Chapter 1. Pangeran dan Monster.
.
.
.
.
.
.
"hahaha lihat tuh, si babi lagi jalan"
"Sejak kapan babi bisa jalan pakai dua kakai, seharusnya kan dia jalan pakai empat kaki"
"Hihi si ndut kok masih aja mau masuk sekolah? Kenapa nggak berhenti aja, nggak cocok tau kalau bintang kesekolah"
"Lihat tuh lemaknya hampir keluar wkwkwkw"
"Idih wajahnya kayak orang minta di tampar"
Semua hinaan orang-orang di sekolah selalu menjadi penyambut kedatangan setiap pagi.
Tidak jarang mereka akan akan melempar barang atau Sampah ke arahnya.
Tak satupun dari mereka mau membantu ataupun mencegah, guru-guru disekolah seakan tuli.
Tidak ada yang perduli, sampai kapan diskriminasi ini akan berakhir?
(🍏)"Hei! Panggil si B**I!! Ke toilet sekarang!!" Teriak seorang siswa di kelas.
Ia berdiri dari bangku, dengan sengaja ia menendang bangku orang lain sebagai pelampiasan kekesalannya.
Ada dua orang ajudan yang mengikuti dari belakang.
Salah satu dari mereka mendekati anak itu dan berbisik.
(🥕)"Habislah kau"
Deg
Bisikan itu membuatnya tegang, entah apalagi yang ingin mereka lakukan padanya.
Semoga bukan hal yang buruk.
"Gara-gara dia susana kelas selalu kacau"
"Berapa bangku lagi yang mau ditendang sama si Jihan gara-gara anak itu selalu membuat nya kesal?"
"Coba dari awal masuk dia nggak bikin masalah sama Jihan. Pasti sekolah nggak akan ada masalah"
"Kenapa masalah yang dia bikin selalu berdampak kekita"
Kenapa mereka selalu menyalakanku? Apa salahku? Bukan aku yang memulai semua ini.
Si Jihan anak pembuat onar itu yang memulai kekacauan dan kebisingan di kelas.
Aku adalah korban, tapi yang mereka bela adalah penjahat yang sebenarnya.
Apa karena penjahat itu kaya dan punya wajah rupawan ketimbang aku yang miskin dan jelek ini.
Dunia ini tidak adil.
Yang kuat selalu menang dan yang lemah selalu kalah.
"Woy! Lu di panggil sama Jihan dari tadi! Jangan bikin dia nunggu terlalu lama!"
(🥒)"I...iya aku kesana sekarang" bergegas ia menaruh tasnya di bangku dan pergi menuju toilet.
.
.
.
.
.
.
Bruk
(🥒)"Akh!"
Jihan menedang anak itu ke pintu toilet cukup keras.
Jihan mendekat dan berjongkok di depan anak yang ia tendang tadi sampai tersungkur.
(🍏)"Udah dibilangin jangan lapor guru kalau gue ngerokok disekolah! Tapi kenapa tetap Lo laporin?! Mau sok jadi murid teladan gitu?"
(🥕)"Mungkin dia nggak tahan di bully, makanya dia ngelapor ke guru supaya dapat perlindungan"
(🍏)"Haha, benar juga sih. Tapi percuma juga guru-guru nggak akan ada yang perduli, apalagi sama anak miskin yang nggak punya prestasi"
(🥒)"B...Bu..bukan aku yang melaporkannya..aku benar-benar tidak tau apapun"
Buk
(🥒)"Uhuk-uhuk!"
Jihan kembali menedang anak itu sampai terbatuk-batuk.
(🍏)"Lu kira gue bakal percaya gitu aja omongan elu? Gue punya saksi yang ngeliat Lo pergi keruang BK"
Deg
Kata-kata Jihan membuat anak itu terdiam, bagaimana dia tahu?
(🍏)"Kenapa? Kaget kalau gue tau? Asal lo tau aja, ayah gue pemilik sekolah ini. Jadi gue bisa mencari tau siapapun yang mencoba melaporkan gue. Ya walaupun katahuan guru gue tetap aja kena hukum sih, dan gara-gara elo kartu kredit gue disita sama orang tua"
(🥒)"A..aku...akan mengganti uangmu"
(🍏)"Hahaha, Lo pikir gue mau minta ganti rugi sama orang miskin kaya lo? Uang aja Lo nggak punya, gimana mau gantiin?" Ucapnya dengan nada meremehkan.
(🥕)"Udah miskin sok-sokan mau gantiin lagi"
(🍌)"Terus kita apain dia?"
(🍏)"Kalian berdua hajar dia sampai mampu terus siram pakai air pel. Gue mau kekelas sebelah nemuin kakak gue dulu"
(🥕/🍌)"Siap bos!"
Kedua ajudan Jihan melaksanakan perintah bos mereka.
Mereka berdua menghajar anak itu di toilet dan setelah itu menyiramnya dengan air bekas pel.
Toilet itu jarang di pakai karena jaraknya yang cukup jauh jadi tidak ada siapapun yang akan membantu anak itu.
Setelah menyelesaikan perintah, dua ajudan Jihan pergi meninggalkan anak itu di lantai toilet.
Bajunya basah kuyup karena air pel yang mereka siram, ia masih diam ditempat.
Beberapa saat kemudian ia mencoba berdiri.
POV🥒
Sampai kapan semua ini akan berakhir?
Padahal aku hanya melakukan hal yang benar. Kenapa selalu aku mendapatkan balasan yang buruk.
Lagian aku melaporkan dia karena melanggar aturan sekolah.
Apa aku salah?
Hidupku memang sangat buruk
Kenapa aku harus lahir ke dunia yang tidak ingin menerima keberadaanku.
Aku juga ingin bahagia dan punya kehidupan yang baik.
Apa ini balasan dari hal baik yang kulakukan?
Hahaha...kalau dipikir pikir apa yang kulakukan? Jika aku melaporkannya apa aku mendapatkan keuntungan? Guru-guru itu juga hanya akan melakukan tugas mereka untuk mendisiplinkan anak itu lalu mereka tidak akan perduli lagi akan seperti apa nasibku.
Mereka semua sampah
Seharusnya dari awal aku tidak melakukan itu untuk membalasnya karena membully ku.
Ah, aku benar-benar gila...
Lebih baik sekarang aku mengganti baju dan kembali ke kelas.
.
.
.
.
.
.
Hari menjelang siang, guru memasuki kelas dan memulai pelajaran.
(👨🏫)"Selamat siang semuanya. Sebelum kita memulai pelajaran berikutnya bapak mendapat kabar kalau kelas kita akan kedatangan murid baru"
"Murid baru?"
"Cowok apa cewek?"
"Wah! Kira-kira seperti apa dia"
"Semoga anak cewek cantik"
(👨🏫)"Tenang semuanya! Dia akan datang sebentar lagi. Tadi pagi dia tidak bisa datang langsung ke kelas karena ada berkas yang harus dia urus, jadi...."
Clek
Seseorang membuka pintu kelas, semua yang ada di kelas langsung terdiam melihat orang itu.
(🍋)"Permisi"
(👨🏫)"Eh? Ah, itu dia murid baru yang bapak maksud. Silahkan masuk"
(🍋)"Terimakasih pak"
Ia masuk lalu berdiri di depan kelas.
Semua mata tertuju padanya.
"Wow lihat wajahnya?!"
"Ganteng banget!!"
"Apa dia artis"
"Badannya tinggi! Sekitar 180 cm?"
"Woah!! Ini benar-benar gila!!"
(👨🏫)"Para siswi tolong tenang! Biarkan teman baru kalian memperkenalkan diri dulu"
(🍋)"H..halo namaku Brian Regan. Umur 17 tahun. Aku sebelumnya sekolah di Amerika.
Aku pindah kesini karena orang tuaku harus mengurus perusahaan disini"
(👨🏫)"Baiklah brian, sekarang kamu bisa duduk di bangku kosong di sebelah Tian"
(🍋)"Baik, pak. Terimakasih banyak"
"Kenapa dia harus duduk sama si babi?"
"Perbedaan mereka kontras sekali antara seorang pangeran dan Monster hihi"
"Ya ampun, apa tidak ada tempat yang lebih bagus ketimbang sebelah si babi"
Brian mendekati bangku di sebelah Tian yang berad di belakang.
(🍋)"Hai"
(🥒)"H..hai" jawab Tian dengan ragu.
(🍋)"Namamu Tian ya?"
(🥒)"Iya"
(🍋)"Senang bertemu denganmu. Semoga kita bisa jadi teman yang baik ya ^_^"
(🥒)"Ah, iya aku juga"
Ketika pak guru hedak memulai pelajaran, ia melihat Tian memakai baju olahraga.
(👨🏫)"Tian, kenapa kamu memakai baju olahraga di jam saya?"
(🥒)"Maaf, pak. Baju saya basah kena air pel saat Piket tadi pagi"
(👨🏫)"Lain kali hati-hati, Jangan sampai kamu memakai baju olahraga di jam saya lagi"
(🥒)"Baik, pak"
Setelah itu guru melanjutkan pelajaran sampai jam pulang sekolah.
Semua siswa-siswi bersiap untuk pulang. Tian yang ada jadul piket hari ini pulang paling terakhir.
Tidak ada yang mau membantunya, yang punya jadual piket hari justru pulang duluan.
POV 🥒
(🥒)"Cih, Bisa-bisanya mereka melakukan ini padaku. Mereka pikir mereka bisa meninggalkan jadual piket seenaknya. Akan kulaporkan mereka ke wali kelas nanti gerutu Tian sambil mengepel lantai.
Puk
Seseorang menepuk bahu Jian
(🍋)"Tian"
(🥒)"Astaga, kau mengagetkan ku!"
(🍋)"Maaf membuatmu kaget. kenapa kamu piket sendirian, mana yang lain?" Tanya Brian.
(🥒)"Mereka sudah pulang dari tadi"
(🍋)"Mau kubantu?" Brian menawarkan diri. Tapi Tian merasa ragu.
(🥒)"Tidak usah, kamu kan murid baru"
(🍋)"Nggak papa kok, kebetulan aku belum masuk ke jadual piket. Kata pak guru aku bebas memilih hari untuk jadual piket. Jadi aku memilih jadual yang sama dengan biar kamu nggak piket sendirian lagi"
(🥒)"Beneran nggak papa nih?"
(🍋)"Iya nggak papa kok"
Ternyata dia tidak seburuk yang kukira, kupikir orang yang punya wajah itu tampan itu sombong dan melakukan hal seenaknya. Seperti Jian.
Tapi dia berbeda, apa kami bisa menjadi teman?
Aku sangat iri dengan dia, kalau aku punya wajah dan tubuh sebagus itu mungkin aku akan punya jalan hidup yang baik.
(🍋)"Tian, Kenapa kamu melamun terus, ada yang kamu pikirkan?"
Kata-kata Brian menyadarkan Tian dan lamunannya.
(🥒)"Ah, tidak ada apa-apa kok. Ayo kita piket"
(🍋)"Ayo"
.
.
.
.
Bersambung