"Cukup! Aku nggak mau lagi dengar kamu!" Kedua mata Aksara memerah. Dia benar-benar sedang dalam amarah yang memuncak. Tatapan kedua matanya membara seperti terbakar sebuah api. Sungguh kenangan pahit masih dalam benak pikirannya. Ia merasa kalau dunia tidaklah adil kala itu. Namun setelah dia berhijrah tahu kalau mempercayakan hati kepada manusia harus siap-siap dipatahkan, karena tidak berlandaskan cinta Allah dia yakin kalau cinta sesungguhnya adalah memasrahkan sebuah hati lewat jalan cinta Allah. "Cukup Allah bagiku sepaketnya, aku nggak akan pernah memberikan hatiku kepada dia yang bukan pilihan Allah. Mungkin akan lewat jalur isthikarah aku akan memutuskan kepada siapa hati ini berhak ku berikan," batinnya, lalu dia pun berjalan tanpa mengubris panggilan dari Ave.