Kini Evan sedang berjalan menikmati suasana perkotaan yang membuatnya menjadi sedikit rileks. Evan melihat toko-toko yang berjejer di sepanjang acara jalan-jalannya, rencananya hari ini dia akan berkunjung kemakam ibunya. Saat asik berjalan matanya menangkap sebuah toko bunga yang cukup menarik perhatiannya. Dia melangkahkan kakinya ke toko bunga tersebut, saat memasuki toko bunga tersebut indra penciumannya langsung menangkap wangi semerbak dari berbagai macam bunga.
Evan berjalan ke arah kasir, dan dia melihat sosok wanita yang berdiri sambil tersenyum di balik meja kasir tersebut
"Um, bisa kau memberiku bunga yang cocok untuk ibuku?"
"Aku yang pilihkan?" wanita itu tersenyum, tapi sorot matanya tidak mengarah kepada Evan
"Boleh, kira-kira bunga apa yang cocok untuk ibuku?"
"Bunga anyelir merah muda cocok untuk diberikan pada ibumu, itu melambangkan kasih sayang yang abadi"
"Boleh aku lihat bagaimana bunganya?"
"Sebentar, kak Vando tolong ambilkan bungan anyelir merah muda!" wanita itu memanggil pegawainya yang sedari tadi sibuk merangkai bunga, tak lama pegawai itu membawa bunga yang cukup cantik
"Itu cantik, aku akan membelinya"
Setelah selesai membayarnya sebenarnya Evan ingin segera pergi ke makam, tapi entah kenapa Evan malah penasaran dengan wanita itu yang sedari tadi tidak menatap ke arah Evan.
"Hei kenalkan aku Evan Juanda"
"Oh aku Vania Dirgantara"
"Hei aku ada disini, kenapa kau melihat ke arah belakang?" Evan menunjukkan ekspresi heran
"Ohh maafkan aku, aku tidak bisa melihat dari SMP" ekspresi Vania tampak sedih
"Ahh maafkan aku, apa kau ingin melihat lagi?"
"Tentu saja aku mau" Vania menjawab dengan yakin
"Kalau begitu biarkan kau harus menunggu beberapa waktu lagi ya" ucapan Evan barusan membuat Vania sedikit terkejut
"Maaf, apa maksudnya?"
"Tidak usah khawatir, karna aku pasti akan menepati janjiku. Oh iya aku pergi dulu ya Vania"
Evan tersenyum, dan meninggalkan Vania yang masih terdiam karna ucapan Evan yang terlalu tiba-tiba baginya.
.
.
.
Evan sudah tiba di makam ibunya, dia meletakkan bunga yang baru saja dia beli dan mulai berdoa, setelah itu dia berjongkok tepat di samping makam ibunya, tatapannya tampak sangat sedih
"Bu, Evan mengunjungi ibu lagi, kuharap ibu tidak pernah bosan karna aku mengunjungimu tiap hari" Evan terkekeh sebentar sebelum dia melanjutkan perkataannya
"Hari ini aku membawakamu bunga yang sangat bagus bukan? Seorang gadis cantik yang merangkaikannya untukmu" Evan mengambil nafas, "Ibu tau matanya juga sangat cantik, ehehehe sepertinya anakmu ini jatuh cinta untuk yang pertama kalinya"
Evan tidak melanjutkan perkataannya dan mengeluarkan tangisan yang telah dia pendam sejak awal, Evan terus menerus menghapus air matanya tapi tangisannya tidak bisa berhenti.
"Bu wanita itu hiks mengingatkanku padamu, senyumnya hiks sangat mirip denganmu hiks sejujurnya aku tidak mau jatuh hiks cinta padanya, karna pasti pada akhirnya aku hiks hanya akan menyakitinya"
Pada akhirnya Evan terduduk, dia masih terus menangis untung saja hari itu hanya dia saja yang ada di pemakaman tersebut.
"Kenapa disaat hiks aku jatuh cinta untuk yang pertama kali hiks Tuhan harus memberiku penyakit ini bu, aku hiks ingin melihat wanita itu tersenyum hiks tapi sepertinya Tuhan tidak mengizinkanku"
Setelah tangisannya reda, Evan berdiri dan membersihkan celananya yang kotor terkena tanah, dia tersenyum ke arah makam ibunya dan sebelum dia meninggalkan makam ibunya dia mengucapkan sesuatu
"Saat waktuku untuk bertemu ibu semakin dekat, aku akan mendonorkan mataku untuk wanita itu, karna aku ingin diriku terus hidup dalam dirinya. Aku pergi dulu ya bu, tidak lama lagi kita akan bertemu kok"
Setelah itu Evan benar-benar meninggalkan makam ibunya dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya
.
.
.
Sudah berjalan 1 bulan sejak Evan terakhir kali mengunjungi makam ibunya, selama satu bulan itu juga dia mengurung dirinya dengan berkas-berkas kantor yang tak ada habisnya, dan juga Evan tidak pergi ke rumah sakit untuk melakukan kontrol. Kini Evan duduk di kursinya dengan wajah yang sangat pucat.
'Brak'
Suara gebrakan pintu yang sangat keras membuat Evan terkejut, dan dari arah pintu tampak 2 orang berjas yang berjalan dengan tanpa rasa bersalah karna sudah mengagetkan Evan.
"Hey apa kabar bos besar!" teriak salah satu dari mereka
"Diamlah Adrian, aku tidak tuli tau" Evan membenarkan kacamatanya dan melonggarkan dasinya
Adrian tampak terkekeh, beda dengan orang satunya yang tampak memberikan tatapan yang sangat tajam pada Evan
"Kau tidak ke rumah sakit lagi?" tanya orang itu
"Ayolah Fero aku tidak akan bertahan hidup lebih lama lagi, jadi buat apa aku ke dokter" Evan tampak sangat santai sekali
"Setidaknya kau bisa hidup lebih lama" Alfero menjawab dengan sedikit berteriak
"Untuk apa aku hidup lebih lama, jika selama aku hidup aku hanya akan merasa kesakitan, dan tolong berhentilah mengoceh itu sama sekali tidak cocok dengan tampilanmu yang seperti pria itu" Evan terkekeh menanggapi Alfero yang kini tampak cemberut
"Hey jangan menghinanya, dia tetap cantik kok dimataku" Adrian ikut berbicara
"Diam kau sipit" perkataan Evan membuat Adrian terdiam seketika
Mereka semua menjadi diam sesaat, tak tahan dengan kesunyian ini Alfero berdiri dari duduknya dan menyerahkan sebuah map pada Evan
"Kau yakin akan melakukan ini?" tanya Alfero sebelum melepas semua jarinya dari map yang telah dipegang Evan
"Tenang saja Fero aku sangat yakin, lagipula jika aku tidak melakukannya hidupku hanya akan menjadi sia-sia" Evan tersenyum pada Alfero yang tampak khawatir
"Baiklah kalau itu keinginanmu, jangan lupa berikan kami sesuatu untuk mengingatmu setelah kau pergi" setelah itu Alfero pergi dari ruangan Evan bersama dengan Adrian yang tampak sangat sedih
.
.
.
Di sisi lain, Vania terlihat sangat senang sekali saat mendengar kabar bahwa dia akan mendapatkan donor mata dari seseorang. Hari ini dia sudah membuat janji dengan dokter yang mengurusnya untuk mengecek kecocokan mata yang nantinya akan menjadi mata Vania.
"Kak Vando ayo cepat" Vando tersenyum melihat Vania yang terlihat sangat bersemangat
Mereka berdua sedang menunggu dipanggil untuk menemui dokter yang mengurus Vania kedepannya, tak lama kemudian mereka sudah dipersilahkan untuk masuk. Vando menuntun Vania untuk duduk di kursi yang telah disediakan.
"Jadi begini, setelah saya mengecek kecocokan mata yang akan didonorkan ternyata mata itu cocok dengan nona Vania. Kita akan melakukan operasi setelah menemukan waktu yang tepat" perkataan dokter itu membuat Vania sangat senang
"Anu, kalau kami boleh tau dok, siapa orang yang mendonorkan mata tesebut?" tanya Vando
"Ahh maafkan aku, pihak pendonor tidak ingin identitasnya diketahui" dokter itu menunjukkan wajah bersalah
"Yah padahal aku mau berterima kasih pada orang itu" Vania tampak cemberut, hingga Vando mengajaknya untuk berpamitan
"Kalau begitu kami pamit pulang dok, terima kasih banyak"
.
.
.
Waktu berlalu dengan sangat cepat, kini kota tempat Evan tinggal sedang dilanda hujan dari daun-daun yang berwarna coklat. Dari jendela kamarnya, Evan tampak memperhatikan daun-daun yang berjatuhan tersebut dalam diam, sesekali Evan menyesap kopinya yang terlihat masih sangat panas.
'Brak'
Gebrakan pintu tersebut, hampir saja membuat Evan menumpahkan kopi panasnya. Evan melihat siapa yang sudah menggebrak pintu kamarnya sekeras itu.
"Hey Adrian bukankah sudah kubilang berkali-kali jangan membuka pintu ruanganku sekeras itu, hampir saja kulit tanganku melepuh terkena kopi panas ku ini" Evan menatap Adrian dengan tajam
Sedangkan yang ditatap hanya terkekeh, "Ehehe maafkan aku Evan, omong-omong kau sedang apa?"
"Aku hanya menatap daun jatuh" jawab Evan datar
"Ohh begitu aku datang disaat yang tapat rupanya, kau pasti belum makan jadi segera turun kebawah karna Fero sedang memasak" Adrian kembali keluar dengan menutup pintu kamar Evan dengan keras
"Dasar si sipit itu"
Akhirnya setelah mengganti pakainnya dengan piyama Evan turun kebawah, dan dia sudah dapat mencium aroma masakannya.
"Cepatlah duduk Evan" Alfero sudah duduk di meja makan dengan Adrian yang berada didepannya
Evan duduk disamping Adrian dan mengambil sup yang mengepulkan banyak asap, menandakan bahwa sup itu masih sangat panas. Belum sempat Evan menghabiskan supnya, kepalanya terasa berputar dan terlalu berat untuk diangkat
"Hey kau tidak apa-apa!" teriakan Alfero hanya terdengar samar oleh Evan
"Fero kau panaskan mobilnya, biar aku yang gendong Evan cepat!" Adrian tampak panik, dan terus menguncang tubuh Evan agar tetap dalam keadaan sadar
Alfero segera beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke garasi, sedangkan Adrian dengan sekuat tenaga membopong Evan yang tubuhnya lebih besar darinya.
Perjalanan menuju rumah sakit terasa sangat menegangkan, dan untung saja jalanan pada hari itu tampak lenggang, jadi Alfero bisa mengebut. Saat sampai di rumah sakit, Evan segera dilarikan ke UGD untuk menerima pertolongan, tak lama dokter yang mengani Evan keluar
"Apa disini ada keluarganya?" tanya dokter tersebut
"Keluarganya sudah tidak ada semua, kami adalah sahabatnya jadi bagaimana keadaan Evan dok?" tanya Alfero dengan nada yang sangat khawatir
"Sepertinya dia tidak akan merasakan sakit lagi beberapa minggu lagi, aku tidak tau kapan pastinya tapi sepertinya hanya tersisan 1 minggu lagi, kalaupun dia dipindahkan ke ICU itu sama sekali tidak akan membuatnya lebih lama untuk bertahan"
Pernyataan dari dokter tersebut membuat Alfero tak dapat menahan tangisannya, dengan sangat halus Adrian mengelus punggung kekasihnya itu
"Kalau begitu tolong pindahkan dia keruangan yang paling bagus, dan tolong rawat dia dengan baik hingga satu minggu, karna kami harus membawa orang yang sangat berarti baginya" ucap Adrian pada dokter tersebut, dan mendapat persetujuan dari dokter tersebut
"Baiklah kalau begitu saya permisi dulu"
.
.
.
Sudah 5 hari sejak Evan dirawat, Adrian dan Alfero sedang bekerja keras untuk mencari keberadaan Vania, dan sudah selama 2 hari ini pula mereka menginap di rumah Evan tapi mereka secara bergantian menjaga Evan yang sedang tidak sadarkan diri.
"Adrian bagaimana, kita belum menemukan apa-apa hingga saat ini" Alfero tampak sedih
"Tenanglah Fero, aku yakin kita bisa menemukannya di kamar ini, karna aku sudah mengenal Evan sejak kami masih kecil. Jadi dia pasti menyimpan hal-hal yang berharga baginya disini" Adrian mencoba meyakinkan Alfero dengan tangan yang masih sibuk membuka laci meja belajar Evan
Saat membuka laci terakhir, Adrian tersenyum sangat lebar saat menemukan sebuah kartu sebuah toko bunga.
"Fero kemarilah aku menemukannya" Alfero segera menghampiri Adrian
Setelah melihat kartu tersebut Alfero tersenyum, dan langsung menarik Adrian menuju alamat yang tertera pada kartu tersebut.
Saat sampai di toko bunga tersebut pintunya terbuka sangat lebar, dengan segera Alfero masuk ke toko bunga tersebut dan melihat Vania yang sedang berdiri dibalik meja kasir.
"Hey apa kau yang bernama Vania?" Alfero dengan tidak sabaran langsung bertanya
Vania yang kaget membutuhkan beberapa detik untuk menjawab pertanyaan Aflero, "Uh iya aku Vania, kalian ada perlu apa?"
"Bisa kau ikut dengan kami" kali ini Adrian yang bertanya
"Mau apa kalian membawa Vania hah?" Vando tiba-tiba datang dan langsung menarik Vania kebelakangnya
"Tenanglah, kami hanya mau membawa dia bertemu teman kami" Adrian mencoba membalas sesantai mungkin
"Siapa nama teman kalian?" tanya Vando dengan wajah datar
"Evan Juanda" jawab Alfero dengan tidak sabaran, "Kau boleh ikut dengan kami kalau kau khawatir pada Vania, kami mohon karna kami dikejar waktu"
Melihat wajah Adrian dan Alfero yang tampak sangat lelah, membuat Vando sedikit iba, "Baiklah, aku akan menutup toko ini"
"Cepatlah, kami tunggu di mobil"
Saat sampai dirumah sakit, Vando mengernyitkan dahinya heran, karna rumah sakit ini sama dengan tempat Vania akan mendapat donor
"Hey apakah temanmu sedang sakit parah?" tanya Vando
"Ya itu benar" jawab Adrian
Saat sampai dikamar rawat milik Evan, mereka masuk ke ruangan itu dan melihat Evan yang sedang diperiksa oleh dokter
"Dok, kapan teman kami sadar?" tanya Alfero sedikit kaget karna melihat Evan yang membuka matanya
"Dia sudah sadar dari 10 menit yang lalu" jawab dokter tersebut sambil meneruskan pemeriksaannya
"Apakah kami bisa mengajaknya bicara" tanya Adrian
"Boleh kok, kalau begitu saya pamit dulu"
Dokter tersebut keluar dari kamar rawat Evan, dan Alfero membawa Vania lebih dekat pada Evan
"Lihat Evan, siapa yang datang menemuimu" Alfero tersenyum dan Evan dapat melihat hal itu
"Hai Evan, sudah lama kita tak bertemu" Vania tersenyum juga, hal itu membuat Evan mengeluarkan air matanya
"Hai Vania, maafkan aku tidak bisa menemui lagi setelah hari pertama kita bertemu" Evan terlihat sangat lemah, bahkan nada bicaranya sangat pelan
"Hei tidak apa-apa yang penting kau baik-baik saja" Vania masih memperhatikan senyumnya
"Oh iya apa kau sudah mengecek kecocokan matamu dengan mata yang akan didonorkan"
Vania tampak terkejut karna Evan mengetahui hal tersebut, sedangkan Adrian dan Alfero tampak menahan tangisnya, Vando yang tidak mengetahui apapun hanya terdiam
"Sudah kok, dan untungnya hasilnya cocok" Vania mencari pinggiran ranjang untuk dia pegang, dan Evan membantunya
"Syukurlah kalau begitu, aku bisa menemui ibuku dengan tenang" Evan tersenyum dan tentu saja Vania tidak bisa melihat senyuman Evan
"Evan apa maksudmu" raut wajah Vania tampak kebingungan
"Setelah ini kau jangan pernah menangis lagi ya" Evan masih tersenyum dengan tangannya yang menggegam tangan Vania, "Aku adalah orang yang mendonorkan mata itu untukmu, aku kan sudah janji untuk membuatmu bisa melihat keindahan dunia lagi dan untungnya saja mataku cocok dengan matamu"
Tangisan Adrian dan Alfero pecah seketika, dan Vando segera menopang Vania yang tampak akan terjatuh.
"Berjanjilah padaku kau tidak boleh menangis saat sudah bisa melihat nanti, karna aku akan mengawasimu dari atas sana" nafas Evan perlahan menjadi lemah
"Kenapa hiks kenapa kau mendonorkannya padaku, kau hiks memang sudah berjanji bisa membuatkumelihat keindahan dunia, tapi bukan seperti ini yang ku mau" tangisan Vania pecah seketika
"Jangan menangis, karna aku sudah berjanji pada diriku untuk menjadi berguna bagi orang lain, lagipula kalau aku mempertahankan mataku itu tidak akan berguna, karna aku akan segera menemui ibuku" Evan mengelus punggung tagan Vania
"Hiks kau tak boleh meninggalkanku hiks Evan, jangan tinggalkan aku"
"Sudah jangan terus menangis, karna aku akan terus hidup dalam dirimu lewat mata itu. Omong-omong aku juga menyimpan sesuatu untuk kalian semua termasuk Vando di bawah meja kerjaku, tolong setelah aku pergi lupakan aku supaya hati kalian tidak sakit saat mengingat diriku. Aku pergi dulu ya"
Evan menghembuskan nafas terakhirnya, tangisan pecah di ruangan tersebut, Vando yang tidak bisa menangis segera keluar dari ruang rawat untuk memanggil dokter
.
.
.
Upacara pemakaman Evan hanya didatangi oleh pendeta dan 4 orang yang menemaninya hingga hembusan nafas terakhirnya. Setelah upacara pemakaman selesai, mereka berempat pergi ke kantor Evan untuk mengambil peninggalan Evan.
Vania yang sudah bisa melihat, menjadi orang yang pertama kali membuka laci meja kerja Evan, dia bisa melihat 4 surat dengan amplop berwarna biru dan sebuah kertas yang merupakan surat dari Evan untuk mereka.
Saat mereka membuka amplop tersebut, mereka melihat sebuah gantungan dan foto Evan yang tersenyum sangat lebar. Secara tidak sadar mereka juga tersenyum saat melihat foto tersebut.
"Dasar Evan, katanya kami disuruh melupakan dirinya tapi dia malah memberikan foto selfie narsisnya ini" ucap Adrian sambil tersenyum
"Kau terlihat bahagia Evan, mungkin jika kau tidak pergi kau bisa hidup bahagia bersama pujaan hatimu" Alfero mengelus foto tersebut sambil menahan tangis
"Aku memang tidak terlalu kenal dirimu, tapi terima kasih telas mendonorkan matamu untuk adikku" Vando tersenyum kecil
"Terima kasih Evan, padahal kita baru saja kenal tapi kau dengan baik hati mendonorkan matamu untukku" Vania menahan tangisnya
Setelah puas memandangi foto Evan, Adrian membaca surat yang ditulis oleh Evan untuk mereka.
'Halo aku Evan Juanda, seseorang yang mungkin saat kalian membaca surat ini aku sudah bertemu dengan ibuku. Aku menulis surat ini untuk berterima kasih pada kalian yang mau berteman denganku saat aku masih hidup, aku cukup bersyukur pada Tuhan karna sudah memberiku kesempatan untuk mengenal orang seperti kalian.
Pertama aku mau berterima kasih pada sahabatku Adrian dan Alfero yang sudah mau membantuku selama aku hidup, saat kalian membaca surat ini dengan resmi aku sudah memberikan perusahaanku untuk kalian. Aku mohon urus perusahaanku dengan baik, supaya kalian bisa hidup bahagia. Untuk Alfero, sejujurnya kau itu cantik kok hanya saja terkadang sifatmu lebih gentle dari Adrian, kuharap saat menikah nanti Adrian tidak menjadi suami takut istri. Oh iya saat punya anak nanti tolong namakan dia dengan namaku ya (Kalau kalian tidak mau aku juga tidak memaksa kok ehehehe).
Yang terakhir untuk Vania dan Vando, aku sangat berterima kasih pada Tuhan karna telah mempertemukanku dengan Vania, terima kasih juga untuk Vando yang sudah mengurus Vania hingga bisa menjadi wanita yang sangat baik. Walaupun kita baru bertemu beberapa waktu yang lalu, tapi aku bisa menjadi bahagia saat melihat Vania tersenyum. Oh iya untuk Vando, tolong carikan Vania pendamping hidup yang baik, tapi sebelumnya tolong bawa calonnya ke tempat peristirahatanku, kalau hujan turun artinya aku merestui mereka. aku melakukan hal karena aku tidak mau melihat Vania sedih.
Sekian surat dariku, aku yakin saat kalian selesai membaca surat ini kalian akan menangis, maka dari itu aku mohon untuk tidak menangis aku tidak mau meliat kalian sedih. Sudah ya aku pergi dulu, semoga kalian bisa bahagia'
-Salam Hangat Evan Juanda-
Seperti yang diminta Evan pada mereka untuk tidak menangis, mereka tersenyum walaupun sebenarnya mereka sangat ingin menangis.
"Selamat tinggal Evan, semoga kau bahagia" ucap mereka secara bersamaan
END