih banyak orang yang lebih tampan. Kehebatannya juga tidak seberapa jika dibandingkan dengan laki-laki hebat lainnya.
Tidak ada alasan khusus, karena cinta tidak pernah logis. Aku berakhir buntu dan berhenti mempertanyakan berbagai alasan.
Aku menutupnya dengan prasangka bahwa Bella mencintai Hanan tanpa alasan. Dia hanya jatuh cinta, perasaannya tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Perasaan itu tulus, dalam, dan sulit ditepikan.