Zico menggandeng tangan Queenzell menuju restoran yang Deanis sebutkan. Am Lindeplatzel.
Queenzell selalu saja menoleh kesana kemari memperhatikan pedagang di pinggir jalan. Jalanan hanya muat satu mobil karena dihimpit oleh dua bangunan tua yang memanjang hingga belasan meter.
Sampai di depan tempat itu, Zico langsung saja masuk dan bunyi lonceng langsung bisa ia dengar.
Beberapa pasang mata memeperhatikan mereka berdua. Banyak pria di sana. Otomatis Queenzell yang mendapat banyak perhatian. Hanya dengan hoodie dan training saja sudah menarik perhatian.
Zico menarik lengan Queenzell menuju tempat duduk Deanis. Ia duduk di kursi berhadapan dengan sekretarisnya itu.
"Waktu itu alasannya kau sibuk. Sekarang apalagi?!" Kedua mata Zico menatap Deanis, tajam juga sebal.
"Ayolah, Zic. Seharusnya aku yang marah! Kau dikucilkan jadi pekerjaanmu kini aku yang menangani," balas Deanis tak kalah tajam.
Zico bisa melihat wajah sekretarisnya itu sangat lesu. Pakaiannya juga masih setelan jas formal, hitam. Dasinya sudah terpasang ... miring. Tidak rapi!
"Di Pluto sama sekali tidak ada tempat seperti ini," ujar Queenzell yang sedari tadi berdiri di sebelah Zico yang sudah DUDUK!!! Ia baru pertama kali datang ke restoran jadi maklum saja. Matanya sudah jelalatan memperhatikan tempat itu dengan detail.
"Hei girl. Who are you?" Tanya Deanis pada Queenzell.
Otomatis Queenzell memperhatikan Deanis. "Aku-"
"Dia kenalanku di sini. Warga di sini cukup ramah juga," ucap Zico menyambar penjelasan Queenzell. "Aku memintanya datang bersamaku karena mungkin saja aku tersesat." Kemudian Zico menatap Queenzell dan menuntun lengan makhluk itu agar duduk di sebelah kirinya.
Deanis berkata, "aku tahu kau itu tidak suka dekat-dekat dengan gadis. Sekarang kau dekat dengan gadis yang baru kenal. Sudah berapa lama kau kenal dia?"
"Itu-"
Ucapan Queenzell selalu saja dipotong oleh Zico. "Kau tidak perlu tahu urusan pribadiku. Sekarang katakan kenapa kau tidak mengantar persediaan seperti biasanya."
Pekerja restoran datang mengantar pesanan Deanis. Hanya pesan untuk SENDIRI?! Tidak berperikehumanan.
Deanis menjelaskan, "itu ... jadi selama satu bulan ada perubahan. Itu permintaan grandpa. Bulan lalu kau harus mengurus perkebunan wine milik grandpa di sini. Bulan ini ... kau harus cari uang sendiri untuk beli bahan makanan."
"What?!" Zico tampak terkejut. Ia diusir TIDAK BAWA UANG SEPESERPUN. Sekarang ia harus mulai hidup sendiri!!! Begitu?!
"Itu perintah grandpa padaku. Jadi aku tidak bisa menolak atau menolongmu," jelas Deanis pada Zico.
"Kau sekretarisku jadi harus menurut padaku. Berikan saja 3200 Euro padaku. Untuk satu bulan," ucap Zico dengan mudahnya.
Deanis melotot, "3200 Euro? Kau gila. Uang sebanyak itu untuk satu bulan." Deanis tertawa mengejek, "aku tahu kau itu calon penerus Macaire Corp. Tapi kau sudah membuat kerugian besar. Sekarang saja kau berakhir di desa terpencil. Kau tetap ingin 3200 Euro?"
"Berikan saja. Setelah aku kembali akan kuganti dua kali lipat," jelas Zico pada Deanis yang masih berpikir.
Deanis menawar, "tiga kali lipat?"
Zico menghela napasnya, "oke."
"Aku transfer se ... benar. Kartu ajaibmu saja sudah disita grandpa. Sore ini aku ke bank lalu ke tempat tinggalmu. Aku antar uang cash," jelas Deanis pada Zico.
"Sekarang saja!" Zico tidak bisa membiarkan Deanis ke tempat tinggalnya karena ada Queenzell yang tinggal bersamanya.
"Why?" Deanis penasaran.
Zico menoleh ke kiri.
Kenapa Queenzell diam saja?
Ternyata tidur!!!
Tangan kiri Queenzell lurus diatas meja sebagai bantalan kepala. Wajahnya menghadap ke arah Zico dan Deanis yang sedang membahas urusan mereka berdua.
Dengkuran halus bisa Zico dengar. Lagi-lagi ia terpaku pada bulu mata lentik Queenzell. Mulutnya tampak mengunyah sesuatu hingga movie yang ia ciptakan sendiri malam itu terbesit kembali tepat di depan matanya.
"Sial!"
"Dia siapamu sebenarnya?"
Zico menatap Deanis, "tetangga. Rumahnya tidak jauh dengan tempat tinggalku. Sudah kubilag tadi. Sekarang kita ke bank. Aku ambil uangnya sekalian."
"Kau selalu cepat mengenai uang." Zico bangun dari duduknya lalu menuju cashier untuk membayar.
Sementara itu, Zico berusaha membangunkan Queenzell. "Bangunlah." Ia menggoyang-goyangkan bahu Queenzell, pelan.
Queenzell melenguh. Membuat Zico mengumpat. Zico juga bisa mendengar perut Queenzell berbunyi. Ternyata kelaparan. HARUSNYA TADI BILANG! Malah tidur dalam kelaparan.
"Queenzell ayo bangun. Wake up, please." Zico berbisik di telinga Queenzell, "kau bilang ingin mencoba makananku."
Queenzell langsung saja membuka matanya dengan cepat. Hal sama terulang kembali. Selalu saja bola mata merah itu membuat Zico takut. Tapi di kedipan berikutnya, bola matanya kembali hitam.
"Makan di sini?"
"Tidak di sini. Sekarang kita pergi dulu. Aku ambil uang." Zico bangun dari duduknya, tapi sepasang mata sudah memperhatikannya dari tadi. Bukan memperhatikan dirinya. Tapi Queenzell.
Deanis melihat mata merah Queenzell???
"Temanmu pakai lensa?"
"M-mungkin. Aku tidak tahu apa saja yang ia pakai," balas Zico.
Deanis terkekeh. "Pakaianmu saja dia pakai. Kau pasti sempat bermalam dengan gadis itu." Kemudian ia keluar duluan dari restoran.
Zico menarik lengan Queenzell keluar dari tempat itu.
***
Zico kembali ke tempat tinggalnya saat itu dengan naik taksi bersama Queenzell. Mereka juga mampir untuk membeli persediaan di toko.
3200 Euro Zico dapatkan. Untuk satu bulan. Haih! Tapi lintah darat itu meminta kembalian tiga kali lipat. Deanis merupakan sekretaris, teman, adik, juga saudaranya. ADIK KANDUNG!!!
Satu karung gandum Zico bawa sendiri. Queenzell membawa bahan makanan lainnya yang ringan. Ada daging sapi, sayur, bumbu-bumbu, dan bahan lainnya.
"My husband akan tinggal di rumah itu terus?" Queenzell sempat melihat koper yang Zico bawa berisi banyak uang. Jadi ia pikir pria itu akan pindah ke tempat yang lebih layak dan ... ramai.
"Minggu depan kita pindah. Mungkin ke hostel," balas Zico.
KITA!
Kata itu membuat Queenzell merasa sangat bahagia. Artinya Zico akan membawanya pindah juga ke hostel.
"You're very handsome," cetus Queenzell setelah menatap wajah tampan Zico cukup lama.
Zico jadi malu-malu. Banyak yang mengatakan dirinya tampan. Maid di apartemennya, asisten wanita, teman perempuannya, tapi tidak penuh ketulusan seperti Queenzell dan ... almarhum mamanya. Papanya juga almarhum begitu juga grandma. Ia hanya bersama sang grandpa dan lintah darat, Deanis.
"Aku tahu aku tampan. Kau tidak perlu memberitahuku," ujar Zico lalu menaruh karung berisi gandum di depan rumah. Ia ambil kunci lalu membuka pintu dan masuk ke dalam.
Apa ini?!!!
Kenapa ia jadi akrab dengan Queenzell??!!!!
Apa ia terkena mantra makhluk itu?!!!
"Aku buatkan wheat rice and beef steak. Kau duduk saja disitu," ujar Zico pada Queenzell yang sedang duduk di bar stool dengan menopang dagu dengan kedua tangannya yang berada di atas meja marmer.
Queenzell memperhatikan Zico yang mulai bersiap memasak. "Zico bisa masak?"
"Tentu saja."
"Siapa yang mengajari?"
"Deanis. Dia ikut kursus masak juga."
"Sekresmu yang tadi?"
Zico tertawa. "Benar. Dia juga adikku."
"Apa pria boleh masak?"
Pertanyaan HEHHHH!!! "Tentu saja. Di Pluto ada pria juga?"
"Ada. Mereka tidak boleh melakukan pekerjaan female fairy."
"Memang apa pekerjaan disana berat?"
"Male fairy menyanyi lalu female fairy menghiasi ruangan setiap hari."
Zico tahu jika Queenzell pernah mengatakan makanan mereka adalah awan. IA MASIH TIDAK PERCAYA!
Queenzell membayangkan dirinya saat tinggal di Pluto. "Semuanya tampak seperti dewa Yunani. Waktu itu ada acara kunjungan ke Yunani dan di sana laki-lakinya sangat tampan."
Zico merasa ... GERAH!
"Jangan membicarakan pria lain di hadapanku." Nada bicaranya dingin. Sedingin es yang ia gunakan untuk membuat jus alpukat saat ini.
"Tapi tadi kau bicara pria lain di hadapanku."
POLOOOOSSSS kembali lagi!!!
Zico bertanya, "kau sungguh akan ikut terus denganku?"
Dengan mudah, Queenzell membalas, "tentu saja. Zico is my husband."
Thanks for reading๐๐๐