Chereads / Sang Putri Merah Tua / Chapter 7 - Kuasa Administrator

Chapter 7 - Kuasa Administrator

Sang putri merah tua, Arifa menghentakkan kakinya pada pijakan batu berornamen segitiga. Ia bersama Fafnir dan Scorpio berada di atas panggung pembangkitan. Terdapat sebuah lapangan di bawah panggung di mana sang putri berpijak. Lapangan tersebut berbentuk lingkaran bertingkat dan memiliki aksara-aksara sihir yang banyak memenuhi lingkaran tersebut. Tepat di atas lapangan, terdapat lingkaran ornament sihir yang sudah lama tidak dipakai. Sang putri akan melakukan ritual pembangkitan terhadap para Minotaur yang telah mati.

Azofir memerhatikan dari celah gua yang cukup besar untuk dilaluinya yang berada jauh di seberang panggung. Ketiga matanya mengawasi dengan saksama sedangkan kedua lengannya menyilang.

"Rifa… jadi kau akan menggunakan kekuatan 'itu' lagi, ya…" gumam sang raksasa iblis dengan sedikit khawatir.

Di seberang, Arifa melihat ke bawah, matanya tertuju pada lapangan bertingkat itu. Sesaat kemudian, cahaya besar muncul melingkari lapangan tersebut. Dalam sekejap, muncullah semua Minotaur yang telah mati di dunia permukaan.

"Hei, Faf, Scor," sang putri memanggil kedua bawahannya.

"Ya, Paduka?" keduanya menjawab hampir bersamaan.

"Jika kalian mempunyai seseorang yang berharga… dan kalian kehilangan mereka… apakah kalian akan merasa sedih?" tanyanya seraya membalikkan badan ke arah kedua bawahannya itu. Mata merahnya menyala-nyala bak berlian rubi.

"Pastinya, Paduka," ujar Fafnir dengan tegas.

"Tentunya," ujar Scorpio. "Aku mungkin akan merasa sedih dan sulit menerima kematian mereka yang kusayangi dan kuhormati."

"Tuan Scorpio benar sekali. Saya pun juga akan merasakan hal sedemikian," kata Fafnir menyetujui.

"Benarkah begitu? Hmf…" sang putri menyeringai kecil lalu membalikkan badan kembali ke arah lapangan bertingkat itu.

"Kalian tahu…? Jika aku kehilangan salah satu dari kalian… maka aku akan sangat sedih. Aku tidak bisa menerimanya dengan mudah. Maka daripada itu, aku menginginkan kalian menghargai nyawa kalian masing-masing. Penghidupan kembali memang bisa dilakukan, namun tiada yang tahu kapan kekuatanku ini akan habis dan tidak bisa menghidupkan kalian lagi. Dan aku yakin… aku tidak akan bisa menggunakan kekuatan ini… jika terjadi perang dengan manusia."

Scopio dan Fafnir takjub mendengar kata-kata dari sang putri. Mereka tak bisa berkata apapun. Namun mereka memahami satu hal yang pasti: "Tetaplah bertahan hidup."

Sang putri menatap lamat-lamat lapangan lingkaran itu. Ia bergumam, "Ah, sudah berapa puluh tahun sejak terakhir aku pakai kekuasaan administrator ya…? Mungkin lebih dari lima puluh? Mungkin tujuh puluh? Atau mungkin… seratus tahun lebih? Saking lamanya aku hampir lupa jika aku punya kekuasaan tersebut. Baiklah kalau begitu…"

Arifa mengibas lengannya dengan pelan sambil mengembangkan telapak tangannya seraya berkata, "Kuasa administrator, aktifkan."

Muncullah layar-layar yang menampilkan berbagai informasi mengenai banyak hal. Tak hanya informasi, kuasa tersebut mengizinkannya membaca perilaku seseorang dan mengetahui seberapa kuat masing-masing individu, baik monster, iblis, maupun manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Hanya saja, ia tak bisa mengubah kepribadian seseorang ataupun mengakhiri hidup seseorang dengan kekuasaannya itu.

Arifa mengusap layar yang mengambang di depan matanya, menggesernya hingga muncul laman yang berjudul sihir tingkat atas. Dari situ ia memilih sihir pembangkit yang bernama 'Redemptive Resurrection'. Secara otomatis, terdeteksi banyak sekali jasad-jasad Minotaur. Tanpa pikir panjang, Arifa langsung menekan tombol pada layar yang mengambang tersebut untuk segera mengaktifkan sihir tingkat atas tersebut. Terdapat dua layar kotak kecil yang berisi kata 'Lanjut' dan 'Batal'. Arifa langsung menekan tombol 'Lanjut'.

Sekujur tubuh Arifa langsung menyala-nyala dalam sinar merah yang menyilaukan. Kemudian, dari kaki sang putri mengalir sinar merah dengan sangat cepat memenuhi seluruh lapangan lingkaran bertingkat itu. Sinarnya mengelilingi mayat-mayat Minotaur yang sudah mati. Ada beberapa yang bahkan sudah membusuk.

Para Minotaur yang masih hidup menyaksikan pemimpin mereka bermandikan sinar yang menerangi satu ruangan raksasa itu. Mereka semua berdiri tidak jauh dari lapangan. Mereka sekarang mengharapkan semua akan berjalan dengan lancar.

Sang putri mengibaskan tangan kanannya. Dari ujung jarinya muncul sebuah portal seperti wormhole dan muncul sebuah tongkat kecil berujung permata rubi yang kemudian diambil oleh dirinya. Setelah itu, portalnya langsung tertutup. Sang putri dengan pelan mengayunkan tongkat kecil itu ke arah langit-langit. Ia pun akhirnya merapalkan.

--Redemptive Resurrection!

Sinar-sinar yang sudah menyilaukan tersebut langsung meledak dan memancar dengan tinggi ke atas, menembus langit-langit ruangan itu. Alhasil, ornament sihir menyala terang dan menerima pancaran sinar besar tersebut. Udara di ruangan raksasa itu berhembus tak beraturan saking dahsyatnya sihir yang diaktifkan sang putri.

Sinar-sinar tersebut secara perlahan menyembuhkan dan mengembalikan fisik mayat-mayat Minotaur yang sebagian besar sudah tak berbentuk lagi menjadi bertubuh normal kembali sebagaimana Minotaur lainnya. Akhirnya, sihir sang putri mencapai titik puncak dan sang putri pun melepaskan sihirnya, membuat sinar tadi meledak hebat. Tak lama setelahnya, sinar tersebut meredup dan perlahan menghilang.

Arifa tersenyum lega melihat ke lapangan. Ia melihat semua Minotaur yang seharusnya mati sekarang sudah kembali berhembusan napas. Banyak dari mereka yang bertanya-tanya mereka ada di mana, ada yang menganggap mereka sudah berada di surga, ada juga yang menganggap mereka berada di dunia lain. Bagaimana tidak, mereka adalah ras Minotaur yang sudah sejak lama tinggal di dunia permukaan.

Satu ruangan perlahan menjadi gemuruh. Ras Minotaur yang berasal dari dunia Irkalla menyambut mereka yang dari dunia permukaan dengan hangat. Melihat sesama ras, Minotaur dari dunia permukaan pun menerima sambutan tersebut dengan senang hati. Minotaur yang meminta pertolongan dari sang putri pun menangis tersedu-sedu dipelukan salah satu Minotaur yang telah dibangkitkan kembali. Ia sangat bahagia bisa bertemu dengan saudara-saudaranya lagi. Melihat pemandangan itu, makhluk-makhluk yang lain merasa terharu.

"PERHATIAN!" teriak Scorpio dengan keras. Semua makhluk Irkalla beralih melihatnya, termasuk Minotaur tersebut yang ada di lapangan. Seketika seisi ruangan raksasa itu terdiam.

"Di depan kalian berdiri seorang makhluk agung, penguasa Irkalla. Apakah kalian tidak punya rasa hormat kepada beliau?!"

Azofir geleng-geleng kepala dari kejauhan. "Aduh… iblis satu itu… dengan mudahnya ia meneriakkan dengan lantang hal tersebut namun dirinya sendiri tidak mencerminkan rasa hormat yang sama… dasar makan omongan sendiri. Nah… apa yang akan kau lakukan, Nona Rifa? Yang manakah tindakan yang menurutmu benar…?"

Arifa seketika memegang pundak sang iblis kalajengking, "Sudahlah."

"Pa-Paduka…" Scorpio menunduk hormat pada sang putri.

"Mereka semua sedang berbahagia. Biarkan mereka menikmati kebahagiaan ini," sebutnya dengan senyum lebar dan penuh ketulusan.

"Paduka… baiklah jika itu kehendak Anda. Mohon maaf ketidaksopanan saya."

Arifa memaafkannya lalu ia secara pribadi menyambut pendatang-pendatang baru tersebut.

"Wahai makhluk-makhluk pemberani, monster dan iblis sekalian… selamat datang di Irkalla. Rumah para monster dan iblis seperti kita."

"Ini… Tempat ini… Irkalla?" tanya seorang Minotaur yang tidak percaya.

"Benar sekali," balas Arifa dengan tenang. Kemudian salah satu Minotaur bertanya kembali.

"Rambut merah dan mata rubi Anda… jangan-jangan Anda…!"

"Yap, benar sekali. Akulah sang Putri Merah Tua."

Mendengar pernyataan tersebut, dalam seketika semua Minotaur yang baru dihidupkan langsung menundukkan kepala dan berlutut dihadapannya. Mereka semua secara kompak bersujud.

"Anda benar-benar datang menyelamatkan kami… harapan kami terkabulkan… kami kira ramalan tersebut salah… kami sampai menyerah. Namun… Anda benar-benar datang dan bahkan menghidupkan kami semua kembali. Karena itu, biarkan kami mempersembahkan seluruh jiwa dan raga kami untuk melayani Anda selamanya!"

..

.

Setelah para Minotaur membuat pernyataan tersebut, Arifa pun membubarkan monster-monster agar kembali ke tempatnya masing-masing. Arifa berjalan ditemani oleh Fafnir dan Scorpio.

"Anda sangat baik, ya," ujar Fafnir memuji sang putri.

"Saya selalu terpesona dengan kata-kata Anda," tambah Scorpio dengan lantang. "Kami bersyukur Anda ada bersama kami semua."

"Ya, aku tahu itu. Dan aku bersyukur kalian menerima diriku sebagai pemimpin. Dari sekarang dan seterusnya… mohon kerjasamanya, ya."

Kedua bawahannya bersamaan berkata, "Siap, Paduka!"

Tanpa sepengetahuan Arifa, Fafnir, maupun Scorpio, Azofir mengikuti mereka secara diam-diam. Ia takkan terlihat, karena ia berjalan di tembok bebatuan. Ia dapat bergerak tanpa bersuara, ia dapat menghilangkan hawa keberadaannya dengan mudah, dan ia dapat membuat dirinya tak terlihat karena dirinya memiliki warna yang sama seperti tembok bebatuan Irkalla.

"Hmf…" gumamnya pelan. "Aku pun kagum padamu, Rifa."

Ketiga matanya berputar satu lingkaran penuh. "Aku benar-benar senang. Namun di saat yang sama, aku juga khawatir. Mungkin tidak lama lagi, engkau akan kembali ke dunia atas sana. Dan pada saat itu, aku khawatir engkau menghilang."

"Yah… untuk saat ini mungki—

—Sedang apa kamu, Azo?" Arifa tiba-tiba muncul di depannya. Azo pun sontak terkejut. Alhasil, dirinya sudah tidak lagi tidak kasat mata.

Arifa berdiri dengan memijakkan tembok bebatuan dengan seimbang. Mungkin ia telah melawan hukum gravitasi itu sendiri. Karena ia tak khawatir jatuh sekalipun.

"I-Iyah… kamu m-muncul tiba-tiba… dan tadi aku um… ah! Benar, aku mengawasimu, Nona Rifa."

"Kihihi," Arifa tertawa kecil. "Ketika kamu menjadi sedikit latah begini, kamu menjadi lebih imut, tau. Nah, ayo kita kembali."

Seiring Arifa berjalan jauh meninggalkan Azo, sang iblis raksasa mengibaskan ekor besarnya sekali. Ia berpikir, "Yah… Arifa Veratia. Tingkah lakumu yang kadang kekanak-kanakan menyusahkan juga, tau. Tetapi engkau adalah tanggung jawabku…

…karena kau adalah anak asuhanku."

..

.

Malam pun tiba. Sinar bulan yang tidak cukup terang membuat Irkalla menjadi gelap gulita. Namun kegelapan itu dihapus oleh cahaya Fenix, seorang petinggi Irkalla seperti Azofir, Fafnir, dan Scorpio. Dirinya mempunyai kemampuan pencahayaan dengan elemen api yang anggun.

Arifa dan Scorpio mengunjungi 'tahanan' manusia yang telah kalah beberapa saat yang lalu. Ia tampak sangat syok. Kedua tangannya telah dipulihkan sesuai perintah sang putri. Pemulihan tersebut dilakukan oleh seorang tabib dari ras Treant, ras yang memiliki ciri khas seperti pohon namun mempunyai tubuh seperti manusia.

"Apa…" kata si manusia dengan tegang. "…yang kau mau…"

"Kau tampak begitu takut. Apa yang membuatmu takut, hm?" tanya Arifa penasaran.

"Kau dan kawan-kawan iblismu. Semua orang mengira kau adalah wujud fiktif yang tak pernah ada. Awalnya aku juga menganggap sedemikian, namun setelah aku menemukan akses ke Irkalla, aku beralih ke percaya bahwa kau memang benar-benar ada."

Si manusia kemudian sedikit mengeraskan suaranya dengan kesal sambil menatap Scorpio, "Apalagi setelah bertemu dengan sang iblis kalajengking itu sendiri…! Oleh karena itu, aku pun semakin yakin seribu persen bahwa kau memang ada, o, tuan putri merah tua."

"Kau memang tidak ada rasa hormat kepada beliau, ya?!"

"Tenanglah, Scor. Biarkan ia bicara."

"B-Baiklah…"

"Mengerikan sekali dirimu. Kau menjinakkan iblis gila sepertinya, dan mungkin kau bisa melakukan lebih dari itu."

Arifa menatap manusia itu dengan tatapan kosong. Bagi dirinya, ia teringat bahwa manusia telah membunuh para Minotaur di dunia permukaan. Bukankah itu sendiri adalah kegilaan? Mungkin saja para manusia telah melakukan lebih dari itu.

"Walaupun engkau tahu bahwa aku adalah seseorang yang mengerikan… engkau tetap pergi?" tanya Arifa dengan dingin.

"Aku tetap pergi. Karena aku mempunyai orang-orang yang harus aku lindungi dari monster dan iblis jahat seperti kalian!" seru sang manusia dengan keras.

"Beraninya kau!" Scorpio refleks naik pitam. Namun, Arifa segera mencegahnya. Sang putri berkata kepadanya untuk tetap tenang.

"Apa katamu… kau juga mempunyai orang-orang yang mesti kau lindungi?" tanya Arifa memastikan.

"Benar!" serunya dengan kasar.

"Ternyata manusia sepertimu juga ada. Kesan pertamaku terhadap manusia adalah bahwa kalian adalah sampah terendah dari yang terendah. Kalian tak pantas hidup, itulah yang terbesit dalam pikiranku. Kalian sampai tega membantai satu ras penuh tanpa rasa kasihan sedikitpun. Namun malam ini juga aku menemukan…

…Bahwa kau bertarung untuk melindungi seseorang. Jika kau memang begitu, maka aku sebagai sang putri pun juga sama. Aku hanya ingin melindungi segenap kaumku. Namun aku tak cukup gila untuk masuk ke kandang singa yang sedang tidur, kau tahu?"

"KALIAN TAK AKAN PAHAM!" teriak sang manusia.

"Tahu apa kalian para iblis, hah?" tanyanya dengan penuh emosi. "Aku bertarung demi keluargaku yang kucintai. Aku bertarung agar mereka dapat hidup lebih baik. Aku berkorban agar mereka dapat tersenyum bahagia, jika bukan aku yang melakukan semua itu, siapa lagi?! Akan tetapi… sekarang mungkin sudah tidak ada maknanya lagi… tidak ada… lagi…"

Suara manusia laki-laki yang sudah tua dan berjenggot putih tebal itu terdengar sangat putus asa. Isak tangisnya terdengar cukup jelas bagi penjaga tahanan dan lainnya. Scorpio memandangnya dengan tatapan jijik, namun Arifa tidak. Ia sedikit memahami bahwa manusia seperti diri si manusia yang ada di depannya juga ada.

"Mungkin… aku terlalu cepat menilai," gumam sang putri. "Aku baru beberapa jam di dunia permukaan dan sekarang diriku sudah menemui permasalahan yang rumit. Dunia permukaan itu… memang benar-benar merepotkan. Tetapi…"

"Hei…" Arifa memanggil pelan sang manusia.

"Apa kau ingin kembali ke keluargamu…?"

Sang manusia yang sudah tua itu mengangguk pelan sambil tersedu-sedu, "Sangat. Aku sangat ingin kembali."

"Kalau begitu, beri tahu namamu, manusia."

Manusia itu dilanda rasa kebingungan serta keputusasaan yang hebat. Namun, ia merasa ia tak lagi merasa takut dengan sang putri. Ia pun membeberkan identitasnya.

"Namaku…"