Hyera berdiri menunggu di depan gerbang gedung administrasi yang terpisah dari bangunan utama sekolah. Letak nya berada di seberang jalan dengan halaman lebih luas untuk parkir motor siswa. Dia dan beberapa anak perempuan lain nya menunggu kaum adam mengeluarkan kuda besi itu. Mereka akan pergi menuju rumah duka.
Letak nya cukup jauh. Menempuh tiga kilometer untuk sampai di penyebrangan, lalu lima belas menit menuju Loa Raya. Mereka harus menyebrangi sungai Mahakam menggunakan perahu motor. Hyera yang mendengar itu merasa tidak sabar dengan pengalaman baru yang akan dia dapat. Gadis 16 tahun itu tidak pernah membayangkan menaiki perahu motor, kapal kecil yang rawan terbalik.
Bagaimana orang orang terbiasa bolak balik menyebrang sungai lebar itu setiap hari ? Begitu pikir nya. Sebab, tak sedikit dari anak anak kelas nya yang berasal dari wilayah seberang. Berangkat lebih pagi dengan sepeda atau pun motor mereka.
"Ayo... Hyera ikut aku, kan ?" Hyera mengangguk pada Adhimas. Sang ketua kelas yang bersedia memberi tumpangan.
brum
brum
brum
Asap asap motor dan suara berisik itu memenuhi parkiran. Mereka berangkat dengan bergerombol. Memenuhi jalanan menuju seberang sungai, Hyera cukup panik saat mengetahui kebanyakan dari mereka bahkan tidak menggunakan helm.
"Dimas nggak papa kah kalo nggak pake helm ?" Hyera berteriak di samping telinga sang ketua.
"Hah ?! Iya ada yang jual donat di seberang."
Ah, sudahlah. Kita simpan pertanyaan itu ketika telah sampai. Suara rusuh mereka berbanding terbalik dengan suasana hati yang berduka, entahlah walau baru mengenal seminggu Hyera benar benar merasakan perbedaan nya. Aca adalah sosok yang sering membangkitkan suasana, guyonannya membuat mu tergelak di tengah rumitnya tugas.
.
.
.
Malam itu Hyera duduk di depan jendela kamar nya. Menatap lurus pada bulan purnama, netranya masuk dalam lamunan akan memori tadi siang. Ketika rasa 'tak nyaman memenuhi hatinya saat tiba di kediaman keluarga Aca. Seperti ada energi gelap yang membungkus rumah jati itu. Dalam pikirnya, apakah mungkin kematian temannya itu bukan hanya sebatas kata "Sudah waktunya." ?
Tok
Tok
Tok
Hyera menoleh pada pintu kamar yang terbuka, sosok sang mama berdiri di sana. "Ada Tiara tuh di luar, ngajakin beli es. Kalian janjian, ya ? Kok nggak bilang mama." Hyera mengernyit bingung. Sejak kapan dia punya janji temu dengan tetangga nya itu ?
"Hyera nggak janjian sih. Tapi ya udah lah Hyera juga mau beli es. Bagi duit dong, ma." telapak tangannya terbuka ke arah sang ibu. Tersenyum hingga lubang cacat itu terbentuk di pipinya. Sebuah cacat kecil yang mampu memukau siapa saja.
"Kebiasaan kamu tuh. Sana keluar dulu, Tiara nunggu di depan. Mama nggak bawa duit." tanpa kata si remaja langsung melangkahkan kaki nya menuju ruang tengah. Melihat sang teman duduk menonton serial televisi dengan setoples kacang di tangan nya.
"Lamanya.. Ngeram dulu kah dalam kamar ?"
"Iya, sekilo dah telurnya."
Mereka tertawa, kelereng hitam itu semakin asik menonton serial televisi. Seolah lupa pada tujuan awal hingga seorang wanita kembali keluar dari kamar, "Loh nggak jadi pergi ? katanya mau beli es." ujarnya sembari duduk di sebelah sang putri.
Hyera menatap ke arah sang mama, "Kan Hye nunggu uangnya ma. Gimana mau beli kalo uangnya nggak ada ?" jawabnya.
"Kan kamu yang mau beli, kok minta uang sama mama." begitu ucapnya, namun tangannya tetap meraih saku dari baju tidur yang di gunakan nya, menarik selembar uang dua puluh ribu.
"Hehe... Makasih, ma. Yok Tir, beli es."