Kerajaan Galuh, 1295 Masehi.
Desa Pengason, adalah sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Galunggung. Desa tersebut terkenal akan hutan pinusnya yang rimbun, serta pertambangan emas yang dikelola oleh Pemerintah Kerajaan selama puluhan tahun.
Di desa ini pula terdapat tempat yang menjadi pusat pemakaman para raja beserta keluarganya. Meski letaknya jauh dari kotaraja, tetapi letak pemakaman di desa ini sudah ada sejak zaman kerajaan Tarumanegara. Sudah menjadi tradisi turun temurun yang tidak boleh diubah. Inilah arti dari nama Pengason yang berarti Peristirahatan.
Sore itu, angin bertiup sejuk. Cukup mampu mengibarkan kain bendera berwarna hitam yang ditengahnya terdapat lambang bergambar siluet pohon pinus berwarna putih yang dikelilingi oleh bentuk lingkaran berwarna sama. Kain bendera itu terikat pada sebuah bambu gading berdiameter sedang. Tingginya sekitar 4 meter.
Di bawah tiang bendera, berdiri sebuah bangunan pendopo yang merupakan tempat para remaja desa menimba ilmu. Ya, gambar pada bendera tersebut adalah lambang dari perguruan yang bernama Wana Wira ini.
Perguruan ini dikelola oleh seorang kakek tua yang bernama Sutaredja. Beliau merupakan satu-satunya pengajar di sini.
Biaya pengelolaan perguruan ini seluruhnya berasal dari pihak kerajaan. Untuk itu, semua murid di sini ketika sudah menyelesaikan pendidikannya, diwajibkan untuk mengabdi kepada kerajaan.
Sistem pendidikan di perguruan ini dibagi menjadi tiga golongan.
Golongan pertama adalah pendidikan politik. Ini diperuntukan khusus untuk kalangan keturunan bangsawan saja. Seperti keluarga raja, anak-anak dari pembesar kerajaan, hingga para keturunan pejabat lainnya dari mulai tingkat Mahapatih sampai setingkat Demang. Lulusan dari golongan pendidikan ini akan menempati kedudukan sesuai hak nya masing-masing. Ada yang menjadi Penerus jabatan orang tuanya, atau di awal perekrutan sekedar menjadi pendamping pejabat pemerintah. Itu semua tergantung pertimbangan langsung dari Raja.
Golongan kedua adalah Pendidikan Pertahanan. Ini merupakan pendidikan ilmu beladiri atau olah kanuragan. Ini bebas untuk siapapun mempelajari, asalkan masih merupakan penduduk asli kerajaan Galuh. Lulusan dari pendidikan ini akan langsung mengisi posisi keprajuritan negara. Jika selama mengabdi menyandang prestasi yang bagus, akan diberikan kenaikan pangkat. Bahkan bisa sampai menjadi seorang Tumenggung atau Panglima.
Golongan ketiga adalah pendidikan kerohanian. Ini merupakan pendidikan yang mempelajari ilmu ke-Tuhan-an. Murid yang menyelesaikan pendidikan ini nanti pada akhirnya bisa bebas memilih untuk menyalurkan ilmunya kemana saja, meskipun pergi melanglang buana keluar dari wilayah Galuh. Dengan syarat harus menikah terlebih dahulu dengan seseorang yang harus penduduk asli dari Kerajaan Galuh.
Perguruan ini terletak di tengah hutan di kaki gunung Galunggung. Di hari yang menjelang malam, udara dingin disertai kabut mulai menyelimuti, melilit diantara celah-celah pepohonan pinus di sekeliling bangunan perguruan itu. beberapa murid di golongan pertahanan masih bersemangat berlatih.
Sutaredja yang sedang berdiri di pelataran, sedang memusatkan pandangannya ke arah hutan pinus yang terletak dari balik pagar pembatas bangunan perguruan. Pandangannya bias oleh kabut yang mulai menebal. Tak berapa lama, seorang anak kecil muncul dari balik kabut dengan pundaknya yang memikul dua buah gentong berisi air penuh. Satu-persatu gerombolan anak kecil itu muncul semakin banyak, semuanya sama-sama memikul dua buah gentong berisi air. Meski langkah mereka begitu cepat, tetapi tak satupun dari mereka menumpahkan air dari dalam gentong yang mereka pikul. Seorang anak di posisi terdepan tersenyum bahagia, kemudian sesampainya di gapura pembatas koplek perguruan, dia pun bersorak bahagia seolah telah berhasil memenangkan sebuah perlombaan.
Air yang mereka bawa pun kemudian langsung dituangkan kedalam kolam yang terletak di samping kanan pelataran bangunan utama. Setelah itu satu-persatu mereka meletakan gentong-gentongnya secara rapih di dekat kolam. Setelahnya mereka berdiri berbaris teratur menghadap gurunya di pelataran.