***
"Ya! Itu! Klan Hellius!" pekik pria berkumis itu mendapat jawaban mutlak. "Kudengar kalau Hellius adalah prajurit iblis Rexiana, dan para monster malam itu dipanggil dari neraka untuk membinasakan manusia karena anaknya dibunuh oleh manusia!" antusiasnya bicara begitu semangat.
"Ya, aku dengar begitu asal usul munculnya monster malam sebelum dia sendiri mati. Sialan. Kalau para monster malam itu tidak dimusnahkan, bagaimana nasib anak cucu kita di masa depan nanti?"
"Bahkan sebelum masa depan datang, umat manusia sudah musnah mungkin," sahut pria gemuk. "Lagi pula, klan Hellius itu kan sudah tamat."
"Aku dengar mereka sudah mati dibantai beberapa tahun lalu."
"Hahha! Palingan juga mati atas perintah Rexiana untuk ikut ke neraka!"
"Kuharap mereka tidak mati dengan tenang."
Ocehan ketiga pria itu terdengar sangat jelas di tengah sepinya ruangan bar ke telinga Aiden yang duduk sendirian. Brak! Suara gelas bir besar diletakkan sedikit keras ke meja kayu oleh tangan kuat Aiden sambil mendesau usai cairan memabukkan itu meluncur ke tenggorokannya. Dia mengusap bagian bibirnya dengan punggung tangan, lalu beranjak dari tempat duduk. Punggung dibalik jubah hitamnya nampak membungkuk malas saat berjalan mendekati tiga pria itu ke meja bar.
"Berikan aku satu botol lagi," kata Aiden dengan raut bosan.
"Punya berapa banyak uang yang tersisa?" tanya bartender itu selaku pemilik bar menatap sinis.
"Oh, tunggu sebentar." Aiden segera merogoh saku. Dari saku celana pindah ke saku baju, dan Aiden tidak segera menemukan uang di setiap saku yang dirabanya. Hingga jubah hitam itu merosot jatuh ke bawah kaki saat pemiliknya sibuk mencari beberapa koin di kantong pakaian.
"Bukankah lambang itu milik klan Hellius?" tuding pria gemuk itu yang mengenali pertama gambar di punggung baju Aiden. Matanya memelotot kaget saat menunjuk punggung Aiden. Lambang dengan garis berwarna emas bergambar serigala, serta garis abstrak mengelilinginya.
"Jadi kau dari klan Hellius?" desak bartender itu. Aiden mendengus dan menggaruk pelipisnya bingung. "Begini, ya, aku tidak mau membuat keributan di malam hari. Apalagi harus meladeni kalian," keluh lelaki itu malas, mengabaikan wajah murka ketiga pria di dekatnya.
Diam-diam dari belakang pria gemuk melayangkan kursi kayu ke kepala Aiden. Brak! Suara hantaman kursinya mendarat di meja bar ketika Aiden menggeser tubuhnya menghindar, dan membuat mereka semakin naik darah. Menyambung serangan rekan gendutnya, pria berkumis juga turut melancarkan kepalan tinjuannya ke wajah yang lebih muda itu.
Aiden berkelit begitu mudah, tetapi sedetik kemudian dia memukul perut pria berkumis sehingga membuatnya mengaduh sambil terdorong mundur memegangi perutnya. Si pria perut bundar masih dengan kursi sebagai senjatanya: mengangkat kursi itu tinggi-tinggi dari meja bar sebelum dipusatkan pada Aiden. Seketika saja Aiden menangkap kursi kayu itu dengan genggaman sempurna. Rahangnya mengeras, perubahan raut Aiden mengejutkan pria berisi itu. Melihat mata yang menyiratkan kegeraman Aiden, bagaikan menyedot nyalinya, sampai menyadari kedua tungkai pendeknya hampir lemas.
Tanpa melepaskan genggaman pada kursi berkaki empat itu, Aiden mendorong dengan sedikit tenaganya hingga pria buncit itu terdesak di meja dengan posisi setengah berbaring dan ancaman kursi kayu menekan di leher berlemaknya. Walau masih ditahan sekuat tenaga oleh pria buncit tersebut. "Aku sungguh tidak berniat menggunakan tenagaku hanya untuk menghabisi manusia tak berguna seperti kalian!" berang Aiden di atas mukanya. Garis rahang lelaki itu semakin mengetat menahan geram yang bergejolak di dada, wajah mabuknya semula, kini telah dilahap emosi. Mana ada orang yang tahan bila nama keluarganya dilecehkan orang-orang sok tahu seperti mereka.
Pada saat itu serangan lain menerjang Aiden dari sisi berbeda.
***
Lorong gelap gulita dengan anak tangga melingkar yang mengarah ke ruangan bawah, dan cahaya remang-remang berwarna oranye tampak di ujung bawah akan membawamu pada kesunyian yang mendekap hangat. Sebuah ruangan bawah tanah tanpa ventilasi dengan jeruji besi di sekeliling, sudah menunjukkan kalau tempat ini merupakan sel tahanan.
Tidak ada seseorang di dalam sel dengan seorang penjaga yang sedang tidur itu. Semua ruangan sel itu kelihatan kosong, kecuali sel tahanan paling ujung di mana seseorang tampak duduk memeluk lutut di tanah tanpa alas dan seekor tikus berhenti di dekat bola besi yang merantai pergelangan kaki kurus itu.
Gaun putih di tubuh ringkihnya kelihatan lusuh, seperti sudah berhari-hari tidak ganti. Rambut panjang milik gadis ini pun tidak terurus, berantakan dan menjuntai panjang menyentuh tanah. Sepucat gaun putih warna rambutnya yang perak bak kehilangan kilaunya. Dibalik poni yang menghalau pandangan, dia menunduk menatap tikus kecil yang sedang menggerak-gerakan moncongnya ke atas, seolah berusaha memberitahu sesuatu.
"Begitu, ya?" desau suara pelannya seakan memahami bahasa tikus kecil ini.
***
***
"Aku bukan Hellius yang cerdik dan lihai berkelahi seperti leluhurku," dengus Aiden seraya membenahi jubahnya di pundak dengan pintu bar yang tertutup di punggungnya. Lalu, ketika pandangannya memindai ke sekitar, Aiden terpegun di tempat.
Di malam hampir menyentuh tengah malam ini, biasanya semua orang telah bersembunyi di dalam selimut mereka, akan tetapi rombongan warga justru terlihat berbondong-bondong berjalan pada satu arah. Keheranan di benak Aiden dalam sekejap menggantikan emosinya terhadap ketiga pria tadi setelah keluar bar dan melihat keramaian tiba-tiba di depan mata.
Padahal beberapa menit yang lalu keadaan desa kelihatan sepi dan tenang. Tetapi sekarang sudah ramai saja. Apakah dia melewatkan sesuatu?
"Ough, aku tak ingin melihatnya..." Suara lemah dan serak tertangkap indra pendengaran Aiden yang segera mengalihkan tatapannya ke sumber suara bernada sedih itu. Dapat dia temukan seorang nenek membawa beberapa tangkai bunga mawar putih di tangan keriputnya yang tampak agak bergetar. Kesedihan tak berdaya tergambar di wajah kuyu wanita lanjut usia itu. Hanya berjarak satu langkah berdiri, Aiden tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. "Nenek, mereka semua mau pergi ke mana?" tanya Aiden.
"Penghukuman kepada penyihir akan dilakukan malam ini.... Aku tidak sanggup melihatnya dihukum mati. Padahal dia anak yang sangat baik dan berbudi luhur." Duka yang tak bisa dihindarkan ini seakan mencekik tenggorokannya, sehingga wanita tua itu bicara dengan napas tercekat saat harus menahan air mata sekuat tenaga yang telah mengaburkan pandangannya kini. Genggaman jemari tuanya mencengkram kuat tangkai bunga di dada, seolah membagi rasa kehilangan yang kian menusuk hatinya kepada sang bunga mekar.
Aiden diam memperhatikan itu saat otaknya berusaha mencerna maksud ucapan nenek itu. Kemudian seorang anak perempuan datang dari lain arah sembari berlari kecil. "Nenek! Ternyata kau di sini," ucap anak perempuan itu ketika berhenti. "Sebaiknya kita kembali ke rumah dan tidur." Anak perempuan itu memegangi lengan renta nenek dan hendak membimbing beliau untuk berjalan.
"Tidak, aku ingin melihat dia untuk yang terakhir kalinya," tolak nenek setengah lemas.