Malam itu langit menangis, rintikan air hujanpun membasahi daratan. Angin yang berhembus kencang bagaikan pesan tanpa tujuan. Ia mengepalkan tangannya. Dingin, seperti halnya cinta yang tak terbalaskan. Perlahan – lahan ia mulai melangkah. Meski bibirnya sedikit menggigil.
Sebuah warung kecil di pinggir jalan menjadi tempat persinggahan sementara bagi dirinya. Dibawah warung nan kecil ini matanya melihat ke langit yang sedang menangis. Tak ada Bintang bahkan Bulan pun seakan malu bertemu dengan sang malam.
Seorang wanita paruh baya yang berjualan di warung tersebut mendekatinya. Ia memberikan selembar handuk untuk membasuh tubuhnya yang nampak basah kuyup. Setelah membasuh tubuhnya, Pria itu lalu menghampiri wanita paruh baya tersebut.
"Terima kasih" Tangan kananya mengembalikan handuk yang diberikan tadi.
"Sudah simpan saja dek, Ibu sudah tidak pakai". Kata wanita itu.
Tak lama kemudian beberapa orang pun datang. Kebanyakan adalah pengendara sepeda roda dua yang juga berteduh sekaligus menikmati santapan masakan dari wanita paruh baya itu.
Ketika langit sudah mulai cerah, pria itu bersiap melanjutkan perjalanannya. Namun saat ia baru akan melangkahkan kaki, wanita paruh baya tersebut memegang tangannya.
"Ini ada sedikit makanan untuk mu" Tangan kanannya memberikan sekantong plastik berisikan makanan.
Ia pun hanya bisa mengucap terima kasih kepada wanita itu. Tidak saling mengenal, tapi kebaikan wanita paruh baya itu seolah menyentuh lubuk hatinya. Bahkan saat kedua tangan mereka bersentuhan seolah ada garis kehidupan yang menyatu. Kehidupan yang seolah tersembunyi dan terkekang oleh waktu dan tersembunyi oleh masa lalu. Masa lalu yang seakan sulit untuk ditebak namun seperti memberikan harapan terang tentang apa yang terjadi sebenarnya.
Sesampainya dirumah, Dimas masih memikirkan tentang wanita yang ia temui di warung tadi. Bahkan saat ia ingin memejamkan mata, pikirannya seolah dilalui oleh wanita tersebut. Jika kebaikan adalah hal yang lumrah, lantas mengapa itu disebut sebagai sesuatu hal yang aneh.
Ia berjalan keluar dan mengambil sebatang rokok. Menatap langit sembari menghembuskan sekulupan asap dari mulutnya. Mungkin dengan merokok ia bisa sedikit tenang, namun perasaan tentang wanita itu tetap menghantuinya.
….
Setelah kejadian itu, Dimas kembali mendatangi warung wanita paruh baya tersebut. Kali ini ia mencoba memesan makanan yang ada disajikan di warung itu.
"Mau pesan apa dek?" Tanya wanita paruh baya sembari menebar senyum.
"Nasi goreng dan telurnya di dadar ya bu" balasnya.
Tak lama berselang wanitu paruh baya tersebut membawaknya sepiring nasi gorang dan telur dadar. Ia lalu mencicipi makanan yang telah disajikan. Saat makanan tersebut menyentuh lidahnya, ia seperti kembali ke masa lalu. Rasanya, gurihnya dan aromanya seperti masakan di masa lalu.
Ia lalu menatap wanita paruh baya tersebut yang tengah melayani pelanggan yang datang. Ia menatap dengan tajam. Melihat matanya, senyumanya dan wajahnya. Penglihatan dan hatinya seolah terbelah menjadi dua. Matanya melihat bahwa itu hanyalah seorang wanita paruh baya, namun hatinya berkata lain.
Ia seperti melihat sosok dari kehidupannya di masa lalu. Saat hatinya berkata bahwa wanita itu adalah sosok di masa lalu namun pikirannya seolah menepis segalanya. Logika dan hati kini bertarung dalam menentukan pemenang.
Hidup memang harus dengan logika, tapi terkadang perasaan jauh lebih peka terhadap keadaan.
…
Di sepanjangan perjalanan menuju rumah ia terus terbayang oleh wanita tersebut. Ingin sekali ia mengobrol tentang sesuatu hal kepadanya namun ia tidak tahu harus memulai dari mana dan bagaimana caranya. Tapi apakah teka – teki ini akan dibiarkannya saja atau ia terus melangkah dan menemukan jawaban atas tanda tanya besar ini.
…
Sesampainya dirumah Kak Jen melihat Dimas pulang dengan wajah yang sangat kusam dan Nampak seperti kebingungan. Ia lalu menghampirinya.
"Kau kenapa Dim?". Ujar Kak Jen sembari memegang pundak adiknnya tersebut.
Pertanyaan itu pun seolah tidak dihiraukannya. Ia tetap melangkah menuju kamar sembari menahan air mata yang hampir membasahi pipihnya.
….
Suara tangisan terdengar begitu jelas dari arah kamar Dimas. Kak Jen yang sedang berada di ruang tamu pun bergegas mendekati. Tangan kanannya sudah ingin mengetuk pintu kamar, namun ia menghentikan sejenak. Ia lalu mendekatkan telinganya ke arah pintu kamar.
Suara tangisan seorang pria itu pun terdengar sangat keras sembari memangil nama ibu. Kak Jen tak pernah mendengar tangisan seperti ini sebelumnya. Apalagi Dimas dikenal sebagai pria yang tangguh. Jika sampai ia menangis tentu ada hal yang sangat mengusik hati dan pikirannya.
…
Langit pagi itu terlihat sangat cerah. Mentari tak lagi malu – malu untuk menampakan dirinya. Burung – burung pun bersiul dengan nyaringnya, seolah bertanda bahwa ini adalah hari yang baik untuk memulai aktivitas.
Sebuah tas berwarna coklat muda berisikan dokumen telah siap diatas meja. Kak Jen yang sedang makan pagi sambil membaca berita tiba – tiba saja pandangannya teralihkan. Ia melihat Dimas keluar dari dalam kamar tanpa sepatah katapun dan bergegas keluar. Melihat ada yang aneh dengan adiknya tersebut, ia pun mengejarnya.
"Dim, ada apa?" Tanya Kak Jen sembari memegang tangannya. Wajah adiknya tersebut tampak begitu murung dan kusam. Seperti orang yang tidak tidur semalaman. Matanya berlinang, pria tangguh tersebut sedang mencoba menahan derasanya air mata yang hampir jatuh.
Sekuat apapun ia menahan tangisan itu tetap saja kepedihan seolah mendorongnya. Air mata itu pun jatuh. Ia lalu memeluk kakanya tersebut dengan sangat erat. " Ada apa Dim". Kak Jen semakin dibuat bingung dengan tingkah laku adiknya tersebut yang sangat tak biasa.
…
Meraka saling bertatapan satu sama lain. " Kau kenapa, cerita saja". Kak Jen seolah siap menampung segala keluh kesah yang sedang dialami oleh adiknya tersebut. Dengan perasaan bimbang Dimas pun bercerita kepada Kak Jen tentang kebimbangan yang sedang ia alami saat ini.
"Gak mungkin Dim" Kak Jen membuang wajahnya
"Kenapa gak mungkin Kak?"
"Dim…" Kak Jen memegang tangan adiknya tersebut "Ibu kita sudah meninggal, mustahil jika yang kamu lihat itu adalah Ibu"
Seolah tidak puas dengan jawaban dengan Kak Jen, Dimas pun bergegas pergi. " Dim, Dim".
….
Untuk ketiga kalinya Dimas mendatangi warung wanita paruh baya tersebut. Namun kali ini ia hanya melihat dari kejauhan sembari memandanginya. Entah mengapa ketika pandangannya tertuju pada wanita itu, hatinya seakan tentram dan damai. Ia seperti berada dalam sebuah pelukan hangat seorang Ibu.
Tapi…mungkinkah itu terjadi. Bukankah puluhan tahun yang lalu sang ibunda telah meninggal. Apakah ini sebuah jawaban dari Sang Maha Kuasa atau hanya kerinduan kepada mendiang ibunya saja. Sampai – sampai wanita yang tidak ia kenal pun seperti ibu kandungnya sendiri.
Tapi Dimas tetap percaya kepada hatinya. Hatinya yang berkata bahwa wanita paruh bayah itu adalah ibu kandungnya. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana caranya bisa mengenal lebih jauh dengannya.
…
Bersambung