Keesokan paginya, Zico sedang duduk di bangku panjang yang ada di depan rumah. Sekarang ia sedang memperbarui remote televisi yang waktu itu pernah jatuh ke lantai.
"Susah," gerutu Zico seraya membanting kembali remote itu ke lantai tanah berlapis rumput hijau. TAMBAH RUSAK.
"My husband sedang apa?"
"Oh my gosh!" Zico sangat terkejut hingga kini sudah berdiri dari duduknya seraya menatap Queenzell yang tadi berjongkok dan berbicara sangat dekat dengan telinganya.
"KAU TIDAK USAH MENGAGETKANKU BISA, 'KAN!" lanjut Zico dengan ketus. Nadanya juga membentak.
Zico menatap Queenzell yang menunduk sepertinya ketakutan karena bentakannya. Sesekali Queenzell mengigit bibir bawahnya dan kedua tangannya sudah berada di belakang badan. Badannya bergerak ke kanan lalu kiri.
"Sial!" gerutu Zico dalam hati. Kejadian semalam membuatnya ingat kembali karena tingkah Queenzell. Beruntung malam itu ia tidak kebablasan. Sisi baiknya berhasil menyelamatkan dirinya. KATANYA SESAMA! Begitulah.
Dengan hati-hati Zico mengambil remote di tanah lalu bertanya, "k-kau tidak lapar? Maksudku kau masih fairy jadinya tidak lapar." Zico malah mengacak-acak rambutnya karena tidak berpikir dulu mengenai pertanyaannya.
Queenzell mendongak dan tersenyum. "Setengah manusia."
Zico kembali menatap Queenzell.
"Mungkin aku bisa mencoba makananmu," kata Queenzell lalu meringis hingga giginya tampak.
Sangat putih dan terawat. Dasar siluman. "Dia bisa mendengarmu Zico. Tidak. Hanya malam hari saja. Jadi sekarang aman," batinnya.
"Tapi aku tidak punya bahan makanan," jelas Zico pada akhirnya.
Jika Queenzell adalah manusia utuh, yang akan ia lakukan adalah meraup-raup wajah Zico tanpa ampun. Tapi wajahnya terlalu sia-sia jika diacak-acak olehnya. Wajahnya sangat tampan. Bak dewa Yunani? Tidak. Kali ini putri Yunani versus putra Hollywood.
"Kalau begitu aku tangkap ikan." Queenzell melangkahkan kakinya menuju sungai. "Oh iya. My husband sudah mencuci pakaian?"
"Jangan bahas itu!" Zico tahu jika membahas itu maka ujung-ujungnya...
"Aku sudah mencuci semua pakaian tadi pagi saat kau masih tidur. Sekarang duduk disini." Zico menunjukkan bangku dengan dagunya.
Queenzell menurut. "Aku sangat lapar..." gumamnya.
Tapi Zico bisa mendengar. Ia masih berdiri. Kini dengan dua tangan sudah terlipat di depan dada. Zico berdeham.
"Disini awan terlalu tinggi. Jika kau mau makan kau bisa terbang keatas," ucapnya seraya menatap langit yang begitu cerah.
Sesekali saja hujan. Sudah satu bulan Zico tinggal disana tapi belum hujan sama sekali. Musim panas terlalu panjang. Hukumannya 3 bulan. Berarti masih tersisa 2 bulan. LAMAAAAAAA!
"Aku bilang akan mencoba makananmu," sarkas Queenzell kemudian.
"Jika kau mati bagaimana?"
Queenzell menatap Zico. Di kedipan matanya yang pertama, kedua bola matanya berubah menjadi warna merah.
Apa Queenzell marah?
Zico bergeser sedikit karena takut. "Nanti aku ambil bahan makanan yang dikirim sekretaris dari Paris.
Zico kembali melirik Queenzell ternyata bola matanya sudah kembali normal. "Dulu kau tinggal dimana?" Zico duduk di sebelah Queenzell. Agak jauhan dikit.
"Saat aku ke Pluto aku masih bayi jadi tidak tahu," balas Queenzell dengan nada lembutnya. Sepertinya tidak pernah marah!!!
"Lalu kau kembali kesini dan akan tinggal dimana? Rumahmu saja tidak tahu."
"Aku akan tinggal dengan my husband," balas Queenzell.
"Siapa your husband? Kau terus memanggilku my husband tapi aku bukan your HUSBAND. Jangan-jangan ... kau dijodohkan saat masih bayi? HAHA!"
Queenzell menatap Zico. "Zico is my husband."
Zico masih tidak percaya. "Jadi nama husband-mu itu sama dengan namaku. Tidak apa. Kau pasti mengawasinya saat di Pluto. Dia tinggal dimana? Setidaknya beri tahu alamat spesifiknya saat kau mengawasi husband-mu. Aku bantu cari."
"Zico sudah di depanku," kata Queenzell. "Zico Baptiste Macaire," lanjutnya.
Zico berdiri. SYOK, KAGET, WADDAW! "K-kau tahu namaku?"
"Jika diingat-ingat lagi, dulu aku berasal dari desa ini. Mittelbergheim. Dulu sangat tentram dan damai. Setelah aku menghilang daerah ini jadi sepi," jelas Queenzell pada Zico. Pertanyaan Zico belum terjawab.
"Kau tahu namaku darimana? Meski kau fairy dari Pluto dan punya kekuatan tapi aku penasaran," ujar Zico lalu kembali duduk di bangku. Hari itu ia memakai jeans longgar sedikit diatas lutut lalu jaket putih.
"Aku selalu datang kemari untuk mengawasi orangtuaku. Mereka tiada karena kehilanganku. Aku tetap kemari dan menemukanmu," jelas Queenzell dengan lembut.
Zico jadi merasa insecure. Ia selalu marah-marah pada bawahan saat di kantor. "Saat aku kembali ke tempat tinggalku kau kembali ke Pluto lagi?"
"Aku ikut denganmu," balas Queenzell dengan semangat. "Tempat tinggalmu jauh dari sini?"
"Paris. Sekitar lima jam jika lewat jalur tol. Jarak dari sini kesana sampai 496,8 km. Apartemenku di kota jadi sangat ramai. Tidak seperti di desa seperti ini," jelas Zico pada Queenzell.
"Tapi disini kau bisa mendapatkan wine dengan mudah. Bahkan mengelolanya sendiri," kata Queenzell. "Justru menurutku lebih baik tinggal disini. Nyaman ... jauh dari hiruk pikuk kendaraan."
Zico bisa melihat Queenzel sudah memejamkan matanya hingga helaian rambut makhluk setengah manusia itu melambai pelan.
"Kau seperti sudah tinggal disini sangat lama. Jangan menghakimiku. Aku juga tidak akan mengajakmu ke Paris."
Queenzell diam. "Kapan sekrismu datang? Katanya akan mengantar bahan makanan?"
Zico menoleh, "hah? Maksudmu?"
"Sekris yang kau bilang tadi. Yang akan mengantar bahan makanan," ulang Queenzell.
"Oh itu..." Zico tertawa mendengar kepolosan Queenzell. Fairy polos and ... sincere. "Namanya sekretaris bukan sekris. Jangan suka menyingkat sembarangan."
ADUH! Jangan membahas singkatan!!! Jika dihadapan Queenzell.
"Seperti C-"
DRTTT
Ponsel Zico bergetar. Ia mengambilnya dari saku celana. "Hallo?"
"Ini aku Deanis. Aku tidak bisa kesana langsung. Sekarang aku di restoran Am Lindeplatzel. Kau kesini saja," balas Deanis dari seberang telepon.
"Tunggu disana," pinta Zico lalu mematikan teleponnya. Ia melirik Queenzell. "Kau..."
Dimana Queenzell?
Zico mencarinya ternyata sedang berjongkok di bawah. "Kau sedang apa?"
Queenzell berdiri dan memberikan sebuah benda pada Zico. "Remotenya sudah ku perbaiki."
Zico diam beberapa saat lalu menerima itu. "Kau belajar ilmu elektro? Ngeri sekali wanita belajar seperti itu. Hati-hati dengan listrik jika tidak ingin tubuhmu tersetrum lalu gosong."
Zico tersenyum pada Queenzell lalu sedikit mengangkat remote, "thanks."
Queenzell membuntuti Zico masuk ke rumah.
Oh benar!
"Kau disini dulu aku akan segera kembali," ucap Zico pada Queenzell.
"Kenapa aku tidak boleh ikut?" Queenzell berdiri di sebelah Zico yang sedang menyisir rambutnya di depan cermin.
"Sekretarisku akan curiga denganmu."
"Just say I'm your wife."
Emang semudah itu?!
Zico menoleh kerena tangannya di cekal kuat-kuat oleh Queenzell. "I'm not your husband and you are not my wife, okey!"
"Kumohon," ujar Queenzell dengan nada merengek dan matanya sudah berkaca-kaca.
Zico jadi tidak tega. "Sebentar." Zico membuka lemari pakaiannya. Tidak mungkin mengajak Queenzell keluar dengan gaun tanpa lengan itu. Cuaca terlalu panas.
Tapi ... hanya ada pakaian pria disana. Kaos polos, hoodie, jaket, dan training.
Zico mengambil hoodie biru muda dan training cokelat.
Zico menunggu Queenzel berganti di luar rumah. Ia menyumpahi Deanis karena memilihkan rumah satu lantai dan ruangan. Jauh dari pemukiman pula. KAN SEREM KALAU ADA HARIMAU!!!
Cklek
Zico menoleh.
"Let's go husband."
Waw! Jaket brandednya jadi lebih branded. Tambah wangi pula. Setelah itu apa Zico perlu mencucinya???
Find me on IG marselasepty20
On Wattpad Septymarselaaa
Baca juga karyaku di sana❤