Angin berembus dengan sangat kencang sekali. Menerpa bagian puing – puing hati yang sempat hampir roboh. Melisa hanya menatap nanar sebuah ikatan yang dulu pernah ada. Kini hanya sebuah kenangan yang tidak terlupakan sama sekali. "Bodoh sekali!" runtuknya dalam hati dengan rintik air mata yang jatuh tiada hentinya. Ia tidak mengerti dan baru saja sadar kalau sebenarnya ada sebuah rasa untuk Barra. Cintanya datang terlambat ketika semua itu benar-benar hilang kesempatan. "Mungkinkah masih ada sebuah kesempatan kedua? Atau aku harus bisa menerima takdir yang telah menjadi pilihanku sendiri selama ini?" gumamnya sambil menatap langit-langit ruang rawat inap rumah sakit. Ia melihat di sebuah sofa ada seorang pria yang selalu ada untuknya. Dia adalah Rafa calon suami yang telah dia pilih selama ini. Ia merasa ada sebuah hal yang hambar ketika Barra memilih pergi dari hidupnya. Tapi satu hal yang baru Melisa sadari selama ini kalau Barra adalah bagian dari sebuah warna hidupnya.