Jam ke 3, ada pelajaran Pak Riza. Sebelum masuk ke materi pelajaran, sebagai wali kelas, Pak Riza menyampaikan amanat kepala sekolah agar murid-murid tidak perlu takut dalam melaksanakan kegiatan belajar di sekolah. Kejadian saat upacara kemarin tidak akan terjadi lagi. Bahkan kepala sekolah optimis, renovasi ruang bawah tanah bisa dilanjukan lagi.
"Kita harus bangga, karena gedung sekolah kita ini termasuk cagar budaya yang harus dilestarikan," kata Pak Riza. "Ke depan akan ada team dari Dinas Kebudayaan untuk meneliti gedung ini, termasuk ruang bawah tanahnya."
Nara sempat melirik ke Ari di belakangnya. Ari jadi ingat kata-kata Pak Hudi mengenai ruang bawah tanah sekolah mereka. Ari pun melirik Toha dan Wira di seberang bangkunya. Kata-kata bapaknya Toha pun akan menjadi rahasia mereka berempat.
Hari pun berganti. Ari, Toha, Wira dan Nara masih menyimpan rahasia mereka. Sepulang sekolah mereka suka lewat area basement dan melongok ke dalam. Ruangan bawah tanah itu sudah mulai rapi. Nantinya akan digunakan untuk laboratorium komputer. Sebenarnya mereka juga berharap apapun yang ada di basement sana tidak seperti apa yang bapak Toha katakan.
Hari ini hari Minggu. Langit sedikit mendung. Seperti biasa Ari disuruh ibunya untuk belanja mingguan ke pasar naik motor. Sepulang dari pasar, motor Ari penuh kantung belanjaan. Sesampai di rumah, Ari parkir motor di depan. Dia jinjing semua kantung yang ada di motor. Tapi saat mau masuk rumah, dia perhatikan ada sepatu kets di depan pintu. Sepertinya sepatu cewek. Ari mengira ada tamu. Saat melihat ke dalam, Ari heran. Ada Tata sedang duduk di ruang tamu, berhadapan dengan ibunya. Ada dua cangkir di meja depan mereka. Tampaknya mereka habis ngobrol.
"Nah itu Ari sudah datang," kata ibu Ari begitu melihat Ari di depan pintu.
Tata pun memandangi Ari dengan senyum merekah dan mata berbinar. Dan Ari masih berdiri menjinjing kantung belanjaan. Seperti belum bisa menghilangkan keheranannya. Tata ada di depannya. Duduk di ruang tamu rumahnya. Di depan ibunya.
"Ini temen kamu Tata, repot-repot banget dia bawa banyak oleh-oleh," kata ibu Ari lagi. "Lagian kamu nggak pernah bilang sih sama mama, kalau Tata ini yang waktu itu kamu selametin."
Ari jadi semakin heran, dari mana ibunya tahu semua itu. Pasti Tata sudah cerita banyak. Lalu ibu Ari mengambil belanjaan yang ada di tangan Ari dan menyuruh Ari menemui tamunya.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Ari.
"Emang nggak boleh?" Tata justru geli melihat tingkah Ari.
"Nanti kamu dimarahin mama kamu."
"Mamaku tahunya aku les bahasa Inggris."
"Dari mana kamu tahu alamat sini?"
"Tanya sama mama kamu di sekolahan."
"Kamu ke sini naik apa?"
"Naik taxi."
"Terus sopir kamu?"
"Aku tinggal di tempat les bahasa Inggris."
Spontan Ari dan Tata bebarengan tertawa. Mereka jadi ingat saat mereka dulu pernah bertemu di klinik psikiatri. Mereka pun sempat bepandangan lama.
"Kok kamu cerita-cerita ke mamaku?" tanya Ari menutupi rasa kikuknya.
"Tentang aku?" tanya Tata.
"Iya."
"Mama kamu yang cerita banyak tentang kamu. Mama kamu percaya sama kamu. Jadi aku juga percaya sama mama kamu. Sebenarnya aku ke sini pengen tahu banyak tentang kamu. Tadi aku ke toilet. Terus aku lihat sumur di samping. Aku lihat mereka. Seperti yang ada di gambar kamu dulu."
"Mereka nggak jahat kok."
"Iya aku tahu."
"Terus mamaku cerita apa lagi?"
"Tanggal lahir kita sama."
Ari terdiam sesaat. Akhirnya Tata tahu juga.
"Mama kamu cerita, waktu lahir kamu pernah sudah dianggap meninggal. Aku dulu juga seperti itu." Kata Tata.
Ari memandangi Tata lama.
"Kenapa?" tanya Tata.
"Enggak. Aneh aja."
"Kita ini kayak anak kembar ya?"
"Iya."
Tata melihat jam tangannya. Sepertinya dia harus kembali ke tempat les bahasa Inggris. Ari pun tahu. Tapi hujan mulai turun di luar sana. Ari mengambil payung di belakang. Dia akan mengantar Tata ke jalan raya untuk mencari taxi. Tata berpamitan dengan ibu Ari. Ari dan Tata pun berjalan di bawah satu payung, menembus hujan yang mulai lebat. Tak berapa lama mereka sampai di pinggir jalan raya.
"Aku iri sama kamu," kata Tata di tengah suara hujan.
"Kenapa?"tanya Ari.
"Kamu punya mama yang percaya sama kamu."
Ari jadi kasihan sama Tata. Tata orang kaya, tapi menganggap Ari lebih beruntung.
"Papa kamu meninggalnya kenapa?" tanya Tata.
Ari sempat terdiam.
"Sori, aku nggak nanya lagi," Tata merasa dia mengajukan pertanyaan yang salah.
"Enggak apa-apa kok. Kamu inget gambar aku yang perempuan lidahnya menjulur?" tanya Ari.
Tata mengangguk.
"Aku kira dia ada hubungannya dengan kematian papa aku. Siang itu dia ada di kamar papa aku sebelum papa aku meninggal. Aku akan cari hantu itu sampai ketemu," suara Ari sarat emosi.
"Ih, kamu jangan macem-macem deh Ri," wajah Tata khawatir.
"Enggak. Bercanda kok," kata Ari. Dia hanya tidak mau membuat Tata khawatir. Tapi jauh di lubuk hatinya, dia berjanji pada dirinya sendiri di sebelah Tata, sampai kapanpun dia akan cari hantu itu.
"Kamu inget warung bakso di belakang klinik psikiatri nggak?" tanya Tata mengalihkan pembicaraan,
"Iya," jawab Ari
"Kapan-kapan kita ke sana lagi yuk."
"Ayuk."
"Tapi janji ya."
"Janji apaan,"
"Jangan tinggalin aku seperti dulu lagi."
"Iya, aku janji nggak ninggalin kamu. Justru kamu yang akan ninggalin aku."
"Lho kenapa?"
"Tuh taxi kamu udah datang."
Tata tertawa lepas. Mereka pun menghentikan taxi itu. Sebelum Tata naik ke taxi, dia memberikan selembar lipatan kertas ke Ari. Ari sempat heran. Tapi setelah dia buka lipatan itu, ternyata gambar Ari yang pernah Ari berikan Tata saat mereka bertemu di klinik psikiatri. Gambar penunggu klinik psikiatri yang dulu pernah membuat Tata ketakutan. Ari tak menyangka Tata masih menyimpannya. Ari sendiri sudah lupa. Dan di bawahnya ada tambahan tulisan Tata : Aku selalu percaya sama kamu. Ari memandangi Tata yang sudah masuk ke Taxi. Lalu Tata melambaikan tangan ke Ari sebelum taxi itu berjalan menembus hujan. Tinggal Ari sendiri dengan payungnya di bawah guyuran air dari langit. Ari masih memandangi taxi yang Tata naiki sampai tak terlihat lagi. Ari berjanji pada dirinya sendiri, sampai kapanpun dia akan melindungi Tata.