Takut pada kegelapan yang memperjelas wujud mereka yang tak kasat mata bukan satu satunya alasan Hyera membenci gulita. Kemampuan ini tidak serta merta dia dapat ketika lahir ke dunia. Di jalanan ramai kota Jakarta sirine dari mobil putih membangunkan gadis ber-piyama kuning yang berdiri terpaku didepan pintu kamar kala jasad sang kakak dibawa masuk kedalam rumah diiringi isak tangis mama dan keluarga yang turut serta. Pantas saja, pantas saja ketika senja dan suara panggilan berkumandang orang tuanya pergi keluar dengan tergesa. Menitipkan gadis delapan tahun pada tetangga hingga larut tiba.
Kakak yang terpaut lima tahun darinya itu adalah harta berharga, satu - satunya anak laki laki yang kelak akan mewarisi garis keluarga. Mamanya sebagai anak perempuan keluarga Nakamoto tidak bisa mewariskan marga ketika menikah, begitu pula keturunannya kelak. Namun sang kakek bersikeras bahwa marga itu bisa di bawa oleh cucu laki -lakinya.
Sebuah nama keluarga yang lebih penting dari nyawa.
Tiga hari setelah prosesi pemakaman, ibunya mulai sering keluar dari rumah. Tidak pernah memberi tahu kemana dia pergi, berangkat kala fajar dan pulang bertemu senja, sang suami mencoba memaklumi. Seorang ibu pastilah yang paling hancur kala anaknya meninggal terlebih dahulu.
Hingga hari itu, lima hari setelahnya Hyera diajak bersama. Pergi ke suatu tempat di daerah kumuh ibu kota. Jauh dari keramaian, bangunan bangunan di sana seperti sisa sisa reruntuhan. Mobil tidak dapat masuk kedalam gang ; sehingga mereka berjalan cukup jauh menuju sebuah bangunan dengan cat yang terkelupas hampir di segala sisi. Pagarnya hancur sebagian, pecahan pecahan kaca berserakan dibawah sana, Hyera semakin erat memegang tangan sang mama.
Wanita itu menoleh kearah anak perempuannya, tersenyum sembari mengelus rambutnya, "Sebentar lagi kita bisa ketemu sama kakak." begitu katanya.
.
.
.
"Hah... hah.. hah."
Tarikan nafasnya terasa berat, keringat bercucuran di seluruh tubuhnya. Sudah bertahun tahun dan dia masih belum terbiasa ketika kenangan lama kembali menyapa. Dia menoleh ke arah pintu, sosok laki laki membukanya dan membawa masuk segelas susu coklat.
"Kamu mimpi lagi ? Perlu kakak bantu buat tidur ?" diletakkannya gelas kaca itu, tubuhnya mulai bergerak duduk disebelah sang adik. Memeluk sosok yang sangat dia sayangi.
"Nggak usah. Kakak cuman perlu balik dan jangan ke sini lagi." Hyera melepas tangan si sulung Nakamoto dari bahunya. Kemudian lanjut berkata dengan kepala menoleh sepenuhnya, "Benar benar balik. Aku mau kakak pergi ke alam kakak lagi."
"Kamu tahu itu nggak bisa."
"Bisa ! Aku cuman perlu--"
Ucapannya terhenti oleh kehadiran sosok lain diruang tidur, ibu dari kakak beradik itu. "Hyera, sudah berapa kali mama bilang untuk tidak mencoba melakukan hal hal aneh ?! Kamu harus terima kalo selama ini kakak mu itu nyata !!" ucapnya.
Hyera menggeleng keras dan kembali menjawab, "Kalo dia nyata semua orang bisa liat dia !! Mama tahu kalo semua yang mama lakuin ini salah. Mama--"
"MAMA NGELAKUIN INI DEMI KALIAN !! Sudah cukup Hyera. Besok pulang sekolah mama akan antar kamu ke rumah tante. Tinggal di sana sampai kamu tahu dimana letak kesalahanmu." baru saja dia akan pergi, langkahnya terhenti ketika mendengar teriakan nyaring sang putri.
"SEKARANG MAMA NGUSIR AKU ?!"
"MA -- MAMAA."
Tapi tidak dihiraukannya. Dia tetap pergi, langkahnya diikuti oleh si sulung. Meninggalkan Hyera yang menangis dalam diam.