Chereads / Be Mine / Chapter 1 - 1. Pria gila

Be Mine

Jayanti_merliana
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 8.7k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 1. Pria gila

"Tul jaenal jaijatul pak jayadi, Yura jelek nabrak motor nyemplung kali."

Yura menutup telinganya yang panas mendengar nyanyian manusia laknat yang mengikuti langkahnya. Manusia super mesum yang mengganggu hari-hari indahnya.

Dia, Yogi Saputro. Sekretaris pribadi Big boss. Tapi, sejak pertemuannya di kantor cabang bali. Yogi tak berhenti mengusiknya. Pria itu bahkan memindahkannya di kantor utama yang ada di jakarta.

Hari-harinya tampak sangat memuakkan kala Yogi selalu mengusiknya. Yogi selalu mengatainya kurus, kering, jelek. Dan masih banyak hinaan yang lainnya. Coba bayangkan. Seorang sekretariat pribadi dengan latar pendidikan tinggi, hobinya menghina orang. Itu hanya Yogi yang melakukan.

Yura duduk di kantin perusahaan menunggu makanan yang dia pesan. Sedangkan Yogi duduk di sebrang mejanya. Sudah pasti Yogi akan menggombali karyawati yang sedang lewat.

"Cewek, cantik nengok dong. Yang buriq gak usah!" ucap Yogi saat empat cewek sengaja lewat dihadaannya. Yura yang mendengar itu ingin sekali menonjok muka sok iyesnya.

"Cantik, selamat makan. Yang jelek aku gak ngucapin!" ucap Yogi saat ada karyawati yang lewat lagi.

Yura memakan makanannya dengan lahap. Tak mempedulikan pria gila yang terus berceloteh tidak jelas. Waktu istirahat tinggal setengah jam. Dan ia harus cepat-cepat. Yura sudah bekerja sebagai manager di devisi marketing sejak dua tahun lalu di kantor cabang bali. Tapi, sejak ketemu Yogi. Yogi memindahkannya di cabang utama. Sebenarnya rumah Yura ada di kawasan Bogor. Tapi, Yura lebih suka di Bali karena disana banyak destinasi wisata. Dan tentu saja jauh dari keluarganya. Yura tersenyum miris. Ia lupa sudah di tendang dari keluarganya.

"Manis, boleh gabung?" tanya Yogi yang langsung duduk dihadapan Yura dengan membawa makanannya. Yura acuh, ia tetap lahap pada makanannya. Yura ingat, sebelum kerja. Ia tak bisa sekedar makan nasi dan telur. Karena Yura hanya makan kalau keluarganya sudah makan.. Itu pun dengan nasi sisa. Sungguh miris di jaman modern ada keluarga yang kejam.

Yogi mengamati wajah Yura. Wajah dengan pembawaan yang tenang itu sama sekali tak terusik dengan wajah tampannya. Yogi menyugar rambutnya pelan. Pandangannya beralih pada dada Yura yang montok. Lekuk tubuh Yura sangat aneh bagi Yogi. Pipi chubby, badan kurus kering, tapi dada montok. Kira-kira siapa yang membesarkannya? Batin Yogi.

"Yura!" panggil Yogi membuat Yura mendongak.

"Kamu punya pacar?" tanya Yogi to the point.

"Maaf?" ulang Yura yang tak percaya dengam ucapan Yogi.

"Kamu pucar pacar? Kok dadamu besar? Padahal tubuhmu kurus begitu!"

Yura yang merasa dilecehkan pun, langsung berdiri. Menarik kerah baju Yogi. "Ngomong apa kamu?" tanya Yura dengan tajam.

"Eh apaan nih. Lepasin!" ucap Yogi saat saat lehernya terasa tercekik. Sontak kelakuan mereka menjadi sorotan para karyawan yang kebetulan ada disana.

"Punya mulut dijaga, Pak. Jangan bisanya cuma ngoceh. Trus kalau dada saya besar kenapa? Masalah buat bapak?" murka Yura yang masih menarik kuat kerah kemeja Yogi.

Yogi terbahak-bahak mendengar penuturan Yura. Apalagi wajah Yura yang merah padam. Menambah kadar kelucuan gadis itu. Sebenarnya Yura tidak cantik. Kulitnya hitam tapi manis. Apalagi senyumnya. Tapi sayang, perempuan itu pelit senyum.

Yogi meneliti Yura dari atas sampai bawah. Pandangannya beralih pada dada Yura. Yura yang sadar di tatap. Langsung mengangkat garpu siap mencolok mata Yogi.

"Aku gak peduli kalau jabatan pak Yogi lebih tinggi. Karena pak Yogi udah melecehkanku. Aku gak segan-segan mencongkel mata mesun anda!" gertak Yura. Karen sudah cukup jadi tontonan, Yura meninggalkan Yogi begitu saja. Sontak Yogi langsung mendapat tatapan mengejek dari para karyawan.

"Awas aja Yura!" batin Yogi. Ini bukan kali pertama Yogi dan Yura bertengkar. Hampir tiap hari kerjaan mereka selalu begitu. Salahkan Yogi yang tiap hari suka sekali mencari hara-gara.

Mood Yura sudah hancur. Ia kembali ke ruangannya dengan wajah yang tertekuk masam. Di mejanya sudah banyak tumpukkan kertas yang siap dia garap. "Aduuuh pasti lembur lagi!" keluh Yura dengan tak semangat. Kalau dulu di Bali, ia hanya punya kubikel kecil dan tak pernah lembur. Tapi saat ini, dia punya ruangan sendiri dengan fasilitas yang bagus, tapi hampir tiap hari juga lembur. Ini sungguh hari yang melelahkan.

Pukul tujuh malam, Yura masih asyik dengan laptop dihadapannya. Tak terhitung berapa gelas kopi yang sudah ia tegak isinya. Matanya sungguh sangat berat. Ngantuk dan pusing. Seorang Pria berdiri di tembok, bersender dengan santai sambil memperhatikan Yura. Saat Yogi membuka pintu, Yura pun sampai tidak sadar.

"Ckckck!" umpat Yogi menggelengkan kepalanya. Ada mahluk setampan dia diacuhkan begitu saja. Sebenarnya bagaimana tipe lelaki idaman Yura. Sampai Yura pun sama sekali tak tertarik dengan Yogi.

Karena kesal diacuhkan, Yogi beranjak menuju Yura.

"Ayo pulang!" titah Yogi yang membuat Yura mendongak. Yura melepas kacamatanya. Mengucek matanya karena terasa perih.

"Ayo pulang!" ulang Yogi yang menarik tangan Yura.

"Woy apaan? Kerjaan saya belum selesai!" ucap Yura melepas cekalan Yogi.

"Itu bisa besok!"

"Harus sekarang. Pak Gerald sudah menunggu laporannya."

"Gerald biar aku yang urus." ucap Yogi mematikan laptop Yura. Menarik Yura keluar ruangan.

"Wah-wah ada penculikan disini?" ucap seorang pria berstelan formal. Yura yang takut langsung berlindung di balik punggung Yogi.

"Gerald, jangan menakuti Yura!" ucap Yogi dengan melotot. Gerald adalah bos nya. Pemegang jabatan tertinggi di kantor ini. Tapi, sama sekali Yogi tak takut. Karena, selain dia sekeretaris Gerald. Ia juga sahabat Gerald. Kalau dia dipecat. Yogi yakin, Gerald tak akan mendapat sekretaris sehebat dia.

"Yura, apa pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Gerald.

"Belum, pak!" jawab Yura menunduk.

"Yasudah, lanjutkan saja besok. Selamat istirahat!" ucap Gerald yang berlalu pergi. Ada istri yang akan mengamuk saat dia lembur.

"Ah leganya!" ucap Yura tanpa sadar. Yogi menaikkan alisnya. Gitu aja takut.

"Ayo kuantar pulang!" Yogi menarik tangan Yura.

"Tunggu!" ujar Yura menahan tangan Yogi.

"Kamu pulang pakai apa? Aku gak mau kalau pakai motor. Lebih baik aku naik taksi. Pake motor dingin," ucap Yura.

"Gampang, sampai kontrakan kamu. Biar aku angetin!"