Disaat jam istirahat sekolah, aku pergi ke toilet untuk membasuh wajahku agar hati dan pikiranku bisa kembali tenang. Beberapa murid laki-laki berjalan memasuki toilet. Begitu melihatku, aku merasa bahwa tatapan mereka akan membunuhku. Dan juga suara-suara itu ... sangat menggangguku. Meskipun mereka hanya menyimpannya dalam hati jika di hadapanku, tapi di belakangku mereka membicarakanku, mengatakan hal-hal yang tidak-tidak padaku.
Ketika aku sampai di bangkuku, aku melihat di atas meja, kursi, dan juga di kolong meja penuh dengan sampah. Entah itu sampah kering, maupun sampah basah, semuanya ada di bangkuku. Semua orang menatapku dengan tatapan yang seolah-olah telah berhasil mengerjai diriku. Aku menatap semua murid-murid di kelasku dengan tajam, mereka pun berpura-pura mengalihkan pandangan dan berbuat seolah-olah tak mengetahui apapun. Hebat sekali, masih kecil tapi sudah bisa berakting. Mereka pikir aku tidak tahu bahwa pelakunya adalah mereka semua?
Aku melihat kedatangan Aryo ke kelas. Aku juga menatapnya dengan tajam, sedangkan Aryo hanya menunduk. Ia tidak berbicara denganku, ataupun sekedar bertegur sapa. Ya, dia juga sama dengan mereka. Bahkan, dia lebih buruk lagi. Mana ada seorang sahabat yang meninggalkan sahabatnya di saat sang sahabat kesulitan seperti ini? Ini jauh lebih menyakitkan daripada mendapat tatapan-tatapan mengerikan itu.
Aku pun membersihkan sampah-sampah itu menggunakan sapu tanpa memedulikan apa yang mereka pikirkan. Ketika aku hendak membuang sampah-sampah itu ke tempat sampah, beberapa orang siswa laki-laki dari kelas lain memanggilku.
"Heh, Bocah aneh!" seru mereka. Begitu aku menatap mereka, para siswa itu menertawakanku. Mereka juga sama. Semua orang di sekolah ini sama saja, semuanya jahat.
Aku mengabaikan panggilan mereka dan hendak mengembalikan sapu. Namun, salah satu dari mereka menarik kerahku dan mendorongku di dinding.
"Lo mau mengabaikan kita, huh?!" bentak anak itu. Apa mereka pikir aku akan takut dengan mereka? Meskipun tubuhku lebih kecil dari mereka, tapi aku bukanlah orang lemah. Aku menatap mereka semua dengan sangat tajam, aku tak peduli meskipun mereka kemungkinan akan memukulku.
Tapi, mereka malah melepaskan tangan mereka dari kerah seragamku. Dan mereka jua terlihat ketakutan.
"Cabut yuk," ajak siswa yang tadi menarik kerahku. Mereka pun pergi dari hadapanku, sedangkan aku malah jadi sedikit bingung. Padahal aku hanya membalas tatapan mereka sembari berkata dalam hati agar mereka berhenti menggangguku. Oh, itukah yang disebut dengan mengendalikan pikiran orang lain?
*****
Rasanya, aku sudah tidak kuat lagi menjalani hidup ini. Seandainya saja aku memiliki orang tua, mungkin aku tidak akan sesedih ini. Tetapi di saat aku sedih, Belle menghampiri diriku yang masih belum terbiasa dengan kehadirannya.
"Kenapa kau terlihat sedih? Ceritakan padaku, mungkin aku bisa membantumu," ucap Belle. Aku pun menggelengkan kepala.
"Lo nggak akan paham, lo kan hantu," sahutku. Tetapi, gadis itu justru tersenyum padaku.
"Aku memang hantu, dan mungkin aku tidak akan memahami ceritamu. Tapi ..." ucapnya. "Setidaknya kau memiliki teman berbagi untuk mengurangi bebanmu,"
Aku menarik napas berat. Aku menatapnya dengan sedikit ragu. Tapi, aku rasa dia bisa dipercaya. Sepertinya yang ia katakan itu benar. Setidaknya, aku bisa menghilangkan beban ini dengan bercerita.
"Apa gue pantas buat hidup?" tanyaku. Belle tampak terheran-heran mendengar pertanyaanku.
"Eh? Kenapa kau berpikir begitu?" tanyanya, Aku pun menjawab.
"Orang tua gue buang gue ke panti asuhan, seolah-olah emang nggak ditakdirkan buat dilahirkan," ucapku. Belle menatapku dengan penuh rasa iba.
"Ketika gue udah bisa ngeliat semua ini, gue jadi makin tahu kalau gue emang nggak seharusnya dilahirkan di dunia ini," lanjutku. Belle pun menatapku sembari tersenyum.
"Setiap anak itu patut untuk dilahirkan. Tidak ada yang tidak pantas. Aku rasa, setiap anak memiliki keistimewaan sejak mereka dilahirkan," ucapnya. " dan kau adalah anak yang istimewa. Tuhan menakdirkanmu memiliki kemampuan itu bukan tanpa tujuan. Tuhan ingin kau bisa menggunakan kemampuan itu untuk kebaikan semua yang ada di dunia ini,"
"Jadi, berhentilah berpikiran buruk tentang dirimu sendiri," lanjutnya. Apa benar yang dia katakan? Tuhan menakdirkanku lahir di dunia ini untuk itu? Aku tidak tahu. Yang jelas, aku masih belum bisa menerima itu semua untuk saat ini ...
*****
* Author pov *
"Gue nggak punya teman untuk beberapa tahun. Tapi sekarang ..." Dewa menepuk-nepuk bahu Benny berkali-kali.
"Gue punya Benny, yang benar-benar bisa gue percaya. Yeah ... meskipun dia agak bocor sih," canda Dewa. Mendengar ucapan Dewa, Benny hendak menghantam laki-laki itu dengan sumpit. Namun, ia tidak jadi melakukan itu. Ia justru tersenyum.
"Makasih, Wa, udah percaya sama gue," ucap Benny dengan senyumannya yang begitu ceria. Dewa hanya menjawab dengan senyuman.
Dewa menatap Amor yang juga tengah menatapnya.
"Dan juga ..." ucapan Dewa tiba-tiba berhenti begitu saja. Amor sangat penasaran, apa yang akan dilakukan oleh laki-laki itu?
"Dan juga apa?" tanya Amor. Otak Dewa tiba-tiba seperti berhenti bekerja saat pandangan matanya bertemu dengan mata Amor. Laki-laki itu tiba-tiba menjadi gugup.
"Nggak, nggak apa-apa," sahut Dewa sembari menggaruk kepalanya. Oh, kenapa ia tidak bisa mengatakan kepada Amor, bahwa ia sangat bersyukur dengan kehadirannya?
***** TBC *****