Malam ini Ari rebah di kasur lebih cepat dari biasanya. Kepalanya masih sedikit pusing. Tapi dia lega. Tadi siang dia sudah menyelamatkan Tata. Seperti hutang yang telah terbayar. Karena belum lama dia sadari, dia pernah melupakan Tata. Saat dia kehilangan bapaknya. Lalu ibu Ari masuk ke kamar. Dia duduk di samping Ari.
"Maafin mama ya Ri, selama ini mama tidak peduli dengan keadaan kamu," kata ibu Ari dengan wajah menyesal.
"Nggak apa-apa Ma," jawab Ari yang iba melihat ibunya. Dia tahu, situasi bertambah sulit ketika ibunya ditinggal bapaknya.
"Teman-teman kamu yang kemarin, dia juga seperti kamu? Maksud mama…"
"Iya Ma, makanya kita sengaja datang terlambat."
"Kakek kamu dulu juga seperti kamu."
"Papanya mama?"
"Iya."
"Ari nggak pernah lihat."
"Dia suka pergi ke gunung-gunung. Lama-lama keseringan. Nenek kamu nggak suka. Waktu mama merit sama papa kamu, dia nggak dateng. Lalu dia nggak pernah balik lagi. Orang bilang dia hilang di Gunung Lawu. Tapi waktu mama hamil kamu, beberapa kali mama lihat dia di rumah ini. Makanya waktu itu mama minta papa cepat-cepat punya rumah sendiri."
"Kakek orangnya kayak gimana?"
"Dia sebenarnya baik. Suka nolongin orang. Waktu pacaran, papa kamu nggak begitu suka sama kakek. Tapi kakek tetap menerima dia. Papa kamu orangnya kan logis banget. Dia nggak suka mistis-mistis. Dia selalu bangga jadi guru fisika."
"Papa meninggalnya bagaimana Ma?"
Seketika itu ibu Ari terdiam. Sesuatu tertahan di pikirannya. Baru sekali-kalinya Ari menanyakan hal ini ke ibunya. Dan Ari menyesal. Tapi Ari masih penasaran. Apalagi kalau ingat sosok perempuan lidah menjulur yang waktu itu keluar masuk kamar orang tuanya.
"Papa sakit apa Ma?"Ari mencoba bertanya lagi.
"Sudahlah Ri, yang sudah ya sudah. Apapun yang sudah terjadi, kamu harus ikhlasin papa kamu ya," jawab ibu Ari dengan suara sedikit berat.
Ari mengangguk. Tapi dia tetap belum bisa terima. Sosok perempuan lidah menjulur tak akan pernah hilang dari ingatannya. Ibu Ari beranjak dari tempat tidur, mengelus kepala anaknya dan berjalan menuju pintu.
"Yang di sumur itu memang ada?" tanya ibu Ari sebelum keluar kamar. Tampaknya ada yang masih mengganjal di pikirannya.
"Ada Ma. Tapi mama jangan takut. Mereka nggak jahat. Nggak kayak yang di sekolahan," jawab Ari polos.
Ibu Ari mengangguk-angguk, berusaha untuk mengerti. Lalu dia keluar dan menutup pintu. Tinggal Ari sendiri. Kantuk sudah menggelayuti matanya. Sampai dia dengar suara notifikasi dari ponselnya di meja. Dengan malas Ari mengambil ponselnya. Tapi setelah lihat lihat layar ponselnya, mata Ari terasa terang kembali. Kantuknya seketika hilang. Ada pesan dari Tata di ponselnya. Cepat-cepat dia buka pesan itu.
'Ari terimakasih sudah menyelamatkan aku. Tapi janji ya jangan bilang ke siapa-siapa tentang aku. Biarkan aku jadi seperti yang sekarang ini. Selamat tidur. Sweet dream.'
Lama Ari memandangi ponselnya. Lalu dia mencoba membalas pesan Tata.
'Tata maafin aku ya pernah melupakan kamu. Waktu itu papaku meninggal. Sampai sekarang aku nggak tahu meninggalnya kenapa. Jangan khawatir Tata, rahasia kamu aman. Kalau ada apa-apa hubungi aku. Selamat tidur juga. Sweet dream.'
Lalu Ari meletakkan lagi ponselnya di meja. Tapi saat dia hendak beranjak ke tempat tidur, ponselnya bunyi. Ternyata dari Nara.
"Halo," Ari menjawab ponselnya.
"Halo Ri, belom tidur lo," jawab Nara di ponsel Ari.
"Belom, kenapa Ra?"
"Ri, barusan mama aku telpon dari Amerika. Dia dapat kabar dari kakek aku, kalau Pak Suman minta tolong ke kakek untuk mendatangkan orang-orang yang dulu pernah membersihkan sekolah."
"Orang-orang berbaju putih?"
"Iya, katanya besok mereka akan datang ke sekolahan."
Lalu Ari teringat Awuk.
"Besok gue mau ke sekolahan," kata Ari.
"Besok kan libur," jawab Nara.
"Gue bisa lompat pagar."
"Gue ikut. Ntar gue kabarin Toha sama Wira."
"Nggak usah. Gue aja yang ke sana."
"Ri, kita ini satu komplotan, gimana kalau lo pingsan lagi dan nggak ada yang nemuin lo?"
"Ok, kalau gitu besok pagi kita ketemu di pagar."
"Ok."
Esok pagi Ari sudah ada di depan pagar sekolah. Tak berapa lama, Nara sampai di sana juga. Sudah 5 menit menunggu Toha dan Wira, mereka belum datang juga. Nara pun mencoba menghubungi mereka dari ponselnya. Sementara di gerbang, 3 mobil minibus terlihat masuk ke halaman sekolah. Sampai di tempat parkir, beberapa orang keluar dari mobil-mobil itu. Mereka semua berbaju putih.
"Mereka sudah datang," desis Ari.
Nara merapat ke pagar. Dia keluarkan kamera dari tasnya. Nara pun mulai sibuk dengan kameranya. Dia ambil gambar-gambar di tempat parkir.
"Toha sama Wira gimana?" tanya Ari.
"Nggak bisa dihubungi," jawab Nara. Dia masih sibuk dengan kameranya.
"Pasti masih pada molor,"kata Ari kesal.
Sementara orang-orang berbaju putih sudah sampai di depan gedung. Mereka disambut Pak Suman. Di sana juga ada Pak Solidin dan Pak Riza. Pak Suman mengantar mereka masuk. Sepertinya mereka sedang menuju ke area basement. Ari pikir Ini saatnya dia masuk. Dia pun sudah bersiap-siap memanjat pagar.
"Ari, tunggu Toha sama Wira!" kata Nara.
"Kelamaan, aku harus ketemu Awuk sekarang," kata Ari. Dia sudah memanjat pagar.
"Ari tunggu…" Pekik Nara. Tapi Ari sudah melompat ke dalam.
Nara coba menghubungi Toha dan Wira lagi. Tapi sepertinya tidak terhubung juga. Sementara Ari sudah berlari menyisir pinggir lapangan basket. Ari sempat melihat perempuan berambut panjang di pohon beringin. Tapi kini rambutnya tidak sampai ke tanah. Dan dia bertengger di dahan paling pucuk. Wajahnya seperti ketakutan. Ari tidak menghiraukannya. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia ingin menyelamatkan Awuk. Ari pun sampai di lahan kosong. Setelah lewat belakang kantin dia harus melewati tempat tinggal Pak Min si penjaga sekolah. Saat sampai sana, Ari kepergok.
"Hei, mau apa kamu ke sini? Ini sekolah libur!" kata Pak Min galak.
Ari menghentikan larinya. Beberapa saat dia tidak punya jawaban. Dan dia tidak bersama Toha.
"Saya akan laporin kamu ke Pak Suman!" Pak Min mengancam.
"Saya mau menyelamatkan Sinta Pak," jawab Ari ngasal. Hanya itu yang terlintas di pikirannya.
"Sinta?"
"Iya Pak."
"Kamu bisa melihat arwahnya?"
"Bisa."
"Dulu Sinta itu anak yang cantik. Baik lagi. Dia suka kasih bapak uang. Kasihan, meninggalnya seperti itu. Pasti arwahnya masih penasaran."
"Iya Pak, makanya mau saya selametin."
"Iya sana cepat. Saya nggak akan bilang ke Pak Suman."
Ari pun melanjutkan larinya. Dia lega cerita dadakannya bisa membuat Pak Min berpihak padanya. Saat melewati lorong kelas, Ari harus berjalan mengendap. Tak seberapa jauh darinya, orang-orang berbaju putih sedang melakukan kegiatan di sekitar area basement. Dia sudah tak jauh dari tangga menuju ruang-ruang penyimpanan di lantai 3. Tapi sejenak langkah Ari terhenti. Dia mendengar langkah kaki kuda. Tapi kali ini pelan. Seperti sedang berjalan, bukan berlari. Ari pun cepat-cepat naik tangga. Dia tak ingin bertemu dengan sosok kaki kuda lagi. Sampai di lantai 3, Ari langsung masuk ke ruang bekas ekstrakulikuler drama. Beberapa kali Ari mengerjapkan mata, menyusur pandangannya ke sekitar. Ruangan itu benar-benar gelap. Lalu Ari mendengar suara perempuan menangis dari sudut ruangan. Dan Awuk ada di sana. Berdiri di sudut. Kepalanya menunduk. Perlahan Ari mendekat. Ari lega, kaki Awuk tidak hancur.
"Mereka akan mengambilku," suara Awuk lirih. Kepalanya masih menunduk.
"Kamu harus pergi dari sini secepatnya," kata Ari.
"Nggak bisa."
"Kenapa?"
"Aku takut."
"Jangan takut."
"Aku ingin ikut kamu."
Sejenak Ari terdiam. Dia sedikit khawatir. Tapi dia iba pada Awuk. Terlintas di pikirannya, mungkin Awuk bisa tinggal di dalam sumur samping rumahnya. Tapi bagaimana kalau Awuk berwujud perempuan kaki hancur?
"Tolong aku. Aku ingin ikut kamu," Awuk menatap Ari. Dia mengulurkan tangan ke Ari.
Ragu-ragu Ari mengulurkan tangan ke Awuk. Tapi tiba-tiba Awuk terseret mundur ke tembok.
"Tolong! Mereka mau mengambilku!" teriakan Awuk begitu keras di telinga Ari. Tangannya mencoba menggapai Ari.
"Tolong! Tolong! Tolong!" Awuk melolong keras berkali-kali. Ari pun mundur sejengkal. Karena mata Awuk mulai menghitam. Dan kakinya mulai hancur. Tangannya masih terulur ke arah Ari. Badan Awuk seperti terhisap ke tembok. Lama-lama Ari melihat badan Awuk menghitam. Matanya merah dan rambutnya acak-acakan. Dia tak berhenti melolong. Tangannya ingin menggapai Ari. Tapi tubuhnya seperti tersedot menembus tembok. Lama-lama wujudnya hilang dari pandangan Ari. Dan lolongannya pun berhenti. Tinggal Ari sendiri di ruangan gelap itu.
Ari sudah menuruni tangga. Dia tidak bisa menyelamatkan Awuk. Tapi setelah tadi melihat wujud Awuk yang terakhir, Ari jadi berpikir lain tentang Awuk. Saat sampai di bawah, Ari melihat lorong ke toilet tak jauh dari situ. Dia teringat sosok bungkusan putih yang menempel di langit-langit. Ari penasaran. Dia pun menuju ke sana. Sampai di depan pintu toilet, Ari berhenti sejenak. Karena sosok yang ada di toilet itu pernah membuat Ari lari tunggang langgang. Tapi rasa penasarannya memaksa kakinya melangkah masuk. Ari pun masuk toilet yang paling pojok. Di dalam, Ari hanya berdiri dan menatap ubin. Dia masih ragu untuk melihat ke atas. Dia menunggu ada serpihan tanah jatuh dari atas. Atau tetesan darah. Tapi lantai itu tetap bersih. Perlahan Ari mendongak ke atas. Dan ternyata memang tidak apa-apa di langit-langit. Sosok bungkusan putih sudah tidak ada di sana. Ari pun bergegas keluar toilet.
Ari berjalan mengendap di sepanjang teras kelas. Dia masih melihat orang-orang berbaju putih sedang sibuk di sekitar area basement sana. Ari mempercepat langkahnya. Dia harus kembali ke tempat Nara. Tapi tak sengaja Ari melihat kelas yang ada di seberang. Dari jendela kelas itu, Ari melihat sosok kaki kuda. Dia ada di sana. Di dalam kelas yang kosong. Itu kelas 9-1. Kelasnya Tata. Sosok itu hanya berdiri diam di sebelah bangku dekat jendela. Bangku tiga baris dari depan. Tapi Ari melihat dia tidak memakai mahkota. Dan semua perhiasan di tubuhnya tidak ada. Bahkan dia tidak memakai penutup di bawah tubuhnya.
"Hoi! Ngapain kamu di situ!" Seorang berbaju putih berjalan menuju ke Ari.
Ari kaget. Sepertinya dia ketahuan.
"Siapa kamu! Nggak boleh di sini, bahaya!" Orang berbaju putih itu mendekat ke Ari. Dua orang lagi datang di belakangnya.
"Suruh dia pergi dari sini!" kata seorang yang di belakang.
Seorang lagi yang tampak tua dan berjenggot putih memandangi Ari seksama.
"Itu murid sekolah sini Pak," Pak Riza datang tergopoh.
"O, murid sekolah sini," kata orang berbaju putih.
"Tolong suruh keluar dari sini Pak. Nggak boleh ada yang di sekitar sini," kata yang seorang lagi.
Pak Riza pun menuntun Ari meninggalkan tempat itu. Orang baju putih yang tua masih memandangi Ari. Dan Ari masih melihat sosok kaki kuda itu berdiri di dalam kelas. Ari pikir ketiga orang berbaju putih itu tidak melihat sosok kaki kuda itu.
"Pak Riza, ada satu lagi di dalam kelas," Ari berusaha menjelaskan ke Pak Riza saat mereka berjalan keluar lewat ruang guru.
Pak Riza mempercepat jalannya sambil menengok ke kanan dan ke kiri.
"Ari kamu tidak mendengarkan kata-kata saya!" kata Pak Riza tanpa memperlambat langkahnya. "Yang di dalam sana bukan urusan kamu! Kalau Pak Suman sampai tahu kamu di sini, bisa saja kamu dikeluarkan dari sekolah. Saya sudah berjanji sama ibu kamu untuk menjaga kamu."
Ari pun tidak bisa berkata lagi. Dia hanya diam mengikuti langkah Pak Riza. Ari diantar sampai keluar gerbang sekolah.
"Ingat Ri! Saat ini saya masih bisa bantu kamu. Jangan sampai kejadian, yang nanti saya tidak bisa bantu kamu lagi!" Lalu Pak Riza mengunci gerbang dan berjalan meninggalkan Ari.
Ari berjalan cepat di trotoar. Dia mendapati Nara, Toha dan Wira ada di belakang pohon. Tampaknya mereka tadi bersembunyi karena ada Pak Riza.
"Ri, perempuan yang di pohon beringin, tadi ketarik ke dalem," kata Toha sembari keluar dari persembunyiannya.
"Awuk juga," timpal Ari.
"Jadi lo ngga bisa selametin dia?" tanya Nara.
Ari menggeleng.
"Tapi si kaki kuda masih ada. Dia sembunyi di kelas. Kayaknya orang-orang baju putih nggak bisa menemukan dia," kata Ari. Dia sengaja tidak bilang, itu kelas Tata.
"Lo nggak bilang ke mereka?" tanya Wira.
"Percuma. Gue malah diusir. Bilang ke Pak Riza juga dia nggak nanggepin," jawab Ari.
"Kamu yakin si kaki kuda nggak ditemuin?" tanya Toha.
"Seharusnya pas gue di sana, mereka harusnya lihat juga," kata Ari. Tapi sebenarnya dia tidak yakin juga.
"Kalau gitu kita coba tanya aja ke bapaknya Toha?" kata Wira.
"Apaan sih!" sergah Toha. Bapak Toha memang paranormal yang cukup terkenal. Tapi Toha paling risih kalau bapaknya dihubung-hubungkan dengan profesinya.
"Iya, kita harus minta penjelasan ke ahlinya," Nara menimpali.
Sementera mereka masih berdebat tentang bapak Toha, Ponsel Ari bunyi notifikasinya. Ari mengeluarkannya dari saku celana. Ada pesan dari Tata. Cepat-cepat Ari buka.
'Terimakasih ya Ari mau ngertiin kondisi aku. Maafin sikap aku juga. Aku nggak tahu kalau bapak kamu meninggal. Kamu mau maafin aku kan?'
Ari pun cepat membalasnya.
'Iya Tata. aku yang minta maaf. harusnya aku tetep nemuin kamu waktu itu. Ta, bangku kamu di kelas ada di baris ke berapa?'
Tak lama kemudian ada jawaban dari Tata.
'baris ke 3'
Ari menjawab.
'deket jendela?'
Tata menjawab.
'iya, samping jendela, kenapa?'
Ari menjawab.
'ngga papa'
Wajah Ari tegang. Sosok kaki kuda itu sepertinya benar-benar mengincar Tata.
"Ada apa Ri? Siapa yang WA?" Tanya Nara.
"Nggak, nggak apa-apa," jawab Ari. Dia harus merahasiakan kondisi Tata. "Kita harus menemui bapaknya Toha sekarang juga," kini wajah Ari begitu serius.