Chors berjalan ke perbatasan wilayah. Dia masih saja merasa terkesima dengan perbedaan iklim ini. Hanya dengan satu langkah ke depan saja dia sudah berada di iklim yang hangat. Sedangkan jika dia melangkah ke belakang, dia sudah berada di iklim yang sangat dingin. Chors melanjutkan langkah ke depan, dia sudah dapat melihat kereta kerajaan dari kejauhan.
"Rasanya sudah sangat lama sekali tidak melihat kereta itu." Chors mempercepat langkah kakinya.
Kusir yang sudah melihat Chors segera turun untuk membukakan pintu. Mendapatkan perlakuan seperti ini sangat membuat Chors merasa bernostalgia. Dua tahun hidup di alam liar itu terasa sangat lama untuknya. Saat Chors masuk ke dalam kereta, dia melihat teman yang tidak asing. Chors melihat Ema sudah duduk di dalam kereta. Ema nampak seperti menunggu Chors.
"Lama, sepertinya kau sudah menjadi melambat ya?" Ema mencoba untuk memancing Chors.
"Sepertinya kau memang tidak pernah berubah. Kaulah orang yang datang terlalu cepat."
Saat Chors sedang berbicara, Ema mengamatinya dengan mata manaya. Ema dapat melihat jumlah mana milik Chors juga meningkat dengan pesat. {Aku sudah menduga kalau tidak hanya aku yang akan menjadi lebih kuat. Tapi Chors hanya dengan melihat mananya saja aku sudah tahu dia menjadi jauh lebih kuat. Sungguh hebat dia dapat beradaptasi dengan cepat.} Ema berbicara sambil melihat ke arah bahu kanan Chors.
"Jangan melihatku seperti itu. Tatapanmu terasa seperti sedang iba padaku." Chors berbicara dengan nada yang kesal.
"Maafkan aku, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya kagum dengan kau yang dapat beradaptasi dengan cepat."
"Beradaptasi ya?" Chors melihat ke bahu kanannya, dia menjadi tersenyum kecil. "Dibanding beradaptasi, aku merasa seperti pasrah dengan keadaanku. Daripada membahas tanganku, aku ingin tahu tentang isi suratmu."
Chors dan Ema menjelaskan satu sama lain mengenai isi surat mereka. Kedua surat yang mereka dapatkan berisi tulisan yang sama dan tidak ada sedikitpun yang berbeda. Mereka tidak terkejut dengan hal itu, malah mereka nampak sudah menyadarinya sejak awal. Namun karena surat mereka tidak menjelaskan kenapa mereka harus pulang membuat mereka menjadi khawatir.
"Sejak awal aku punya firasat buruk karena kerajaan sampai memanggil kita. Aku merasa Raja Iblis Timur sudah pulih kembali."
Saat mendengar kata Raja Iblis Timur, bahu kanan Chors menjadi sakit. Reaksi tersebut seperti mengatakan ketakutan yang dia rasakan. {Bahkan hanya dengan mendengar namanya saja luka ini menjadi sakit.} Chors mencoba untuk tidak menunjukan rasa nyeri yang dia rasakan.
"Itu adalah kabar terburuk yang kita miliki, tapi sepertinya hanya itu alasan paling masuk akal untuk memanggil kita kembali ke istana." Chors mencoba menjawab setenang mungkin.
"Yah itu hanya sebuah kemungkinan saja. Sekarang kita hanya perlu berharap bahwa itu tidak akan pernah terjadi. Dengan kemampuan yang aku miliki sekarang rasanya aku tidak akan cukup kuat untuk melawan jenderal Iblis Timur." Ema mengepal tangannya dengan erat.
"HAHAHAHAHA!" Chors tertawa dengan sangat kencang, bagi Ema tawaan itu terasa seperti hinaan untuknya. "Seharusnya kaulah yang paling mengerti dengan latihan sesingkat ini kita tidak akan mungkin bisa mengalahkan jenderal Iblis TImur."
"DIAM KAU SERIGALA BERENGSEK!"
"Itu hanya terjadi jika satu lawan satu." Seketika raut wajah kesal Ema memudar. "Kau harusnya tahu kita adalah sebuah party, jika kita digabungkan sangat mungkin kita untuk mengungguli jenderal Iblis Timur."
"Kau benar, sekarang aku menjadi rindu dengan Kira. Aku ingin tahu seberapa kuat dia sekarang. Selain itu aku tidak sabar untuk bertemu dengan Alice."
"HAAA!" Alice berteriak dengan lantang.
Alice yang sedang memegang peda kayu berlari ke depan. Alice berlari ke arah Affilia, Alice langsung mengayunkan pedangnya pada wajah Affilia. Dengan mengangkat satu tangannya, Affilia dapat menahannya. Dia juga menendang Alice hingga terlempar ke belakang.
"Sepertinya kemampuan dasarmu masih belum berkembang."
"Belum, aku belum selesai." Alice berdiri dengan perlahan-lahan.
Alice yang sudah berdiri, melempar pedangnya ke arah Affilia. Affilia tersenyum dengan pedang yang mengarah padanya. Saat pedang terlempar, jari-jari Alice terus bergerak. Tepat saat pedang hampir mengenai wajah Affilia, pedang itu berbelok ke kanan dan memutari Afflia.
Pedang itu kemudian menyerang Affilia dari belakang. Affilia tidak perlu untuk berbalik, untuk melihat serangan tersebut. Dia hanya mengangkat pedang kayunya dan menaruhnya di punggungnya. Berkat pedang kayu miliknya, Affilia dapat menahan serangan Alice.
"Seharusnya kau mencoba menyerang dengan arah yang berbeda."
"Tenang saja ini baru saja dimulai."
Jari-jemari Alice bergerak menjadi semakin cepat. Pedang Alice kembali menyerang ke arah Affilia. Berbeda dari sebelumnya, pedang Alice bergerak menjadi lebih gesit. Affilia dapat merasakan sensai yang berbeda saat melawan pedang Alice yang sekarang.
Setiap gerakan menjadi semakin berat, semakin lama Affilia menahannya. Affilia merasakan seolah-olah kalau pedang Alice menjadi semakin tajam semakin lama dia bertarung. {Seperti yang diharapkan dari ras elf. Mereka memang sangatlah hebat dalam sihir. Sayangnya itu hanya berlaku untuk sihir!}
Affilia menggenggam pedangnya dengan semakin erat. Sorot mata miliknya juga menjadi berubah. Alice yang melihat sorot mata, Affilia juga tahu bahwa Affilia akan menjadi serius. Alice membuat jarinya bergerak dengan semakin cepat. Walau sudah menunjukan sorot mata yang berbeda, Affilia tetap hanya menangkis serangan Alice.
Namun semakin lama Alice beradu pedang. Alice menjadi semakin sadar perbedaan kemampuannya dengan Affilia. Affilia menangkis setiap serangan Alice dengan sangat mudah. Hingga akhirnya Affilia menangkis serangan Alice hingga pedang miliknya terpental. Tangan Alice menjadi mati rasa saat pedang itu terlempar.
"Sepertinya ini adalah akhir dari latihan ini." Affilia mencoba menaruh kembali pedangnya.
"BELUM!" Alice berteriak dengan kencang.
Alice kembali mengarahkan pedangnya ke arah Affilia. Tidak hanya pedang, dia juga menggerakan ranting-ranting yang ada di pohon. Affilia sedikit terkejut dengan serangan kejutan yang dia dapatkan. Walau hanya sebuah ranting, namun ranting itu membuatnya kerepotan. Alice menggerakan ranting-ranting itu menutupi pergerakan pedangnya.
Berkat ranting-ranting yang dia gerakan, Affilia menjadi kesulitan membaca. Beberapa kali Affilia terkena serangan telak Alice. Walau tidak begitu menyakitkan, namun serangan itu terasa sangat mengganggu untuknya. {Baiklah bocah, kau yang memintaku!}
Pedang Affilia kemudian mengeluarkan aura kuning di sekelilingnya. Alice terkejut dengan aura kuning yang baru dia lihat. Affilia kemudian mengayunkan pedangnya dan memotong ranting bersama dengan pedang Alice. Dengan hancurnya senjata miliknya, Alice mengakui kekalahannya.
"Sampai sekarangpun aku masih tidak bisa mengalahkan guru." Alice berjalan mendekati Affilia.
"Sampai kapanpun kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku dalam hal berpedang."
Selama dua tahun bersama Affilia, Alice sudah berkembang menjadi pengguna pedang dan sihir yang hebat. Tidak hanya kemampuannya, fisik Alice juga berubah. Tubuh anak-anaknya kini sudah berubah menjadi remaja. Affilia yang melihat Alicepun juga tidak menyadari pertumbuhan Alice.
"Kerja bagus." Affilia mengelus kepala Alice.
"Terima kasih guru!"
"Sekarang mandilah dan nanti datanglah ke istana. Aku punya hadiah untukmu karena kau sudah bekerja dengan keras."
"Sebelum mandi sepertinya kau perlu mendengar sebuah kabar." Suara Wine terdengar dari halaman mansion, dia berjalan mendekati Alice dan juga Affilai.
"Apa yang kau inginkan?"
"Aku hanya membawakan kabar baik untuk Alice."
"Kabar baik?" Alice kebingungan dengan kalimat Wine.
"Chors dan Ema akan segera kembali ke mansion."
"Apa? Benarkah?!" Alice menjadi kembali bersemangat. "Lalu bagaimana dengan Kira?!"
"Sayangnya Kira masih belum memberikan kabar untuknya." ALice menjadi murung.
"Alice sebaiknya kau mandi, aku ingin membahas sesuatu dengan Wine."
"Baik guru!" Alice kembali ke dalam mansion.
"Sebenarnya kenapa kau sampai repot-repot datang kemari?" Nada Affilia menjadi berubah.
"Aku hanya membawakan pesan untuk Alice. Dia pasti akan senang ketika mendengar mereka akan kembali."
"Jika hanya ingin memberitahu hal seperti itu bukankah dengan elang saja cukup?"
"Sepertinya kau menjadi sangat waspada sekarang bila hal ini berkaitan dengan Alice."
"Jangan mengulur pembicaraan!"
"Kau juga sudah mengetahuinya bukan? Iblis Timur kembali bergerak, Yang Mulia juga sudah menerima tawaran yang diberikan Kardia."
"Jangan katakan ini sama dengan apa yang aku pikirkan sekarang."
"Alice akan ikut serta dalam perang ini."
"APA!" Affilia berteriak dengan sangat lantang.
"Sejak awal kau sudah tahu bukan? Alice memang dikatih untuk hal ini. Cepat ataupun lambat dia memang akan berada di medan perang."
"Tapi dia masih hanya anak-anak! Bagaimana anak-anak dapat berperang."
"Affilia seharusnya kau sudah tahu bahwa ini adalah perintah Yang Mulia. Apa kau baru saja mencoba untuk menolak perintahnya?!" Affilia tidak dapat menjawab Wine. "Jangan lupa Affilia, perintah Yang Mulia adalah mutlak. Kita tidak dapat menentangnya, sejak menjadi jenderal kita tahu mengenai hal itu."
"Aku tahu itu." Affilia tampak masih tidak dapat menerima keputusan tersebut.
"Asal kau tahu saja aku sudah mengamati kalian sejak tadi. Dan aku sangat yakin kemampuan Alice sudah lebih dari cukup. Ditambah kau juga menjanjikan sesuatu padanya bukan? Aku yakin itu adalah hal yang berguna untuknya."
"Sudahlah, aku tidak tahu harus berkata apa. Kau antarkan Alice ke istana begitu dia selesai mandi." Affilia pergi dengan raut wajah kesal.
"Baiklah." Wine hanya menjawab dengan senyumannya.
Pada malam hari Wine mengantarkan Alice ke istana. Ini adalah kali pertama Alice datang ke istana. Kedua matanya menjadi berbinar-binar ketika melihat istana. Alice menjadi sangat tertarik ketika melihat istana. Wine menyadari kalau Alice sangat tertarik dengan istana.
"Apa kau ingin aku bawa berjalan di istana?"
"Apa aku boleh berkeliling?"
"Tentu saja."
Mereka kemudian sampai di istana, Alice turun dari kereta kuda dengan bersemangat. Saat mereka akan masuk ke istana, Affilia sudah menunggu di depan pintu masuk. Affilia menatap dengan tajam ke arah Wine. Wine hanya tersenyum sambil berjalan dengan Alice.
"Nampaknya gurumu sudah menunggumu." Wajah Alice menjadi murung.
"Kemarilah Alice." Alice berjalan mendekati gurunya.
Mereka kemudian berjalan masuk ke dalam istana. Sejak berjalan Affilia tidak berbicara sedikitpun. Alice menjadi kebingungan karena gurunya nampak tidak seperti biasanya. Mereka berjalan cukup jauh, Alice terkejut dengan luasnya istana.
"Guru apakah kita bisa berkeliling di istana?"
"Tentu saja bisa, tapi kau harus mengambil hadiahmu dulu."
"Hore!!" Alice kembali ceria.
Affilia membawa Alice ke salah satu ruangan dengan pintu sangat besar. Affilia kemudian membuka pintu ruangan. Saat melihat ruangan, Alice menjadi terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa. Dia melihat sangat banyak barang cantik di dalam ruangan tersebut.