Matahari menyingsing menyibak lembar baru dalam pergantian hari. Sinarnya menembus belantara. Pagi itu tanah Galuh bersiap menghadapi kejutan lagi. burung-burung berkicauan mengiringi. Istana kedaton Galuh yang berkabut belum tersentuh panas matahari karena sinarnya masih terhalang bukit timur. Seorang prajurit penjaga menara kini turun ke darat dan lekas diganti oleh prajurit yang lain. Para prajurit penjaga malam istana saling bertukar giliran tugas jaga.
Senopati Citra Wayang baru saja bangkit dari ranjangnya. Dari luar biliknya, terdengar suara ketukan pintu. Senopati bergegas membukanya. Seorang prajurit memberi hormat di depan pintu, "Gusti Senopati dimohon untuk menemui Gusti Pangeran Ragasuci di Markas Tentara." ucap salah seorang prajurit. Senopati mengangguk mengiyakan sambil menguap dan setengah terpejam. Si prajurit pun berlalu meninggalkan area bilik senopati.
Sementara itu Patih Adimukti sudah terbangun lebih awal dari sebelum fajar. Dia sedang berada di taman belakang Wisma Kapatihan untuk melakukan olahraga kecil melemaskan otot-ototnya dengan sedikit gerakan silat. Seorang prajurit mendekatinya dan memberi hormat. "Gusti Patih dimohon untuk menemui Gusti Pangeran Ragasuci di Markas Tentara," ucap Prajurit.
"Sekarang? Pagi-pagi begini?" tanya Sang Patih.
"Benar, Gusti."
"Baik. Katakan aku segera datang!" ucap Sang Patih.
"Baik, Gusti. Hamba mohon undur diri."
Tidak hanya Senopati Citra Wayang dan Patih Adimukti yang diminta menghadap. Beberapa Rakryan Rangga juga diundang untuk pertemuan dadakan di markas militer. Ya, ini adalah pertemuan militer, yang artinya hanya orang-orang yang tugasnya memiliki kaitan dengan keamanan negara yang diundang. Letak markas militer sebenarnya masih di dalam satu Kompleks Kedaton dengan beberapa rumah dinas pejabat negara. Hanya saja, rumah dinas pejabat letaknya di belakang istana utama, sementara markas militer berada di sisi depan istana dijarak oleh lapangan latihan tentara yang cukup luas. di dekat pintu gerbang inti kedaton.
Dengan tergesa, semua yang diundang segera datang dan berkumpul. Mereka semua memiliki pertanyaan yang sama, yaitu 'Ada apa? Kenapa pertemuan militer mendadak pagi-pagi begini? Apa ada sesuatu yang tidak beres?' begitulah yang mereka pikirkan. Namun tidak bagi Patih Adimukti. Dia tahu bahwa situasinya sekarang sudah serba rancu dan banyak berubah. Di pikirannya tertanam banyak hal yang mendukung pertemuan darurat ini terjadi. Pertama kedatangan Pangeran Ragasuci yang secara personal memang sudah tidak asing dengan kemiliteran, kemungkinan tradisi militer dengan menggebrak pertemuan pagi hari sudah biasa dia lakukan di negara tempat singgahnya sebelumnya, yaitu di Pamalayu. Kedua, kita semua tahu bahwa ada buronan besar kerajaan yang belum juga tertangkap, desakan Sang Prabu mungkin saja membuat Pangeran mengambil pilihan ini segera. Ketiga, Tumenggung Aria Laksam yang merupakan penanggung jawab utama keamanan negara, sekarang sedang meninggalkan istana, sehingga kepemimpinannya terpaksa diambil alih secara darurat.
***
Sementara itu berada di tempat yang jauh dari istana, Saga Winata dan Purna Winata sedang melatih para anak buahnya. Mereka dilatih secara militer dengan bentuk latihan yang sama seperti para prajurit negara. Itulah yang membuat pasukan rampok ini ditakuti dan tak terkalahkan. Karena pada dasarnya kekuatan mereka hampir setara dengan kekuatan prajurit Kerajaan Galuh. Kali ini mereka sedang diberi pelatihan tentang ketangkasan permainan pedang. Mereka berbaris dengan melakukan gerakan jurus-jurus pedang sesuai aba-aba yang diberikan.
Purna Winata adalah salah satu anak buah Saga Winata yang cukup dekat. Meskipun kedudukannya adalah anak buah, tetapi mereka bersikap seolah sepasang saudara. Seringkali Purna Winata diberi kepercayaan untuk memimpin pasukan ketika Saga Winata sedang tidak bersama mereka. Dan kali ini Purna Winata sedang memimpin kegiatan latihan pasukannya.
Selesai berlatih, mereka pun berbaris untuk mendengarkan orasi penyemangat dari Purna Winata.
"Salam Winata, Salam Kebebasan...!" seru Purna memberi salam pembuka.
"Salam Winata, Salam Kebebasan...!" balas mereka semua menyeru secara serempak dengan mengacungkan pedang ke atas. 'Salam Winata' adalah salam pembuka bagi seluruh kelompok Winata. Salam itu dilakukan dengan mengacungkan pedang ke atas atau bisa menggunakan senjata apapun yang sedang dipegangnya. Tetapi ketika tidak menggunakan senjata, bisa menggunakan kepalan tangan saja.
Kemudian salah seorang anak buah mendekati Purna Winata seraya berbisik "Kang Purna, Ada yang tidak mengacungkan pedang," tuturnya.
"Siapa?"
"Itu yang di tengah," tunjuk anak buahnya.
Purna pun mendekati orang yang dimaksud, kemudian menariknya ke depan secara paksa.
"Hei... Tidak mau kenalan dulu?" tanya Purna meledek.
"Ampun, Kang. Apa salah saya?" kata orang itu memohon.
Saga Winata yang menyaksikan itu langsung mendekatinya.
"Hei... Siapa kamu?" tanya Saga.
"Saya kan anak buahmu, Raden!" jawabnya.
Purna kemudian melirik ke arah Saga sambil tersenyum. "Aku dilarang panggil Raden, kok dia boleh?" tanya Purna meledek Saga.
Saga Winata kemudian mencabut pedangnya dan langsung menusuk ke arah jantung si orang mencurigakan tersebut.
Orang itu mengerang kesakitan untuk beberapa lama kemudian tergeletak dan mati. Saga menginjakan kaki kanannya pada tubuh yang tergeletak itu kemudian mencabut pedangnya sendiri dan mengacungkannya ke atas "Salam Winata...! Salam Kebebasaaaaaaan....!" teriak Saga penuh semangat. Kemudian seluruh anak buahnya bersorak serentak membalas salamnya.
"Memanggil Raden artinya meminta dibunuh? Hahaha..."
celoteh Purna meledek.
"Di sini cuma kamu yang tahu kalau aku anak tumenggung. Jika ada orang lain yang tahu, bisa dipastikan dia bukan keluarga Winata."
"Hahaha... Kalau begitu aku mau pura-pura tidak tahu ah..."
Saga tertawa kecil sambil mendorong bahu Purna yang mulai menyebalkan.
"Kalau ada mata-mata lagi, mengaku saja. Aku akan mengampuni karena menghargai kejujuran. Jangan sampai aku melakukan hal yang sama kepada kalian seperti yang aku lakukan pada orang ini...!" seru Saga memberi peringatan kepada barisan anak buahnya.
Kemudian dua orang pria maju ke depan dan bersimpuh di kaki Saga. "Tolong ampuni kami...!" mereka memohon.
"Siapa kalian?" tanya Saga.
"Kami telik sandi dari Galuh. Ampuni kami, Kami hanya menjalankan Tugas."
"Iya, aku menghargai kejujuran. Aku mengampuni kalian," ujar Saga sambil mengelus rambut keduanya. Kemudian Saga mundur sedikit ke belakang dan.... 'BLASSSTTTTTT' sebilah pedang memisahkan kepala salah satu dari dua orang mata-mata tersebut dari badannya. Seorang mata-mata itu menjerit ketakutan setelah melihat rekannya dipenggal oleh pedang milik Purna. "Ups... Maaf, aku hanya menjalankan tugas...," ucap Purna meledek.
"Kau sudah bilang mau mengampuni kami...!" teriak mata-mata itu.
"Iya aku mengampuni kalian, tapi temanku belum tentu..." ujar Saga.
"Maaf ya... tidak sengaja...!" ucap Purna melawak.
"Tolong ampuni aku, aku janji akan menjadi anak buahmu yang setia," ucap si mata-mata masih dalam posisi bertekuk lutut. Kali ini memeluk kaki Purna.
"Setia? Kamu saja tidak setia pada tuanmu," ujar Purna.
"Aku berjanji akan setia menjadi pengikut kalian"
"Siap melakukan tugas pertamamu?" tanya Purna.
"Siap Tuan. Siap."
"Ambil kain, bersihkan pedangku ini dari darah kawanmu."
"Iya Tuan, iya."
Purna menyerahkan pedangnya, kemudian orang itu merobek baju miliknya untuk digunakan sebagai kain lap. Pedang pun dibersihkan dari darah. Setelah bersih, Purna memintanya kembali. "Sini kembalikan...!" perintah Purna.
"Jangan, Tuan..." bantah si mata-mata memeluk pedangnya.
"Lho? Itu milikku kok tidak boleh aku minta?"
"Aku takut kalau Tuan akan membunuhku."
"Oh... Begitu...? Ya sudah pedangnya buat kamu saja."
"Terima kasih, Tuan...!"
"Sekarang sana kembali ke barisanmu!"
"Baik, Tuan...!"
Si mata-mata berbalik badan dan berjalan kembali ke barisannya. Seraya berjalan lambat, dia terus merangkul pedang itu. Purna tertawa kecil melihatnya, dia mengambil kujang yang diselipkan di pinggangnya dan menusuk leher mata-mata itu dari belakang kemudian menyayatnya hingga muncratan darahnya melumuri wajah dan pakaian Purna sendiri. Tubuh si mata-mata itu kejang-kejang dan tergeletak. Dia pun mati secara mengenaskan. Darahnya menggenangi tanah dengan cepat.
Para anak buahnya yang melihat itu banyak yang merasa puas karena mereka sudah tidak terancam lagi. Sementara sebagian justru merasa tidak tega melihat peristiwa itu. Di barisan belakang, ada tiga orang yang memisahkan diri dari barisan untuk melarikan diri. Namun mereka bertiga mampu dihentikan dengan anak panah yang dilesatkan oleh seorang remaja salah satu anak buah Saga. Saga melirik ke arah anak buahnya itu seraya memberi tanda jempol kepadanya sambil tersenyum.
Purna kemudian mengambil kembali pedang miliknya yang masih dalam posisi dipeluk oleh si mata-mata yang sudah dibunuhnya.
Saga Winata menyeletuk, "Dasar pelit...! Pedang sudah diberi ke orang malah diminta lagi."
Purna pun seketika menjatuhkan pedangnya dan membalas celotehan Saga, "Oh iya, lupa. Bisa kena penyakit gondok aku."
***