Chereads / NITYASA : THE SPECIAL GIFT / Chapter 48 - 46. Jejak Tak Terhapus

Chapter 48 - 46. Jejak Tak Terhapus

Tentara patroli yang dipimpin Senopati Citra Wayang tengah menjajaki hutan belantara untuk menyisir keberadaan komplotan Saga Winata. Mereka tidak lagi berbaris melainkan menyebar. Namun masih tetap dalam jarak yang dekat. Mereka memeriksa setiap detail jejak yang mungkin saja ditinggalkan. "Gusti...!" salah seorang prajurit memanggil menyeru dari jarak yang tidak terlalu jauh.

Senopati dan Jayendra pun menghampiri.

"Ada apa?" tanya senopati penasaran. Kemudian prajurit tersebut menunjukan tumpukan arang seperti bekas perapian.

"Di sana ada lagi, Gusti." Prajurit tersebut menunjukannya lagi. Semakin banyak tumpukan arang yang mereka temukan semakin yakin pula Senopati dengan dugaannya. Tak kalah Jayendra pun menemukan jejak lainnya.

"Tanah ini seperti bekas ditanami sesuatu. Lihat polanya, Senopati!" Jayendra menunjukan beberapa tanah di balik rerumputan yang berlubang.

"Iya, ada banyak lubang kecil di sini, Ini seperti bekas patok perkemahan," ujar Senopati.

Seruni pun turut menyisir tempat dan menemukan jejak yang cukup mencurigakan pula. Ada beberapa gundukan tanah segar sementara disekelilingnya adalah rerumputan dan semak. "Kakang...! Lihat ini...!" Seruni memanggil kekasihnya itu untuk turut melihat yang ditemukan oleh Seruni. "Nampaknya ini seperti kuburan tanpa nisan," lanjut Seruni lagi.

"...dan masih baru," pungkas Jayendra.

Kemudian sang Senopati mendekati mereka. "Kalian, cepat gali gundukan tanah itu...!" perintah Senopati kepada prajurit bawahannya.

"Heleeehh... mau kualat si Senopati itu. Kuburan kok digali...," gumam Utpala dari kejauhan.

"Tetapi memang posisinya mencurigakan, Pala. Siapa yang mengubur mayat di tengah hutan seperti ini..., tanpa batu nisan lagi." Utkarsa menanggapi saudara kembarnya.

"Apa yang kamu temukan, Karsa?" tanya Utpala.

Utkarsa kemudian membuka genggaman tangannya, itu adalah kantung berisi kepingan-kepingan emas. Utpala hampir saja kegirangan melihatnya sebelum Utkarsa menempelkan jari telunjuk pada bibirnya sebagai isyarat, "Yang lain jangan sampai tahu," ucap Utkarsa.

"Kamu juga bisa kualat karena berbohong, Karsa," ujar Utpala memperingatkan.

"Heleh... Kita tidak mencuri, kok. Lagipula aku tidak menyuruh berbohong. Kalau mereka tidak tahu kan mereka juga tidak akan bertanya. Kalau mereka tidak bertanya kita tidak perlu mengatakan apa-apa."

"Terserah kamu saja lah," ucap Utpala menyudahi perdebatan.

"Duh Gusti..." terkejut salah seorang prajurit yang menggali gundukan tanah. Ditutupnya hidungnya menahan bau tak sedap. "Ada mayatnya, Gusti...!"

"Di sini juga ada, Gusti." kata prajurit yang menggali gundukan tanah lainnya sambil menutup hidung pula. Ada enam gundukan yang mereka gali dan kesemuanya terdapat mayat. Semua yang berada di situ menutup hidung tak terkecuali Senopati dan Jayendra.

Meski bau busuk yang tak tertahankan, senopati tetaplah mendekat untuk memeriksa. Didapatinya tato lambang Telik Sandi di dada kanan mayat tersebut. Semua mayat yang mereka temukan memiliki tato yang sama.

"Mereka mayat telik sandi. Pasti para bajingan itu yang sudah membunuhnya," gumam Senopati Citra.

"Mereka pasti masih belum jauh dari sini, Senopati. Kita harus segera mengejarnya," ujar Jayendra berpendapat.

"Prajurit...! Cepat kubur lagi mayat-mayat itu. Setelah urusan selesai. Kita akan pindahkan jazad mereka ke pemakaman yang layak," perintah Senopati.

Mereka pun mulai melakukan pengejaran dengan segera. Namun Senopati belum bisa menentukan secara pasti ke arah mana gerombolan Saga Winata itu lari. Kemungkinannya ada dua. Melewati sungai atau menaiki bukit.

"Sepertinya kita terpaksa harus berpencar..."

"Jangan, Senopati...! Pasukan kita akan melemah," bantah Jayendra.

"Tidak, kita mesti berpencar. Kita tidak tahu mereka ke arah mana. Melewati sungai atau menaiki bukit!?" tegas Senopati ngotot.

"Sebaiknya kita tidak berpencar bagaimanapun situasinya," bantah Jayendra lagi.

"Lalu kemana meurutmu...!?" bentak Senopati Citra. "Aku pemimpinnya di sini, kamu sudah berjanji akan menuruti perintahku...!" murka sang Senopati merasa tidak dihargai karena perintahnya mendapat pertentangan.

Jayendra terdiam tanpa kata. Seruni hanya bisa melihat kekasihnya itu dibentak.

"Aku, Paman Utkarsa, dan separuh pasukan akan menaiki bukit, sementara Jayendra, Paman Utpala dan separuh pasukan yang lain melalui sungai. Kita akan bertemu di desa terdekat setelahnya...!" perintah Senopati.

"Aku akan ikut kemana?" tanya Seruni.

"Kamu boleh memilih...!" tegas Senopati. Jayendra pun menatap Seruni penuh heran.

"Tetapi seharusnya kamu ikut kekasihmu, tidak bijak kalau kamu dijaga oleh lelaki lain...!" tegas Senopati.

"Aku tidak berharap dijaga siapapun, aku bisa menjaga diriku sendiri...!" ucap Seruni merasa tersindir.

"Baiklah, cepat semuanya bagi tugas dan jalan...!" tegas Senopati sambil menaiki kudanya dan bersiap untuk jalan.

"Sebaiknya nanti ketika kita bertemu lagi masing-masing kita masih dalam keadaan hidup, Senopati...!" ucap Jayendra.

Senopati Citra Wayang mengangguk mengiyakan. "Hyaaaatt" caranya menyuruh kuda yang ditungganginya jalan.

Mereka pun berbagi pasukan. Seperti yang telah disepakati. Senopati dan Utkarsa melalui bukit sementara Jayendra dan Utpala melalui sungai. Dan Seruni tentu saja ikut bersama kekasihnya, apalagi dia mulai menyimpan rasa tidak nyaman kepada senopati yang dianggapnya naif itu.

Setelah beberapa lama, Pasukan Senopati telah sampai di puncak perbukitan. Mereka langsung dihadang oleh gerombolan anak buah Saga Winata. Senopati bersiap mencabut pedang dari sarungnya. Begitu juga Utkarsa yang mulai mengeluarkan tombak yang sedari tadi dia gendong.

"Serang....!" seru Senopati. Prajurit pun menyerang mereka sementara mereka meladeni serangannya layaknya peperangan. Beradulah pedang dengan pedang, tombak dengan tombak, kuda dengan kuda.

Senopati mudah saja melibas satu per satu pasukan mereka, tetapi kemana orang yang paling dicarinya? Kemana Saga Winata? Dia yakin bahwa pasukan yang dia hadapi ini hanyalah sebagian kecil. Mereka hanya bertugas untuk mengulur waktu saja meskipun harus mengorbankan diri.

Sementara itu, Pasukan yang bersama Jayendra tengah menyusuri sungai. Yang dilaluinya adalah sungai dangkal sehingga masih bisa dilewati oleh kuda. Mereka pun melajukan kudanya dengan cepat membelah aliran sungai yang beriak itu. Beberapa saat kemudian mereka dikejutkan oleh berondongan anak panah yang melesat dari atas tebing tepi sungai. Beberapa prajurit terkena anak panah itu dan langsung terjatuh dari kuda mereka. Beberapa lagi mungkin langsung tewas.

Melihat arah gerombolan yang memanah mereka, Jayendra pun melompat memanjat tebing layaknya seekor tupai. Jari-jarinya yang telah diisi tenaga dalam mencengkeram kuat bebatuan gamping dinding tebing sehingga memanjat sangat cepat dan tak butuh waktu lama untuk sampai di atas. Seruni mengelebatkan selendangnya sehingga dapat memanjang menggulung batang pohon di atas tebih dan mencengkeramnya kuat sehingga dia dapat berayun dan memanjatnya pula.

Prajurit yang berada di sungai pun mulai mengeluarkan busur panah hendak membalas serangan anak panah gerombolan yang berada di atas tebing.

Utpala dengan tubuh gembulnya tak bisa memanjat tebing dengan cepat. Tetapi Senjata Gada miliknya bisa membawanya melompat tinggi ketika diayunkan ke udara. Maka dilakukanlah cara itu. Utpala kini telah melompat tinggi ke atas tebing. Ternyata yang menyerang mereka hanya sedikit pemanah sehingga enteng saja bagi Jayendra dan kawan-kawan untuk menghadapinya.

Di situasi lain, Senopati tengah berhasil melihat Saga Winata yang sedang berlari mengendarai kuda dari kejauhan. Dikejarnya mereka sekuat tenaga sehingga pasukannya kini sudah sangat dekat dengan mereka.

Saga Winata dan pasukannya pun berhenti. Senopati Citra menyuruh pasukannya untuk berhenti juga. "Kenapa lari, Sukma?" tanya Senopati kepada Saga Winata yang bernama asli Sukmaraga itu.

"Tentu saja..., karena kalian mengganggu kebebasan kami. Kami tidak ingin diusik siapapun!"

"Tetapi kamu sendiri yang mengusik orang-orang tidak bersalah, Sukma."

"Ketahuilah, Senopati...! kami tidak merampok. Kami meminta. Itu pun kalau diberi. Kalau tidak diberi, kami tidak akan memaksa."

"Meminta dengan cara menodongkan senjata?"

"Itu salah mereka, kenapa harus takut dengan senjata. Kami sangat menghargai nilai kemanusiaan, Senopati."

"Kamu juga telah membantai murid perguruan Wana Wira disaat mereka terlelap dalam tidur. Itu kah yang kamu sebut kemanusiaan."

"Kalau benar aku yang melakukan itu, aku sendiri yang akan membunuh diriku."

"Jangan banyak omong kamu Sukma...!" Senopati mencabut pedang dari sarungnya. "Tangkap mereka...!"

"Bukan hanya kamu yang punya pedang...!" Saga mencabut pedangnya pula dari sarungnya.

Pertempuran pun tak terelakan lagi. Agak berbeda dengan sebelumnya, kali ini yang dihadapi pasukan patroli adalah pasukan terbaik milik Saga Winata yang telah terbiasa bertempur ketika merampok. Pasukan patroli kerajaan pun tak jarang pula menggagahi pertempuran, justru penempaan dan pelatihan mereka jauh lebih ekstrim daripada pasukan rampok. Sehingga cukup memakan waktu lama untuk mereka bisa saling mengalahkan.

Jayendra dan Seruni membantu para prajuritnya menaiki tebing dengan mengulurkan selendang milik seruni. Sementara Utpala mengulurkan rantai yang biasa dia bawa kemana-mana. Sementara kuda-kuda mereka ditinggal di bawah. Setelah semua prajurit berhasil menaiki tebing mereka pun kini berlari ke arah bukit karena yakin bahwa gerombolan itu terfokus ke atas bukit.

Di atas bukit, kini giliran Purna Winata yang mereka temui. Sebenarnya Purna sedang berniat berlari ke arah sungai untuk melarikan diri dari kejaran pasukan Senopati. Tetapi dia tidak tahu kalau dari arah sungai pun ada pasukan Jayendra.

Namun Purna bersikap santai. Bahkan tak segan menunjukan sikap kejenakaannya yang cenderung mengintimidasi itu.

"Wah ada tamu dari kotaraja rupanya. Selamat datang di rumah kami, Tuan!" ujar Purna meledek.

"Dimana pemimpin kalian?" tanya Jayendra.

"Pemimpin kami? ya sama seperti pemimpin kalian, beliau adalah Maharaja Prabu Dharmasiksa."

"Aku tanya sekali lagi, dimana pemimpin kalian?" tanya Jayendra menekan. Sambil mengeluarkan pedang dari sarungnya.

"Beliau jelas di istana, kenapa kalian cari-cari ke hutan?"

Orang ini mulai sangat menjengkelkan bagi Jayendra. "Prajurit... Hajar mereka...!"

"Tunggu..! Tunggu...!" cegat Purna. Prajurit pun tak jadi menyerang. "Kalian mencari siapa sebenarnya?"

"Saga Winata! Dimana dia? cepat katakan, bodoh!" bentak Seruni yang sudah mulai jengkel itu.

Purna tersenyum meledek, kemudian berkata kepada Jayendra "Tuan ini kalau mau mengirim wanita untuk kami, tidak usah repot-repot dikawal prajurit segala, di sini aman kok, Tuan."

"Kurang Ajar...! Mulut busuk...!" murka Seruni. "Ciiaaat...!!!" Seruni mengulur selendangnya. Kemudian Purna mengeluarkan pedang dan langsung merobek selendang milik Seruni.

"Serang....!!!" seru Jayendra.

***