Setelah acara geret-menggeret, akhirnya Yura duduk juga di dalam mobil Yogi yang kini tersenyum penuh kemenangan. Yura melirik sinis kearah sekretaris bos nya itu.. Bisa-bisanya Pak Gerald memungut Yogi yang bahkan saat pembagian otak tidak hadir, untuk dijadikan sekretaris. Mungkin Yogi masuk ke kantor ini dengan jalur nasib. Karena, kalau pakai jalur prestasi itu sungguh tidak mungkin. Yogi hanya pandai menggoda wanita cantik, batin Yura.
"Kenapa sih kulitmu hitam begitu? Membuat mataku hampir copot melihatnya!" ucap Yogi menunjuk-nunjuk lengan Yura. Yura mendelik kesal. Itu namanya penghinaan. Body shaming.
"Ini bukan hitam! Tapi exotis!" sangkal Yura yang tidak terima. Yogi tergelak. Ia tertawa ngakak sampai memukul-mukul stir kemudinya. Melihat itu, makin membuat Yura lebih kesal.
"Kamu mengataiku hitam, memangnya dirimu seputih apa hah?" teriak Yura menggeplak lengan Yogi dengan keras.
"Kamu mau lihat? Aku bisa buka baju disini!" ucap Yogi menantang.
"Dasar Gila!" ketus Yura.
"Terimakasih pujiannya!"
"Hey aku tidak memujimu!" teriak Yura lagi
"Berhentilah berteriak. Tenggorokanmu bisa sakit!" ucap Yogi.
"Jangan mempedulikanku!"
"Kucabut ucapanku. Jangan berteriak karena kupingku bisa sakit,"
"Dasar bedebah!" batin Yura. Yura memilih bungkam. Daripada meladeni pria gila disampingnya. Yogi yang melihat keterdiaman Yura pun, merasa ini sangat tidak asyik. Yogi masih ingin bertengkar lebih hebat dengan Yura.
"Kenapa juga dengan matamu? Matamu jelek hah, makanya pakai kacamata?" ejek Yogi seolah jijik melihat Yura.
"Heh tuan! Ini mata punya saya. Kenapa anda mengurusi. Urusi saja mata anda sendiri yang sering jelalatan melihat dada saya. Anda pikir saya tidak tau kalau anda sering menatap dada saya?" serobot Yura yang sudah kesal setengah pingsan.
"Jadi cewek jangan Percaya diri. Dadamu itu sungguh tepos, penyet kayak peyek!" ucap Yogi tergelak.
"Bajingan!"kesal Yura menjotos pipi Yogi. Entah kenapa juga perjalanan mereka juga terasa sangat lama. Atau gara-gara si iblis cabul yang menyetiri.
"Manusia gak punya pendirian. Tadi di cafe bilang dadaku besar. Sekarang bilang aku tepos. Memang suka benget cari gara-gara!" gerutu Yura yang melengos menatap jendela mobil. Yogi mengusap pipinya yang dijotos Yura. Tangan kerempeng Yura lumayan sakit juga ternyata.
"Mampir, beli makan dulu!" ucap Yogi saat menghentikan mobilnya di Food Countr yang buka dua puluh empat jam. Yura menyeringai, ini saatnya membalas Yogi.
"Cepat pesan makanan. Aku, kamu pesankan sekalian!" titah Yogi mendorong bahu Yura. Saking kuatnya dorongan Yogi, membuat Yura hampir terjungkal.
"Ck, tidak mencerminkan laki-laki idaman. Kasar dengan wanita," batin Yura.
Yura memesan gurame bakar dua porsi. Juga es teh jumbo dua porsi. Setelah memesan. Yura ikut duduk di depan Yogi. Pandangan Yura menyapu di sekelilingnya, Food countr ini di dominasi oleh pengunjung yang membawa keluarga kecil untuk makan bersama. Yura menghela nafasnya. Andai dia tau bagaimana rasanya makan bersama keluarga. Sayangnya dia tak pernah tau.
"Jangan terus menghela napas. Kau akan cepat mati!" ucap Yogi yang membuat Yura mendelik. Apa Yogi baru saja mendoakan dia mati?.
"Simpan napasmu baik-baik. Sekarang makanlah. Aku ingin mematahkan tubuhmu kalau tubuhmu masih sekurus lidi!" ucap Yogi. Yura menggerutu dalam hati. Sejak kapan menghela napas bisa membuat manusia cepat mati? Dan lagi, ada masalah apa Yogi dengan tubuhnya? Yura baik-baik aja dengan tubuh kurus. Dan bisa dikatakan tubuhnya ini adalah, tubuh yang di idam-idamkan kaum hawa. Langsing dan menonjol pada tempatnya.
Yura memakan makanannya dengan lahap. Yogi yang makan menggunakan sendok, langsung melotot saat tau Yura makan langsung dari tangan. Yura bahkan mengangkat satu kakinya ke kursi. Apa-apaan ini? Seorang manager wanita makan di tempat umum dengan mengangkat satu kaki? Ini sungguhlah unik.
"Berhentilah menatapku! Cepat selesaikan makanmu!" titah Yura mengikuti gaya bicara Yogi.
"Hey itu gaya bicaraku! Jangan meplagiatnya!" teriak Yogi tanpa sadar. Bahkan orang-orang sudah memandang ke arahnya.
"Dasar Toa karnaval! Pelankan suaramu!" bisik Yura mengacungkan garpu yang dia ambil dari piring Yogi.
"Aku bisa saja mencongkel kedua mata mesum mu itu, menambahnya dengan saus tiram dan memakannya dengan lahap. Atau, aku juga bisa menyobek bibir mu dengan garpu di tanganku!" ucap Yura dengan nada serius. Nada yang biasa dipakai seorang Psycopath untuk mengancam mangsanya.
"Kau jelek sekali kalau sedang berekspresi serius," ucap Yogi yang membuat Yura membanting garpu di piring dengan keras. Yogi tergelak melihat wajah marah wanita di hadapannya itu. Uluh-uluh, malahnya ucul banget. Batin Yogi.
"Aku sudah selesai!" ucap Yura menyingkirkan piringnya.
"Mas!" panggil Yogi pada pelayan. Pelayan itu datang dengan membawa bungkusan plastik yang sangat besar.
"Ini pesanan anda nona. Totalnya dengan yang dimakan disini, sembilan ratus sembilan puluh ribu rupiah!" ucap pelayan itu dengan ramah. Yogi yang sudah mengeluarkan dompet, lantas menariknya kembali. Apa dia tidak salah dengar? Sekali makan malam dengan Yura, uang satu juta harus dia keluarkan.?
"Dibayar pacar saya, ya mas. Itu!" ucap Yura menunjuk Yogi.
"Hah pacar?" ulang Yogi.
"Ayo mas, cepat! Masih banyak yang harus saya layani." ucap pelayan dengan masih tersenyum. Yogi mengambil dompetnya. Mengambil uang seratus ribuan sepuluh. Memberikannya pada pelayan itu dengan kesal. Yura yang sudah keluar duluan, tertawa terbahak-bahak. Ia sangat senang melihat wajah shock Yogi.
"Harusnya tadi aku merekamnya. Imut sekali cara dia marah! Hahahah!" tawa Yura meledak. Ia tak peduli banyak orang yang menatapnya. Ia hanya peduli bagaimana cara dia menyalurkan rasa bahagianya.
"Kau sudah puas, nona?" tanya Yogi yang sudah berdiri di belakang Yura. Ia membalik tubuh Yura agar berhadapan dengannya.
"Uang satu juta bukan lah nominal yang besar bagiku. Kau masih mau makan lagi? Atau mau memborong semua makanan mereka hingga habis?" tanya Yogi menantang.
"Kapan-kapan saja. Aku mau cepat sampai rumah. Dan menghabiskan makanan ini!" jawab Yura menunjukkan kantong plastik yang dia bawa. Tak ada yang tau kalau di hati Yura mengumpat dengan berbagai umpatan. Ia lupa kalau Yogi punya banyak uang. Nominal segitu terlalu sedikit untuk jabatan sekretaris pribadi serta tangan kanan Presdir Ferdian Group.
"Kau mengaku pacarku? Percaya diri sekali kau!" ucap Yogi yang menunjuk kening Yura dengan telunjuknya.
"Hey lupakan itu! Aku hanya becanda!" teriak Yura menyingkirkan tangan Yogi.
"Kenapa kau hobby berteriak?" tanya Yogi yang juga ikut berteriak.
"Lalu kenapa kau ikutan teriak?"
"Kamu dulu yang berteriak!"
"Jangan menyalahkanku!"
"Kamu yang menuduhku!"
"Itu memang fakta!"
"Ehhh apa-apaan ini?" tanya Yogi dan Yura saat mereka diseret petugas keamanan. Dua petugas itu menyeret mereka berdua kearah parkiran. "Eeh lepasin aku!" berontak Yura. Setelah sampai parkiran, petugas itu melepaskan seretannya pada Yogi dan Yura. Petugas itu menatap aneh kearah Yogi dan Yura yang saling melempar tatapan bingung.
"Maaf pak, bu, kalau ada masalah rumahtangga selesaikanlah dengan baik-baik. Jangan bertengkar apalagi berteriak di tempat umum. Itu sangat memalukan dan sangat mengganggu pengunjung yang lain. Kami permisi!" ucap petugas itu dan berlalu pergi.
Yogi dan Yura menganga mendengar serentetan kalimat yang keluar dari petugas keamanan itu. "Ini semua salahmu!" ucap Yura menuding Yogi. Yogi langsung menepis tangan Yura.
"Kamu dengar? Mereka mengatakan kita punya masalah rumah tangga. Apa kita memang pantas membina rumah tangga berdua?" tanya Yogi.