Chereads / Al Kahfi Land 1 - Menyusuri Waktu / Chapter 28 - Menyusuri Waktu

Chapter 28 - Menyusuri Waktu

Depok, 1999

Dewi tidak pernah tahu, bahwa Angga ada dalam peristiwa kecelakaan yang membuat ayahnya pergi untuk selama-lamanya itu. Yang ia tahu, ia mendadak merasa sendiri. Ibunya menyusul ayahnya seminggu kemudian. Angga dan Andi yang ia harap mampu menguatkan hatinya, tidak muncul pada saat pemakaman kedua orang tuanya..

Sejak itu Dewi tinggal di rumah Tante Lina di Depok. Tante Lina meminta Dewi merahasiakan keberadaannya dan melarangnya berhubungan dengan siapa pun yang berkaitan dengan masa lalunya di kota Bandung karena trauma dengan kejadian yang telah menimpa Pak Nata,

Mulai saat itu Dewi yang tadinya hidup senyaman putri raja, kini harus menjalani hari sebagai Widi yang hidup serba kekurangan..

*****

Depok, 1999 - 2001

Widi tidak punya uang untuk melanjutkan kuliah dan tidak mau menjadi beban, ia segera mencari pekerjaan. Walaupun hanya mengantongi ijazah SMA, perempuan cantik dan mampu berkomunikasi dengan baik tentu mudah mendapat pekerjaan jika tidak terlalu pilih-pilih. Widi diterima bekerja menjadi sales di perusahaan dealer mobil mewah.

Awalnya semua berjalan lancar, sudah satu tahun ia bekerja tanpa masalah. Tiba-tiba ia punya atasan baru yang mengarahkan anak-anak buahnya mau menghalalkan segala cara untuk mencapai target penjualan, terutama para wanita yang cantik. Widi tidak suka dengan arahan ini, ia memilih keluar.

Kali ini nasib baik seolah menjauhinya. tidak ada satu pun perusahaan menjawab lamarannya. Widi resmi jadi pengangguran. Status baru ini membuka mata Widi, ia baru sadar bahwa keluarga ini sebenarnya tidak sanggup menampungnya. Tante Lina cuma pedagang kecil di pasar tradisional dan suaminya tukang ojek. Kebutuhan dasar keluarga ini saja tidak bisa terpenuhi, apalagi ditambah seorang pengangguran, ia merasa jadi benalu.

Keluarga Pak Nata berjiwa sosial, tetapi karena keluarga Tante Lina tidak pernah menceritakan kesusahannya, maka Pak Nata menganggap kondisi ekonomi mereka baik-baik saja.

Rumah kontrakan kecil Tante Lina, gentengnya sudah bocor di sana-sini, eternitnya banyak yang telah lepas sehingga sebagian genteng terlihat dari dalam, warna dinding kusam, semua barang elektronik seolah jadi pajangan karena tidak berfungsi. Widi tidak tahu Tante Lina berhutang untuk membuat kamar Widi nyaman, padahal ia, suami dan 2 anaknya tidur dalam satu kamar dengan beralas kasur gulung tipis.

Widi menyesal tidak membantu keluarga ini saat ia masih bekerja. Keluarga Tante Lina biasa makan seadanya, sekedar perut terisi. Ia sering melihat Tante Lina dan suaminya makan hanya dengan nasi yang disiram sedikit minyak bekas menggoreng telur untuk anak-anaknya.

Saat ini cuma tenaga yang bisa Widi sumbangkan. Dengan motor yang dibelinya saat masih bekerja, setiap hari Widi menugasi dirinya mengantar-jemput dan menemani Tante Lina berdagang di pasar.

Kehadiran perempuan secantik Widi di pasar tradisional, tentu membuat Tante Lina mendapat banyak pelanggan, lagi pula ia pernah jadi pelobi handal saat di kampus. Sayangnya, muncul juga dampak yang membuatnya tidak nyaman.

Cantik-cantik kok kerja kaya begini? Mendingan jadi mantu ibu, anak ibu kerja kantoran lho.

Tawaran ini bukan hanya datang dari ibu-ibu pelanggan, bahkan Koh Akiong, pemilik toko kelontong, mulai menawarkan hadiah untuk Widi melalui Tante Lina. Entah ingin menjodohkan Widi pada anaknya atau dirinya sendiri.

Untungnya Tante Lina cukup bijaksana, ia tegas menolak upaya-upaya suap dari bapak-bapak genit, tetapi ia sulit meredam upaya-upaya paksa ibu-ibu militan yang ingin menjadikan Widi menantu.

Widi berpikir keras mencari solusi hingga melahirkan ide memodifikasi penampilannya agar tidak terlihat menarik.

Widi tidak pernah lagi mencopot helm cetoknya, walau sudah turun dari motor. Ia memangkas rambut panjangnya yang indah menjadi sebahu dan selalu dikuncir. Widi meminta jaket motor kumal milik suami Tante Lina yang lusuh dan gombrong di badannya menjadi seragam wajibnya. Kamuflase inilah yang akan menjadi identitas barunya.

Sudah tahu dari mana jaket legendaris yang dilihat Erlangga berasal?

Tingkat popularitas Widi berdasarkan kelebihan fisik turun drastis, tetapi popularitas talenta yang selama ini tersembunyi malah meningkat pesat.

Selama berada di pasar, Widi sering membantu membenahi penataan barang dagangan para pedagang hingga mendesain ulang toko-toko dengan mengandalkan benda-benda yang sudah ada. Widi telah mengubah pasar yang semrawut menjadi apik seperti layaknya pasar swalayan dan unik seperti galeri seni.

Kemudian dari mulut ke mulut menyebarlah bahwa urusan desain ruangan, Widi solusinya! Toko-toko yang lebih mapan di ruko seberang mulai mencarinya, sehingga Widi mulai punya penghasilan yang lumayan.

Widi sangat menikmati pemandangan lahapnya selera makan keluarga ini saat ia pulang membawa bungkusan makanan, mendengar teriakan histeris keponakannya saat ia membelikan mainan. Kebahagiaan kecil ini membuat Widi sejenak melupakan kesedihannya. Widi memang pantas bersedih, dia telah kehilangan orang tua, laki-laki yang dia cintai, kuliahnya, bahkan cita-citanya untuk menjadi arsitek.

Cuma keajaiban Tuhan yang bisa mengangkat derajat hidupku. Dimana Tuhan?

Pertanyaan tentang Tuhan, kembali membuat Widi teringat pada Angga.

Angga, biasanya kamu selalu punya jawaban tentang Tuhan. Bukankah alam semesta yang luasnya tak terhingga ini bisa diangkatNya? Kenapa Dia tidak mau mengangkat derajat hidupku, bukankah aku sangat kecil?

Dalam lamunannya, Angga seolah muncul dan berkata. Bukannya kamu yang malah kembali menjauh setelah kamu kecewa dengan keputusanNya? Kamu kan sadar bahwa kamu sangat kecil, tapi kenapa kamu tetap terus mengandalkan dirimu sendiri? Mendekatlah lagi! Mohonlah keajaiban itu datang kepadamu..

Renungan itu membuat Widi kembali mendekatkan diri pada Tuhan. Ia mulai rutin menjalani sholat lima waktu, bahkan hampir tidak pernah melewatkan sholat dhuha dan sholat malam. Puasa senin-kamis juga telah menjadi kebiasaannya.

Pelan-pelan kebiasaan baru Widi mulai diikuti juga oleh keluarga ini. Rumah yang tadinya suram karena kering dari agama, mulai menampakkan cahaya.

Depok, 2001-2004

Waktu terus bergulir, hampir dua tahun Widi berada di rumah Tante Lina.

Widi memang rajin menjalankan ibadah, tetapi ia belum bisa membaca Al Qur'an. Ingin belajar, tetapi malu, ia merasa usianya sudah terlambat untuk memulai.

Di suatu pagi, Widi mengendarai motor mencari tempat belajar mengaji yang aman. Maksudnya, supaya tidak bertemu dengan orang yang ia kenal.

Setiap ada masjid, ia berhenti. Menurutnya di masjid pasti ada tempat belajar Al Qurán. Sayangnya setiap berhenti, ada saja yang menyapanya, kalau tidak tetangga, orang-orang pasar, sehingga ia terpaksa melanjutkan lagi perjalanannya mencari masjid yang lebih jauh.

Widi terus mencari hingga menemukan kawasan hutan pinus. Ia jadi penasaran ingin tahu sampai sejauh mana akhir hutan ini. Di tengah perjalanan ia melewati gerbang besar dengan tulisan Al Kahfi Land. Widi terus menyusuri jalan hingga bertemu area pemukiman dan sebuah masjid.

Widi memarkir motornya di bawah pohon besar, di samping motornya ada sebuah mobil mewah parkir yang juga mengincar pohon.

Widi masuk kedalam masjid, ia bertanya pada dua perempuan yang baru selesai Sholat Dhuha. Perempuan itu memberi tahu masjid ini punya jadwal rutin pelajaran Iqra untuk orang dewasa.

Widi menyempatkan sholat dhuha, usai sholat, saat berdoa ia tidak sengaja mendengar percakapan dua perempuan tadi.

"Kasihan ya Ustadza Ida, guru ngaji kita, dia dan bayinya belum boleh pulang, masih ditahan bagian administrasi rumah bersalin, uangnya kurang 2 juta," kata perempuan berhijab putih.

"Iya, simpanan aku cuma ada 1 juta, kamu punya setengahnya lagi?" tanya perempuan berhijab biru.

"Kalo seminggu lagi Insya Allah ada, sekarang kan masih tanggal tua," jawab perempuan berhijab putih.

Widi memiliki uang 2 juta rupiah dalam tasnya, rencananya itu untuk uang muka membeli komputer, sisanya akan ia cicil. Widi mengeluarkan amplop berisi uang dari dalam tasnya dan menghampiri dua perempuan itu.

"Assalamu'alaikum," sapa Widi.

"Wa'alaikumussalam," sahut kedua perempuan berhijab.

"Maaf, boleh enggak saya nitip uang untuk guru ngaji itu?" tanya Widi.

"Oh, mbak kenal?" tanya wanita muda berhijab biru.

Widi menggeleng sambil menyerahkan amplop tersebut. "Mudah-mudahan cukup, saya pamit dulu ya, assalamualaikum," ujar Widi sambil meninggalkan dua perempuan itu.

"Wa'alaikumussalam, jazakillah khairan," ucap salah satu dari perempuan berhijab itu pada Widi yang telah menjauh.

"Ya Allah baik banget orang itu, mudah-mudahan segala urusan dia juga dimudahkan Allah," ujar salah satunya.

Saat keluar masjid, dari kejauhan Widi melihat seorang laki-laki pemilik mobil yang parkir di dekat motornya. Ia bicara lewat telepon genggam yang menempel di antara telinga dan pundaknya sambil memasukkan dokumen-dokumen miliknya dari atas jok motor Widi ke dalam mobilnya.

Orang itu terlihat sangat terburu-buru, sehingga mapnya tertinggal di atas jok motor Widi. Widi membaca tulisan pada map yang tertinggal itu.

Santoso, Al Kahfi Land.

Widi menunggu sekitar 10 menit. Karena orang yang ditunggunya tidak muncul, Widi memutuskan mengantar dokumen tersebut.

****

"Map ini berisi lamaran kerja para arsitek yang sudah saya sortir, kalau tadi hilang, bisa pusing saya. Atasan saya butuh cepat. Mbak Widi bekerja atau kuliah?" tanya Santoso.

"Saya masih mencari pekerjaan, Pak," jawab Widi apa adanya, tanpa bermaksud meminta imbalan.

"Sebagai?" tanya Santoso.

"Saya ingin menjadi arsitek," jawab Widi.

"Wah kebetulan. Kamu lulusan kampus mana?" tanya Santoso

"Saya belum lulus, tadinya sempat menjalani 4 semester di ITB, tetapi sekarang sedang macet, Pak.".

"Oh, macet kenapa?"

"Saya harus bekerja supaya enggak macet," jawab Widi diplomatis.

"Wah sayang, padahal kalau kamu sudah lulus, kamu bisa melamar di sini, mumpung sedang mencari arsitek," ujar Santoso.

"Kalau boleh, apa enggak sebaiknya diuji dulu, Pak?"

Santoso mengangguk-anguk sambil mengamati Widi. Anak baik ini butuh kesempatan.

Tiba-tiba seorang laki-laki muda masuk ke ruangan Santoso.

"Eh sorry San, gue enggak tahu lu lagi ada tamu," ujar Desmond.

Tadinya Desmond ingin keluar lagi, tetapi setelah melihat penampilan Widi, ia merasa tidak perlu sopan pada tamu yang tidak penting.

"Gimana, kapan gue bisa dapat lagi calon arsiteknya? Pusing gue, semua calon dari gue ditolak Erlangga! Padahal katanya harus cepet. Dasar arsitek lokal sok tahu, cuma bikin gedung kaya gini aja, bangga bener," keluh Desmond.

"Kebetulan sekali Pak Desmond. Ada waktu untuk interview tamu saya? Memang belum lulus, tapi sebaiknya Bapak lihat dulu kemampuannya, Pak Desmond kan lebih mengerti urusan arsitektur," pinta Santoso.

Desmond tertawa sambil memandangi Widi dengan wajah meremehkan. "Gue sibuk. Oke, gue tinggal dulu, ya."

Desmon memberi kode agar Santoso mengikutinya. Santoso pun menghampirinya.

"Lu mabok dimana semalam, San? Lulusan kampus dari luar negeri aja, ijazahnya di lempar Erlangga di depan muka gue. Eh, elu kasih gue tamatan SMA," ejek Desmond.

Desmond meninggalkan Santoso sambil tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala.

Santoso kembali menemui Widi dengan perasaan tidak enak. Ternyata Widi tmalah tertantang untuk membuktikan dirinya mampu.

"Pak, saat melihat bangunan ini, saya yakin Pak Erlangga yang namanya tadi disebut, pasti arsitek hebat. Saya enggak masalah dianggap tidak memenuhi syarat, tapi saya berharap diizinkan menggambar sketsa bangunan di atas pulau yang masih kosong itu dan diberikan kepada beliau. Saya harap Bapak berkenan," ujar Widi.

Santoso menangkap energi besar dalam diri Widi dan tertantang untuk menguji intuisinya dalam menilai potensi SDM. Desmond harus dikasih pelajaran atas kesombongannya, aku yakin Widi bisa.

"Oh, tentu! Saya akan carikan kamu tempat yang tenang untuk menggambar, tapi sebelum itu saya akan mengajak kamu keliling, supaya bisa membaca selera Pak Erlangga, beliau memang seorang arsitek hebat," ujar Santoso.

Rupanya intuisi Santoso terbukti tepat. 3 hari kemudian seorang yang belum lulus kuliah arsitektur berhasil menempati ruangan besar untuk arsitek yang berada di ujung gedung kantor ini.

Erlangga berkali-kali memuji gambar rumah kotak di depan Santoso dan Desmond.

"Desmond! Ini yang gue cari, Arsitek! Bukan tukang ngebual yang ngebungkus sampah dengan presentasi selangit. Gue mau karya, bukan bacot! Kalo lu suka ngumpulin ijazah, mending lu datang ke tukang cetak, " ejek Erlangga.

Santoso melirik Desmond dengan senyum penuh arti. Ia puas bisa membalas kesombongan Desmond.

Waktu terus berjalan hingga akhirnya Widi mengetahui, bahwa dia berhak lebih dari sekedar menempati ruangan. Widi adalah pemilik perusahaan ini, selain Erlangga.

*****