…
"Mengapa mereka melakukan ini? Itulah pertanyaan yang terus-menerus membombardir pikiranku," gumam Arifa pada dirinya sendiri. "Apakah mereka semua seperti ini?"
Di depan sang putri bertumpuk mayat-mayat dari ras Minotaur yang telah dibantai oleh para manusia. Sang putri merasa kesal terhadap manusia yang membunuh mereka, namun kekesalan tersebut telah lama mereda, karena ia telah menghabisi mereka beserta kamp mereka. Kekesalan itu sekarang tersiratkan ke arah diri sang putri. Ia begitu kesal karena dirinya tak melindungi monster-monster yang berada di dunia permukaan.
"Apa yang telah kulakukan selama ini…?" gumamnya kesal. "Tuan Putri, ini bukanlah kesalahan Anda," Mantira berusaha menenangkan sang putri. "Mungkin roda takdir telah menentukan keakhiran mereka, Tuan Putri."
Sang putri pun berusaha menghilangkan ratapannya yang mengalirkan air matanya dengan perlahan. Pada awalnya ia mengira bahwa ia telah menyematkan kasih sayang terhadap semua makhluk yang ia pimpin. Namun, ia tidak menyadari bahwa terdapat makhluk yang tinggal di dunia permukaan dan ingin bersandar pada pangkuan sang putri di Irkalla.
"Mungkin kau benar," sang putri sedikit terisak. "Namun mereka berhak untuk hidup dibawah naunganku, bukan? Lantas mengapa aku abaikan mereka?" sang putri berlutut di hadapan gunung mayat itu.
"Tuan Putri… bukankah ini ulah manusia sepenuhnya?" Mantira bertanya pelan. "Apa maksudmu, Mantira?" tanya Arifa dengan lirih.
"Pintu menuju Irkalla yang paling utama adalah katalis sihir itu, bukan?" jelas Mantira. "Kerusakan pintu masuk itu disebabkan oleh seorang makhluk yang tidak lain adalah manusia sendiri. Maka dari itu, Tuan Putri tidaklah bersalah. Namun, manusialah yang bersalah."
"Tetap saja," Arifa membangkitkan dirinya. "Tetap saja aku tak pernah menyentuh katalis itu sejak pertama kali dirusak. Sudah berapa lama ku telantarkan mereka?" tanya Arifa tegas.
Mantira mengernyitkan dahinya, "sekitar beberapa ratus tahun, Tuan Putri."
"…walau begitu, bukankah engkau dapat menghidupkan mereka kembali? Bukankah itu jalan tercepat?" tanya sang pengawal dengan cepat. Mantira berpendapat bahwa Arifa tidak seharusnya menuangkan air matanya karena kematian beberapa monster tingkat rendah.
"Mantira… memang benar diriku ini mampu membangkitkan mereka kembali hidup… namun apa artinya bagiku? Aku telah menelantarkan mereka. Mereka berhak menjadi penduduk Irkalla dan kau tahu itu."
Mantira tersendat mendengar perkataan sang putri. Sebagian besar makhluk Irkalla sudah mengetahui kemampuan mahamulia, yakni membangkitkan monster dari kematiannya. Walaupun begitu, Arifa tetap memerintahkan semua makhluk Irkalla untuk tidak membuang nyawa mereka begitu saja.
Salah satu kemampuan khusus Arifa, yaitu Redemptive Resurrection mampu membangkitkan kembali makhluk yang berada di Irkalla dan juga di dunia permukaan. Kekuatannya telah terbukti dan dianggap sebagai kekuatan absolut bagi para penghuni Irkalla. Fafnir adalah salah satu makhluk monster yang dibangkitkan dengan kemampuan khusus Arifa tersebut.
Timbal balik dari kemampuan tersebut adalah tubuh Arifa yang akan melemah dalam beberapa waktu, tergantung dari jumlah dan umur dari makhluk yang dibangkitkan. Jika makhluk yang dibangkitkan telah berumur lebih dari seribu tahun, maka atma pada Arifa akan terkuras banyak. Itupun baru satu, bayangkan saja jika berjumlah puluhan, ratusan hingga ribuan makhluk yang harus ia bangkitkan. Mungkin saja Arifa kehabisan atma-nya secara total dan ia pun bisa mati karena itu.
Namun, karena insiden yang terjadi pada hari ini, Arifa menganggap dirinya harus bertanggung jawab untuk menghidupkan mereka semua.
"Maafkan hamba, Tuan Putri Arifa…" Mantira menyesal mengucapkan kalimat sebelumnya. "Aku hanya melihat dari satu sisi, Tuan Putri… maafkan hamba!" Mantira berlutut sambil menunduk dihadapan Arifa. "Hamba hanya ingin tuan putri bahagia. Walaupun engkau egois, kekanak-kanakan, dan—"
Mantira seketika berhenti berucap. Ia menyadari bahwa dirinya telah mengatakan sang putri egois dan bertingkah kekanak-kanakan.
"Mantira…" ucapnya pelan. "Tidak banyak makhluk yang berani berkata sedemikian di depanku."
Mantira seketika merasa dirinya akan tamat pada senja itu. Namun, ia hampir tersentak ketika merasakan elusan tangan dari sang putri. "…namun, itulah yang kuharapkan dari makhluk Irkalla. Maka dari itu, kumaafkan,"
Pengawal belalang itu tidak menyangka balasan sang putri. Ia berpikir ia akan dieksekusi di tempat. Sekali lagi rintik penyesalan datang padanya, ia melupakan kenyataan di mana Arifa begitu menyayangi semua makhluk Irkalla, termasuk mereka yang terjebak di dunia permukaan.
"T-Tuan Putri…"
"Apa yang kau katakan memang benar. Sudah seharusnya aku tidak berlarut dalam kesedihan. Oleh karena itu, aku akan membangkitkan mereka semua setelah kita pulang," jelas Arifa.
"Baik, Tuan Putri!" Mantira menjawab tegas.
Dengan demikian, mereka mengangkut 'semua' mayat itu ke atas katalis sihir yang terhubung ke Irkalla.
"Ini yang terakhir, Tuan Putri," ujar Mantira.
"Baiklah… ayo, kita kembali," ajak Arifa. "Baik, Tuan Putri," jawab Mantira tegas.
Arifa pun mengaktifkan mantranya, tak lama kemudian katalis sihir itu memancarkan sinar berwarna ungu lalu diikuti oleh lingkaran sihir raksasa. Mereka berdua yang sudah dari tadi berada di atas katalis tersebut langsung menghilang dalam sekejap mata bersama dengan mayat-mayat Minotaur itu.
…
..
.
Lima belas menit yang lalu…
Henry Agincourt bersama dengan karavan pengangkut barang rampasan serta orang-orang terluka belum ada menemukan pengganggu di perjalanan mereka. Sejauh ini cukup lancar malahan.
"Tuan Henry, apakah kau tak merasa aneh?" tanya pak kusir. "…maaf, tentang apa?" Henry bertanya balik.
"Yah… mengenai monster-monster yang biasanya muncul di tengah jalan, lho… anehnya sampai detik ini belum ada tanda-tanda kemunculan mereka. Bukankah itu aneh?" tanya pak kusir sambil fokus mengontrol kuda.
"Justru bukankah itu lebih baik? Kita tak akan kehilangan kawan kita di perjalanan ini," ujar sang tentara dengan sedikit rasa lega. Namun, ada sesuatu yang mengganggu dirinya dari tadi.
"Apa yang dikatakan pak kusir ada benarnya… fenomena langka bagi monster-monster untuk tidak menyerang konvoi yang jelas-jelas berbau darah ini…" pikirnya penasaran.
"UH?!" Henry seketika tersentak ketika melihat langit dari tempat ia duduk. "Itu… itu…!" Henry langsung berkeringat dingin setelah menyadari apa yang terbang vertikal ke langit. Itu adalah asap dari tembakan pistol suar!
"Tidak m-mungkin, kan…? Apa aku bermimpi…?" Henry mengusap matanya beberapa kali dan ia menyadari betul bahwa asap yang mengepul di udara adalah sinyal darurat. "Hentikan konvoi ini!" perintahnya tegas. Seketika rombongan itu berhenti bergerak atas perintah Henry.
"Ada apa tiba-tiba, Tuan Henry?" tanya salah satu penjaga berkuda mendekatinya diikuti beberapa penjaga lainnya. "Kuharap mata kalian sama kualitasnya denganku. Lihatlah itu!" Henry menunjuk ke langit. Para penjaga konvoi sama terkejutnya dengan Henry. Mereka melihat kepulan asap merah yang muncul dari peluru suar.
Tanpa berpikir panjang, Henry mengambil komando beberapa penjaga dan melesat menuju sumber asap merah itu. Dalam perjalanan, Henry berpikir "Jika hitunganku benar, sumber asap itu... berasal dari kamp perburuan kita. Apakah terjadi serangan monster? Kalaupun iya, mereka tak akan menembakkan suar darurat..." keringat dingin mulai membanjiri kening Henry, ia tak bisa menebak apa yang terjadi.
...
..
.
Setelah pasukan kecil Henry sampai di lokasi, mereka disambut oleh hembusan udara kotor yang berhembus di wilayah itu. Ia dan pasukannya terkejut bukan main ketika melihat ada kawah raksasa yang telah membumihanguskan kamp perburuan mereka. "Apa yang... terjadi di sini...?"
Tak ada seorangpun yang selamat. Mereka seolah-olah dihantam sesuatu yang besar seperti meteor dan hilang sepenuhnya. Henry dan pasukannya dilanda kebingungan sedangkan semua hasil buruan mereka ludes bersama kamp mereka secara misterius.