Chereads / Komplotan Tidak Takut Hantu / Chapter 3 - Hantu Anak Kecil yang Suka Mengambil Mainan

Chapter 3 - Hantu Anak Kecil yang Suka Mengambil Mainan

Bayi yang hidup kembali itu kini umurnya hampir 5 tahun. Nama lengkapnya Harindra. Ibunya memanggilnya Ari. Hari ini Ari mendapatkan sepeda pertamanya. Sepeda roda empat yang dia kendarai di depan rumah. Seperti biasa, sore ini anak-anak ramai bermain di jalan kampung. Ari termasuk anak yang pendiam. Di atas sepedanya dia hanya mengamati anak seumuran lainnya bercanda dan berlarian. Tapi dari tadi dia perhatikan seorang anak yang terus menangis. Umurnya di bawah dia. Ari tahu kenapa dia menangis. Ada anak lain yang mengambil mainannya. Mainan bebek plastik. Mainan itu dibawa berlarian di antara anak-anak yang lain. Sampai ibu anak yang menangis itu datang dan menyadari apa yang terjadi.

"Siapa ya yang ambil mainannya adik?" Ibu itu bertanya pada anak-anak di situ.

Anak-anak saling celingukan. Tidak ada yang merasa mengambil mainan.

"Nggak ada yang ngambil!" seorang anak berani menjawab.

"Jatuh ke got kali!" seorang lagi nyeletuk.

Si ibu hanya diam. Mukanya kesal sambil menggendong anaknya yang masih menangis.

Ari tahu siapa yang mengambil. Dia ingin memberitahu ibu itu. Tapi ibu RT datang dan menyuruh anak-anak untuk pulang.

"Ayo anak-anak, ini udah Maghrib, ayo pulang, setan-setan udah pada dateng, ntar kalian diculik sama setan lho."

Keesokan harinya, ibu Ari marah besar. Dia berdiri di depan Ari. Di tangannya ada mainan bebek plastik. Katanya mainan itu dia temukan mengambang di sumur. Rumah mereka memang ada sumurnya di samping.

"Bukan Ari yang ambil. Kemarin ada anak yang ambil," dengan lugu Ari mebela diri.

Ibu Ari tambah marah. Ari mendapat satu jeweran. Ibu Ari bergegas ke rumah tetangga mengembalikan mainan itu. Ari menangis tersedu, tersimpuh di depan pintu kamarnya.

Sore hari, seperti biasa Ari ada di atas sepedanya. Anak-anak riuh bermain dan berlarian. Dan anak kecil itu menangis lagi. Anak yang kemarin kehilangan mainan bebek plastik. Tangisannya semakin menjadi. Dia kehilangan mainannya lagi. Dan Ari melihatnya anak itu lagi. Anak yang mengambil mainan. Kali ini mainan kerincingan. Mainan itu dibawanya berputar-putar, berlarian diantara anak-anak lainnya. Bunyi kerincingan terdengar bercampur dengan riuhnya anak-anak bermain. Hingga anak yang menangis itu didatangi ibunya. Sambil menggendong anaknya dia menatap Ari. Spontan Ari menunjuk ke anak yang mengambil mainan.

"Dia yang mengambil mainannya," teriak Ari dengan polosnya.

Tapi Ari heran, ibu itu malah memandang ke anak-anak yang lain. Bukan anak yang Ari tunjuk.

"Itu yang ambil mainannya," suara kecil Ari lebih keras. Jarinya kini mengarah ke tempat lain karena anak itu berlari kesana kemari sambil membunyikan kerincingannya.

Si ibu malah melotot ke arah Ari. Dia merasa dipermainkan. Lalu dia bawa anaknya yang masih menangis masuk ke rumahnya.

Malam itu hening. Detak jam dinding terdengar teratur di kamar Ari. Jarum jam menunjuk angka 2 lebih. Ari pulas di dalam selimutnya. Tetapi sesuatu membangunkannya. Dia mendengar suara gemerincing. Setengah mengantuk, Ari terduduk di ranjang. Lama-lama Ari ingat, itu suara mainan kerincingan tadi sore. Ari baru sadar ini masih tengah malam. Suara itu terdengar dari luar kamar, arah sumur. Terbayang ada anak tadi sore sedang main kerencengan di dekat sumur. Ari mulai takut. Dia turun dari ranjang memanggil ibunya. Tapi saat melewati jendela, dia terhenti. Bunyi gemerincing itu masih disana. Ari penasaran, apakah anak itu ada di sana? Ari buka tirai jendela. Area sumur terlihat remang . Tidak ada orang di sana. Tapi suara gemerincing terdengar jelas. Suara itu bergema, seperti berasal dari dalam sumur. Spontan Ari berlari menuju kamar orangtuanya.

"Mama, Ari takut," Ari membangunkan ibunya. Bapaknya di sebelah ibunya mendengkur pulas.

Ibu Ari terbangun, melihat anaknya pucat pasi berdiri di pinggir ranjang.

"Kenapa sayang?" Ibu Ari memegang tangan anaknya. Tangan itu dingin dan basah karena keringat.

"Ari takut Ma," wajah Ari memelas.

"Kamu mimpi buruk ya?" tanya Ibu Ari yang mulai iba melihat anaknya

Ari hanya mengangguk. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskannya.

Malam itu Ari tidur ditemani Ibunya. Ibunya pulas di sebelahnya. Tapi Ari belum bisa tidur. Suara gemerincing itu masih keluar dari dalam sumur.

Ari terbangun. Matanya masih terbuka setengah. Tapi dia bisa lihat ibunya duduk di samping ranjang, menunjukkan sesuatu di tangannya. Mainan kerincingan.

"Mama nggak tahu harus gimana, mau bilang apa lagi sama ibu sebelah," wajah ibu Ari marah, Tapi tidak seperti kemarin. Sekarang dia agak pasrah.

"Bukan Ari yang ambil, kemarin sore ada anak yang ambil," suara kecil Ari masih serak.

"Udah ini yang terakhir. Kalau kamu ambil mainan lagi, lalu kamu buang ke sumur, seminggu kamu nggak boleh main di luar!"

Lalu Ibu Ari keluar kamar. Sepertinya dia ingin segera mengembalikan mainan itu. Sendiri Ari masih terbaring di ranjangnya. Kali ini dia tidak ingin menangis. Karena yang ia bayangkan adalah sumur di samping rumah. Dengan langkah masih gontai dia menuju ke sumur. Makin dekat ke sumur langkah Ari makin pelan. Selangkah lagi dia bisa melihat ke dalam sumur. Sampai di pinggir sumur, Ari melongokkan kepalanya. Di dalam sumur ada seorang anak. Anak yang mengambil mainan. Dia duduk di atas air. Ari lari terbirit menuju kamarnya. Di kasur dia tutupkan bantal di kepalanya.

Tak lama ibu Ari datang. Dia temukan anaknya terisak di kasur. Badannya menggigil.

"Kamu kenapa nak? Kamu sakit?"

Kini ibu Ari begitu cemas. Sebersit dia begitu menyesal telah memarahi anaknya. Anak yang pernah hampir dia tidak miliki.