Diandra menyandarkan tubuh ke loker. Kakinya sangat pegal, berdiri dengan sepatu tanpa kaos kaki, membuat tumitnya lecet. Entah kenapa tadi pagi ia bisa kehilangan salah satu kaos kakinya. Padahal sejak malam ia sudah menyiapkan di samping rak sepatu. Kaos kaki bersih terakhir untuk ia gunakan sebelum libur.
Tangannya meraih obat merah dan plester luka dari tas punggung kecil. Ia melirik jam, sebentar lagi shift siang datang.
Benar saja. Sekar masuk dengan tergesa. Seperti biasa, ia akan berdandan secukupnya lalu menghabiskan waktu bermain ponsel sambil menunggu jam masuk kerja.
"Kenapa kakinya, Di?"
"Lecet. Aku nggak pakai kaos kaki."
"Aku ada persediaan di loker. Pakai saja kalau mau. Bersih kok," tawar Sekar.
"Nggak usah, deh. Sebentar lagi juga pulang. Aku turun dulu, ya," pamit Diandra. Sekar mengangguk tanpa menoleh.
Saat menuruni tangga, Diandra iseng merogoh kantong. Benar, pulpennya tidak ada, pasti tertinggal di ruang ganti. Ia pun berbalik arah dan bergegas kembali ke ruangan tersebut.
Sekar kaget dan menjatuhkan tas setengah terbuka yang akan ia masukkan ke loker. Beberapa alat make up dan sebuah buku mirip diary berhamburan. Diandra mendorong pintu terlalu kuat, ia lupa kalau ada orang di dalam.
"Maaf, Sekar. Aku lupa ada orang. Oh ya, lihat pulpenku?" Diandra celingak celinguk sambil membantu membereskan isi tas Sekar. Ia memungut buku kecil itu, namun segera direbut oleh Sekar.
"Ini, pulpenmu. Tadinya mau aku bawakan sekalian turun," ucap Sekar.
"Oh, makasih, ya. Ya udah, ayo bareng," ajak Diandra. Tangannya memasukkan dua buah pulpen dengan inisial 'D' itu ke dalam saku.
Mereka berbincang perihal masalah kerja sepanjang lorong. Saat melewati kamar mandi, Sekar izin ke toilet sebentar. Diandra pun menuruni tangga sendirian. Tiba-tiba pikirannya beralih ke buku mirip diary tadi. Ia sempat membaca sekilas nama yang tertulis di sampul depan. Apa ia salah lihat? Atau karena inisial namanya sama, jadi ia menyangka nama itu Sandra?
Kakinya terantuk ujung pintu. Ia meringis lalu bergegas keluar karena telah ditunggu supervisor di kasir.
**
Sepulang sekolah, Adel hanya bermalas-malasan di kamar. Ia tidak punya rencana apapun. Membosankan. Tiba-tiba, Zahra menelepon mengajaknya main.
"Main kemana?" tanya Adel malas.
"Kemana aja. Sepedaan di sekitar alun-alun kayaknya asik," sahut Zahra dari ujung sana.
Adel berpikir sejenak. Ia pun menemukan ide akan kemana mereka sore ini.
"Ya udah, kamu ke sini dulu, jemput aku," pinta Adel kemudian.
Lima belas menit kemudian, gadis berambut lurus itu sudah tiba. Adel yang menunggu di teras segera naik ke atas boncengan sepeda mini berkeranjang tersebut.
"Sudah bilang Tantemu?"
"Sudah. Yuk!"
"Mau kemana?" tanya Zahra sekali lagi.
"Oh iya. Kamu bonceng aja, deh. Kita ke suatu tempat," ujar Adel lalu mengambil alih stang. Zahra menurut tanpa bertanya lagi. Ia yakin, Adel bukan ingin ke alun-alun.
Sepanjang jalan, mereka hanya membicarakan kejadian di sekolah hari ini. Ada rumor baru, di komplek sebelah sosok yang diduga perobek mulut itu terekam CCTV. Namun tidak jelas wajahnya, hanya dari gestur tubuh, ia terlihat seperti seorang perempuan muda.
"Del, jangan ke tempat aneh-aneh, ya. Aku takut," ujar Zahra saat mereka melewati persawahan sepi. Jalan raya selebar 1,5 meter itu lengang. Tidak ada satu pun kendaraan yang melintas.
"Kita ke daerah rumah Mbak Sandra. Aku dengar, dulu adiknya meninggal bunuh diri." Adel mempercepat laju sepedanya.
"Eh, bu ... bunuh diri?" pekik Zahra. Tangannya langsung melingkar ke pinggang Adel. Suasana yang sunyi membuat gadis itu di dera rasa takut.
"Iya. Makanya aku mau pastikan, hantu anak kecil yang waktu itu ... apakah adik Mbak Sandra atau bukan," ucap Adel.
"Del ... apa kita nggak balik aja? Kenapa di sini sangat sepi?" Suara Zahra bergetar.
"Duh, Zahra. Ini masih sore, nggak bakal ada hantu sore-sore begini. Lagian daerah ini memang sepi. Kamu lihat kan, padi belum siap panen. Jadi nggak ada orang di sawah," gelak Adel. Zahra cemberut.
Di persimpangan, mereka mulai melihat satu dua rumah penduduk dan juga toko kelontong. Adel mengajak berhenti sebentar membeli minum.
"Kalian bukan anak sini, ya?" sapa pemilik warung itu ramah. Adel mengangguk, sedang Zahra tampak asik menikmati minumannya.
"Mau kemana? Saya lihat, kalian dari arah kota. Jalan ke sini lumayan sepi, lho. Jangan sampai kesorean pulangnya."
"Eh, itu mau ke rumah teman, di desa Rejo," ucap Adel sambil bersiap pamit.
"Desa Rejo? Siapa nama temanmu?" tanya pemilik warung mengernyitkan kening.
Adel melirik Zahra. Yang dilirik pura-pura asik menyedot susu kotak coklat.
"Sebenarnya bukan teman sekolah, cuma sering ketemu saat main di alun-alun. Namanya Mbak Sandra," jelas Adel bohong.
"Sandra? Yang rumahnya bercat ijo itu, kan? Setahu saya, anak itu nggak pernah keluar rumah selain ke sekolah. Apalagi sejak ...."
"Adiknya bunuh diri?" tebak Adel. Ibu itu mengangguk kaget.
"Kalau boleh tahu, kenapa adik Mbak Sandra bunuh diri, Bu?" tanya Adel serius.
Ibu itu memandang Adel dengan heran. Ia mengamati bocah itu dari ujung kaki sampai ujung rambut yang di kuncir kuda. Tak lupa manik di balik kacamata tebal ia perhatikan.
"Kamu kelas berapa?"
Adel menepuk dahi. Ia paling sebal dengan cara pandang orang dewasa akan dirinya.
"Kami kelas 3, Bu." Akhirnya Zahra buka suara. Ibu itu mengangguk.
"Apa kalian nggak takut, kalau ibu ceritakan tentang Hanna?"
"Hanna??" Serempak Adel dan Zahra berpandangan. Mereka menduga itu nama adik Sandra.
"Ya, Hanna itu tetangga Sandra, teman adiknya, Sandria," jawab si ibu sambil duduk di bangku depan anak-anak SD itu.
"Oh ...," gumam Zahra dan Adel berpandangan.
"Jadi, setelah meninggalnya Sandria, Hanna sering mendengar suara tangisan dari pekarangan rumah keluarga Sandra. Bahkan ia kerap melihat sosok anak kecil mirip Sandria di halaman rumah tersebut."
Zahra bergidik ngeri. Ia pun merengkuh lengan Adel.
"Hanna jadi sering demam, karena ketakutan. Ia tidak berani lewat rumah mereka lagi, walau siang hari. Akhirnya Hanna pun diajak pindah ke desa lain ...."
"Apa Hanna pernah cerita seperti apa sosok hantu tersebut?" sela Adel.
"Kamu nggak takut, ya ...." Ibu itu tersenyum melirik Zahra yang gelisah. "Nggak pernah. Ia hanya bilang hantu Sandria saja."
"Kalau begitu, seperti apa ciri-ciri Sandria?"
"Hmm, dia ... hampir mirip temanmu ini. Tingginya segitu, rambut lurus, kulit bersih. Anaknya pendiam. Mungkin karena sejak kecil ia hanya tinggal dengan Kakaknya, Sandra."
"Eh ... berdua? Orang tuanya kemana?" Adel makin antusias.
"Mereka bercerai. Ibunya jadi TKW di Taiwan. Kebutuhan mereka ditanggung ibunya. Tidak ada keluarga mereka di sini. Setahu ibu, neneknya ada di Jakarta."
Adel mengangguk. Rasanya informasi dari ibu tersebut sangat berguna. Ia pun terpikirkan untuk menanyakan hal lain.
"Apa ibu tahu soal sosok perobek mulut?"
Ibu itu mendadak pucat. Tangannya gemetar. Bahkan ia bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam.
"Kalian pulang saja, udah jam 5, sebentar lagi maghrib. Bahaya anak-anak jam segini masih berkeliaran di luar," ucapnya tegas. Adel memandang jam tangannya. Ah, secepat itu waktu. Ia bahkan belum sempat melanjutkan perjalanan ke rumah Sandra. Tapi, melihat kondisi Zahra yang ketakutan mendengar cerita tentang Sandria, ia pun memutuskan untuk pulang saja.
"Ya sudah, kami pamit dulu, Bu. Terima kasih, informasinya." Adel menggamit lengan Zahra. Saat menuju sepeda, Zahra mendahului dan menyuruhnya membonceng saja.
Ternyata gadis itu memacu sepeda dengan sangat kencang, tak peduli kanan kiri. Untung jalan masih sepi, tidak ada kendaraan bermotor lewat.
Tiba di alun-alun, Zahra berhenti sejenak. Ia mengatur nafas yang terputus-putus. Keringat membanjir di pelipis dan wajahnya.
"Kenapa buru-buru begitu?" tanya Adel sambil mengulurkan tisu.
"Gila, emang kamu nggak takut?" sungut Zahra.
"Takut apa? Kan aku udah bilang, masih sore nggak bakal ada hantu."
Tiba-tiba suara klakson motor mengagetkan mereka. Adel menoleh, ternyata Diandra.
"Nah, itu kebetulan Tante Diandra udah pulang. Aku bareng dia aja, ya." Adel turun dari boncengan.
"Oke, deh. Dah ...."
Zahra kembali memacu sepedanya dengan tergesa. Diandra memandang curiga.
"Kalian dari mana?"
"Jalan-jalan ...." sahut Adel singkat.
Setelah memastikan Adel sudah naik, Diandra memutar tuas gas pelan. Ia khawatir anak itu tertinggal lagi seperti kemarin lalu.
**
Mereka menunggu maghrib di ruang tamu sekaligus ruang televisi. Adel beberapa kali mengeluh lapar, Diandra lupa tadi pulang tidak mampir membeli makanan dulu.
"Itu, di tas tante ada cemilan. Ambil aja, bawa ke sini."
Adel bangkit dan ke kamar langsung menuju tas kerja Diandra yang tergantung. Ia membuka di bagian tas paling besar, dan langsung menemukan cemilan yang dimaksud. Tapi ia tertegun. Ada buku catatan kecil terselip di antara make up yang memang tanpa tempat khusus. Ia pun meraihnya karena belum pernah melihat Diandra menulis di buku tersebut. Namun, tangannya terhenti karena Diandra memanggil.
"Ada nggak?"
"Ini, kan?" Adel menenteng sebungkus wafer coklat. Diandra mengangguk.
"Tante, buku kecil di tas itu apa? Diary ya?" tebak Adel.
"Buku?" Dahi Diandra mengernyit heran.
"Iya. Kecil banget, segini ...." Adel menyatukan kedua jari telunjuk dan jempolnya menjadi kotak. Diandra mengingat sebentar, apa ia punya buku sekecil itu?
Ah! Jangan-jangan ....
Gadis itu melesat ke kamar, dan langsung membuka tas yang tidak tertutup sempurna. Benar, ada buku kecil terselip di sana. Tapi, itu bukan buku miliknya. Itu buku yang ia lihat tadi siang, terjatuh dari dalam tas Sekar.
Dengan gemetar, ia berjalan ke ruang tamu menemui Adel yang asik ngemil. Ia menunjukkan buku itu.
"Ini ... bukan milik tante. Sepertinya milik Sekar, tapi entah kenapa bisa ada di dalam tas tante," ujarnya bingung.
"Eh, mungkin tadi nggak sengaja pas kalian di loker lupa salah ambil."
Diandra menggeleng. Seingatnya, setelah bertemu Sekar di loker siang tadi, ia baru kembali saat pulang. Berganti baju dan mengambil tas, lalu langsung pulang. Ia memang membuka tas lagi, tapi tidak merasa memasukkan buku itu ke dalam tasnya.
Memang, loker mereka kuncinya rusak. Jadi siapa saja bisa membukanya. Tapi selama mereka di sana, belum pernah ada yang merasa kehilangan barang berharga, karena katanya siapa saja yang berani mengambil barang milik orang lain pasti ketahuan sama pemilik swalayan. Diandra sendiri belum pernah melihat langsung sosok pemilik toko terbesar di kota tersebut. Namun menurut yang ia dengar, beliau laki-laki sepuh yang memiliki ilmu membaca pikiran.
"Coba lihat." Adel mengulurkan tangan. Tapi Diandra ragu hendak memberikan.
"Jangan, Del! Ini milik orang lain, kita nggak perlu tahu apa isinya," cegah Diandra.
Adel malah semakin penasaran, setelah melihat tulisan di sampul tersebut.
"Tante yakin, itu milik Mbak Sekar bukan Mbak Sandra?"
"Eh??"
Diandra menjatuhkan buku tersebut setelah membaca nama pemiliknya. Kenapa Sandra? Berarti benar, apa yang tadi dilihatnya.
**
"Mau makan apa, Del?"
Mereka kembali ke ruang tamu setelah salat maghrib. Buku catatan itu masih tergeletak di meja, belum mereka buka walau rasa penasaran sejak tadi menggelitik hati.
"Apa aja, deh. Adel males keluar rumah," sahut Adel sambil merebahkan diri di sofa.
"Mi goreng mau?"
"Mi rebus aja, pakai telur sama sawi."
"Tadi katanya terserah," sungut Diandra sambil beranjak ke dapur. Adel hanya nyengir.
Bocah itu memandang buku bertuliskan nama Sandra. Ia yakin ada petunjuk di dalamnya, mungkin soal adiknya yang bunuh diri. Tapi ia segan untuk membukanya tanpa Diandra.
Sepuluh menit kemudian, mi rebus dua mangkuk sudah siap. Mereka makan tanpa suara. Sengaja makan di ruang tamu, entah kenapa Diandra merasa tidak nyaman berlama-lama di dapur setelah kemarin malam mendengar suara kompor dinyalakan dan kran air di wastafel menyala sendiri.
"Mau buka buku itu sekarang?" lirik Adel setelah minya tandas.
"Hmm ...." Diandra hanya menggumam. Membereskan mangkuk dan siap ke dapur.
"Ayo ambil minum sekalian," ajak Diandra. Adel bergeming.
"Del ...!"
"Mager, Tante ...," seringainya. Diandra mendecak kesal.
Diandra bergegas menaruh mangkuk di wastafel dan mengambil botol air minum dari kulkas. Ia merasa ada yang memperhatikan di balik pintu kamar mandi.
"Tadi, Adel sama Zahra sepedaan dekat rumah Mbak Sandra," celetuk Adel saat Diandra meneguk air dingin. Gadis itu tersedak karena kaget.
"Ngapain ke sana?" sentak Diandra.
"Adel masih penasaran dengan adiknya yang bunuh diri."
Diandra mendesah. Ia menggenggam buku kecil itu.
"Kalau gitu, kita cari tahu di sini ...."
"Eh, tunggu. Adel dapat informasi bagus. Tadi waktu membeli minuman, ibu pemilik warung cerita soal anak bernama Hanna yang bisa melihat hantu anak kecil, di pekarangan rumah Mbak Sandra. Tapi sayangnya anak itu sudah pindah rumah. Dan ternyata adik Mbak Sandra bernama Sandria. Mereka hanya tinggal berdua, karena orang tuanya cerai dan ibunya menjadi TKW."
"Sandria? Terus katanya kenapa anak itu bunuh diri?"
"Adel belum sempat tanya soal itu, karena ibu pemilik warung menyuruh kami pulang."
Diandra ragu hendak membuka sampul buku yang sejak tadi telah bersama mereka. Ia merasa tengkuknya meremang.
"Del, besok saja, deh kita bacanya. Tante takut ...."
Adel mengernyit heran. "Takut apa?"
"Entahlah. Tante merasa di dalam buku itu ada hal penting tentang Sandra dan keluarganya."
Baru selesai berbicara begitu, tiba-tiba jendela di belakang mereka bergetar. Sebuah batu menghantam daunnya yang terbuat dari kaca.
"Ya Allah ...!" Diandra memekik. Adel langsung melompat menjauh, takut terkena pecahan kaca jika terjadi lemparan lagi.
Untunglah hanya sekali, walau membuat retakan di permukaan. Diandra mengintip dari lubang pintu. Tidak ada siapapun.
"Del ...."
Adel berdiri mematung. Tatapannya ke sudut ruangan lain yang redup.
"Dia ... ada di sana!"
***