Aku tidak mengubris dan berjalan mendahuluinya. Dia mengikuti dengan langkah pelan, tapi kemudian aku mendengar rintihan kesakitan.
Hanan terpeleset dan jatuh ke lantai. Rasa iba yang masih tersisa mendorongku kembali padanya.
"Are you ok ?", tanyaku dan dia hanya mengangguk.
Setelah membantunya berdiri, aku berjalan beriringan dengannya untuk memastikan dia tidak akan terjatuh lagi. Tolong dicatat ini bukan perhatian, tapi pertanggungjawaban.
"Mau saya ambilkan minum ?", lanjutku seraya bangkit, tapi tiba-tiba dia menarik tanganku hingga aku tertarik kembali ke posisi semula.
"Maaf", ucapnya lalu memindahkan tangannya.
"Tak payah, biar bibi yang buatkan", lanjutnya.
Lebih baik menurutinya daripada harus terus berdebat. Kali ini bukan karena takut akan perdebatan yang tidak berujung, tapi aku hanya takut kebencian terhadapnya semakin menjalar.
Sungguh, aku tidak ingin membencinya, tidak ingin membenci siapapun dalam hidup.
"Hanan", panggilku.
"Iya, saya", jawabnya.
"Nothing", jawabku urung bertanya.
Dia hanya tersenyum menanggapi. Mungkin saja dia bisa menebak tentang pertanyaan yang ingin aku ajukan atau hanya ingin tersenyum.
Berbeda denganku yang masih memendam rasa penasaran yang berkecamuk dalam diriku.
"I've something to tell you", ucapnya.
"If it's too hard for you to be my future wife, I'll never force you. But at least, gives me a chance to be a friend", lanjutnya.
Aku terdiam seketika, bukan karena marah tapi merasa aneh.
Kebingungan menghanyutkanku secara perlahan dalam diam. Ada banyak hal aneh yang seakan dapat mengubah rencana dan cerita hidupku di masa depan.
Berbagai peristiwa seperti telah terencana dengan baik. Pertemuan-pertemuan yang serba kebetulan telah menyeretku dalam cerita yang panjang.
"Ok, let's be friend", jawabku.
Jika dia menginginkan sebuah kesempatan, dia seharusnya paham yang dibutuhkan Bella juga sebuah kesempatan untuk merebut hatinya. Seharusnya dia memberi kesempatan sehingga memperbesar peluang agar mereka bisa bersama di masa depan.
"What do you think about B-bella ?", tanyaku agak ragu.
"I think, Bella need a chance…", lanjutku mencoba memberanikan diri.
Meski perkataanku belum tuntas, dia memahami arah pembicaraanku. Mungkin ini terkesan memaksakan hati, tapi semua orang berhak mendapatkan kesempatan untuk dicintai dan mencintai.
Manusia tidak akan pernah mengetahui bagaimana sebuah akhir sebelum mencobanya. Begitu juga dengan perasaaan yang mungkin saja berubah sewaktu-waktu.
Hati manusia mudah digoyahkan dan dapat dibolak-balikkan. Jadi jangan mencintai atau membenci sesuatu secara berlebihan karena bisa jadi perasaan itu berbalik arah.
"A fake chance will hurt you more", ucapnya.