Markas NISA
23 April 2016
12.30 KST
Mark dan Doyoung baru saja tiba di depan gerbang utama NISA, tempat tujuan mereka untuk menemui Lim Jaebeom, alias JB. Setibanya di pos penjaga, Mark membunyikan klakson mobilnya agar petugas disana membukakan palang didepannya. Namun alih-alih membukakan, petugas itu menghampiri mobil Mark, dan memintanya untuk membuka kaca.
Mark memutar bola matanya. Dia sudah muak dengan sistem keamanan NISA yang merepotkan. Dengan malas, Mark membuka kaca mobilnya. Petugas itu tampak melihat lekat-lekat wajah Mark yang masih menggunakan kacamata hitam itu.
"Buka kacamatamu, mereka tidak bisa melihat ketampananmu." canda Doyoung dengan nada menyindir.
"Ck." Mark melepas kacamata hitamnya dengan malas.
"Mark Tuan, Kapten Detektif kepolisian Seoul. Ingin bertemu Lim Jaebeom." tegasnya.
"Apakah sudah—"
"Tidak ada perjanjian, tidak ada yang perlu Saya bicarakan dengan Anda disini. Silakan buka portalnya." ujar Mark datar dan ketus. Petugas itu akhirnya menurut dan membukakan portal masuk.
Mark memparkirkan mobilnya di area parkir divisi 3, divisi yang menangani urusan multinasional, dan dipimpin oleh JB.
Mereka turun dari mobil, dan segera menuju ruangan dimana JB dan timnya berada. Mark masih hapal persis dimana ruangan pria yang lima tahun lalu berselisih dengannya itu. Lima tahun lalu, tidak terhitung berapa kali Mark datang ke kantor ini untuk memperkuat fakta bahwa NISA bersiasat menutup kasus keracunan masal itu. Maka dari itu tidak heran beberapa petugas disana sedikit terkejut melihat kedatangan dua pria itu. Mereka mulai berasumsi bahwa peperangan antara badan intelijen dan kepolisian akan terjadi kembali. Mark tidak peduli, tujuannya adalah menekan JB hingga menemukan fakta yang Ia harapkan segera muncul ke permukaan.
BRAKK…
Mark membuka pintu ruangan JB dengan keras, hingga pintu itu terbanting ke dinding. Sontak empat orang yang tengah berada di dalam ruangan sembari menyantap makan siang itu terkejut bukan main, bahkan Seokjin tersedak jjangmyeon nya.
"Wow, lihat siapa yang datang tiba-tiba. Kenapa Kau tidak pernah mengkonfirmasi kehadiranmu? Ah, sejak kapan Kau tahu sopan santun, Mark Tuan."
Suasana ruangan itu mendadak hening, bahkan suara gebrakan pintu Mark dan sindiran JB itu terdengar hingga ke ruang divisi lain, membuat semua orang terdiam di tempat masing-masing sementara dua orang itu saling bertukar tatapan petirnya. Sadar akan situasi yang seharusnya di private, Doyoung segera mengunci pintu dan membungkuk hormat pada orang-orang yang memperhatikan adegan menegangkan itu.
"Silakan duduklah, selamat datang." ini BamBam. Pria yang selalu terlihat innocent itu sepertinya tidak tahu apa-apa perihal apa yang terjadi lima tahun lalu, dimana Mark dan JB bertengkar hebat dan menjadi tontonan satu markas intelijen.
"Tidak perlu berbaik hati pada tukang fitnah sepertinya." sindir JB seraya menandaskan suapan terakhir makan siangnya.
"Apakah Kau tidak punya hati? Kau tidak peduli berapa orang tidak berdosa yang harus tewas untuk kepentingan segelintir orang rakus!" seru Mark dengan nada datar namun menusuk.
"Apa? Siapa yang Kau maksud orang rakus? Apa yang Kau tahu tentang dunia ini Mark?" JB bangkit dari tempat duduknya, lalu menghampiri Mark sembari tersenyum miring. Mark menatapnya meremehkan.
"Mengapa kata-katamu tidak pernah berubah selama lima tahun ini? Masih saja naif, berlagak altruistic, sungguh memuakan." ujar JB, kali ini Ia mendorong bahu Mark pelan, dan akhirnya membuat Mark kehilangan kesabaran dan meraih kerahnya. Doyoung, BamBam, Seokjin, dan Jimin segera bangkit dan mengantisipasi ledakan emosi kedua orang itu.
"Listen to me carefully! Where is the poison? The canned Kare? You obviously hide it. I already knew the dirty trick you play!" ujar Mark dengan nada tinggi, menarik dan mencengkeram kerah kemeja JB dengan keras, hingga pria itu sedikit terhuyung kedepan.
"Hahahaha. Apa Kau bilang? Kare? Haha. Hey, dia mencari kare, apakah diantara kalian memiliki bisnis sampingan?" tanya JB dengan nada bercanda kepada Seokjin, BamBam, dan Jimin. Mark semakin keras mencengkeram kerah baju pria itu.
"Untuk apa Kau terlibat dalam penyelidikan Eric Sohn? Bukankah artinya dia target kalian selama enam tahun? Dimulai dari kasus keracunan pangan masal lima tahun lalu di Busan? Apa kalian tidak becus menyelesaikan kasus itu hingga enam tahun berlalu? Dan masih menggunakan trik yang sama dengan menghilangkan saksi dan barang bukti? Dasar pengecut!" Mark menghempaskan JB hingga tersungkur dan menghantam ujung meja kaca. Tampak dahi pria itu kini mengeluarkan darah.
BUGH
Satu tinju dari JB baru saja mendarat dengan mulus di wajah Mark, membuatnya terhempas ke lemari kaca dibaliknya hingga kaca itu pecah. Doyoung dengan sigap hendak membantu seniornya itu, namun JB lebih cepat menarik kerah Mark, membuatnya terhuyung ke depan, tepat di hadapan wajah JB.
"Now listen to me, kid! Berhenti bersikap naif, Kau pikir Kau siapa? Seberapa besar kekuasaanmu hah!" ujar JB berteriak tepat di wajah Mark, dan mendorong kepalanya. Mark yang sedang kesakitan akibat membentuk lemari dan terhujam oleh pecahan kaca tidak memberikan perlawanan.
"JB! sebaiknya Kau berhenti sekarang!" seru Seokjin, Ia melepaskan cengkeraman tangan JB pada kerah kemeja Mark. Doyoung segera menahan Mark agar tidak terjatuh ke belakang.
"Apa Kau bangga karena Kau adalah seorang warga naturalisasi dan bisa menjadi aparat penegak hukum? Kau merasa bisa melakukan dan memperbaiki segalanya Mark!" cerca JB dengan nada membentak dan berapi-api. "Sebagai seniormu, mari Aku beri tahu, detektif sepertimu, sehebat apapun, tidak bisa mengontrol orang-orang elit itu. Kau paham?" lanjutnya.
Mark terkejut, dan seketika mengeluarkan smirk nya. Ekspresi wajahnya benar-benar menyeramkan.
"Wow, jika Kau tau hal seperti itu, lalu berdiam diri saja menyaksikan kejahatan keji. Dimana isi kepalamu? Pernahkah Kau berpikir sedikit, bagaimana rasanya ada di posisi korban? Oh tentu saja tidak, kepalamu kosong." ujar Mark sembari menunjuk-nunjuk wajah JB, senior yang jauh lebih tua darinya tanpa ragu. JB tampaknya berusaha keras menahan emosinya.
"Dengar Jae Beom, Aku akan membawa kasus ini hingga tuntas, dan menempatkan orang-orang sepertimu di tempat yang pantas!"
"Just go burn to the hell!" final Mark setengah berteriak lalu keluar dari ruangan itu diikuti Doyoung.
Kepolisian Seoul
Ruangan Divisi Detektif Tim A
23 April 2016
16.30 KST
Mark tengah berada di ruangnnya setelah selesai membersihkan luka di tengkuknya. Kepalanya benar-benar pusing sekembalinya dari markas NISA. Ia jengkel tidak mendapat apa-apa disana. Alih-alih barang bukti yang didapatkan, justru dirinya yang berujung bertengkar dengan JB. Namun satu hal, dari pernyataan JB dalam pertengkaran itu, kasus ini ada kaitannya dengan agenda intelijen, dan kepentingan beberapa negara. Mark tidak habis pikir, bahwa ambisi beberapa orang dapat menyebabkan kejahatan keji seperti ini. Di pikirannya kini terlintas wajah keluarga korban yang menangis dihadapannya tempo hari lalu.
Tangannya mulai bergetar, lalu tak sadar beberapa tetes air mata meluncur dari ujung matanya. Mark khawatir dengan perkataan JB, perihal kaum elit yang Ia tidak ketahui siapa, yang merupakan perencana alias dalang dari kejahatan ini. Mark khawatir dirinya akan gagal menyelesaikan kasus ini dan menghadiahkan keadilan bagi keluarga korban atas kematian ratusan orang itu. Dibalik ketegasannya, Mark sangat peduli akan ekspektasi korban atau orang yang paling terdampak atas kasus kejahatan yang sedang ditanganinya.
Mark sadar, dalam situasi seperti ini, dirinya harus tenang dan tidak boleh larut dalam emosi. Mark mengusap wajahnya kasar, lalu membuka laci mejanya perlahan. Ia mengambil sebuah botol putih berisikan obat berbentuk tablet dari sana. Baru saja Ia hendak mengambil beberapa butir ke tangannya, seseorang membuka pintu ruangan.
"Mark? Apa yang terjadi?" seru Wendy begitu melihat beberapa kapas dengan bercak darah di meja Mark duduk saat ini. Lalu matanya beralih pada botol putih yang sudah terbuka di tangan pria itu. Mark bingung bagaimana menjelaskannya.
"Aku—"
"Kau bertengkar? Bukankah Kau baru kembali dari markas NISA?" tanya Wendy berturut-turut. Mark hanya mengangguk pasrah.
"Astaga, sejak kapan Kau tidak bisa mengontrol diri dan bertengkar? Bagaimana lukamu?" ujar Wendy dengan nada khawatir. Ia segera menaruh tasnya di kursi dan memeriksa tengkuk Mark.
"Berikan Aku alkohol dan kapas! Kemana Doyoung? Apa dia meninggalkanmu setelah tahu Kau punya luka di bagian sulit yang perlu ditangani?" lanjut Wendy mengomel sembari membuka perban kurang rapi yang dipasang oleh Mark sebelumnya. Mark mendengar omelan Wendy itu terkekeh geli.
"Sejah kapan Kau cerewet seperti ini? Tenang saja, ini luka ringan."
"Luka ringan katamu? Kau tahu leher belakang adalah tempat milyaran sel saraf berada. Kau bisa lumpuh hanya karena tertimpuk oleh batu, sementara ini Kau tertusuk serpihan kaca. Apa Kau gila?" Wendy masih saja mengomel sembari membalut luka Mark dengan teliti.
"Lalu apa itu?" Wendy merebut paksa botol putih yang sedari tadi dipegang Mark. Beberapa detik kemudian, Ia terkejut untuk kedua kalinya.
"Alprazolam? Kau rutin meminumnya tanpa pendampingan psikiater?"
"Aku hanya mengkonsumsi seperlunya."
"Berapa dosis yang Kau gunakan?"
"Entahlah, sekitar empat tablet."
Mata Wendy terbelalak
"Astaga."
"Kenapa?" tanya Mark, Ia tidak mengerti akan sebab keterkejutan Wendy.
"Ceritakan, apa yang terjadi padamu selama lima tahun terakhir, setelah kita mengakhirinya."