Chereads / Surga Kecil / Chapter 51 - Keberanian

Chapter 51 - Keberanian

Ruangan seketika terasa sesak begitu Alexa mendengar hinaan berupa 'perempuan jalang' yang ditujukan padanya di hadapan banyak orang. Dia ingin segera lenyap dari sana, karena tak ingin orang-orang di ruangan memiliki pandangan buruk terhadapnya. Alexa ingin menutup telinga rapat-rapat, tapi tidak bisa. Dadanya seperti terhimpit sesuatu hingga kesulitan bernapas.

Dia tidak mendengar hal lain yang diucapkan di dalam ruangan. Telinganya berdenging. Betapa menjijikkan nama itu saat ditujukan padanya. Alexa tidak ingin orang lain jadi mengecapnya dengan nama menjijikkan itu. Tak peduli seberapa sering Alexa mendapat penghinaan dan dijauhi di dalam hidupnya, dia tetap tidak ingin dihina dengan cara seperti barusan.

Isi kepalanya berkabut. Alexa bahkan tidak sadar kapan dia masuk ke dalam lift dan menaiki tangga, hingga tiba di lantai 51. Dia baru sadar dari lamunannya ketika merasa tubuhnya direngkuh, kemudian kepalanya diusap lembut. Matanya memanas dengan segera.

"Maafkan aku. Aku hanya berniat membuatnya minta maaf padamu tadi. Tapi aku tidak menyangka kalau dia akan bicara sejauh itu." Suara pelan dari tuannya berusaha menenangkan. Namun Alexa masih terus menangis, berusaha menenangkan suasana hatinya.

Skylar juga tidak berusaha menenangkan. Dia hanya diam, membiarkan gadis itu menangis sepuasnya. Mungkin dengan begitu, duri-duri di dalam hatinya bisa ikut memudar tersapu air mata.

Butuh beberapa saat hingga Alexa tenang. Air matanya berhenti, kemudian dia melangkah mundur untuk melepaskan diri dari pelukan tuannya. Pakaian di bagian dada milik tuannya jadi basah karena air mata.

"Terima kasih sudah membela saya. Maaf bajunya jadi basah."

"Tak masalah. Aku juga sedikit bersalah padamu karena tidak bilang dan langsung menarikmu ke ruang rapat." Jujur saja, Skylar tidak begitu mengenal Emy. Dia juga jarang mendapatkan informasi mengenai kepribadiannya, makanya tidak menduga jika bisa berkata sejauh itu.

"Tapi kau bisa tenang. Mulai hari ini, orang itu sudah tidak akan kembali ke sini. Kau bisa belajar dengan tenang di dapur restoran." Dan setelah ini Skylar akan memastikan Emy tak akan bisa bekerja di restoran besar manapun, kecuali dia berniat keluar negeri dan melamar menjadi koki di restoran negara lain.

Alexa mengangguk pelan sembari mengusap air matanya. Di dalam hati, dia meragukan dirinya untuk kembali belajar di restoran bawah meskipun orang yang membencinya sudah tidak ada di sana. Ada rasa takut dirinya akan dipandang buruk oleh koki-koki di sana. Kepalanya sudah membayangkan kalau mereka sudah terpengaruh oleh kalimat Emy, kemudian memandang Alexa dengan pandangan mencela.

Skylar pun menepuk bahunya. "Istirahatlah." Kemudian, pemuda itu berbalik dan naik, menuju kamarnya sendiri, meninggalkan Alexa di sana.

Keesokan harinya, Skylar sudah kembali memesan makanan dari bawah, karena yakin tak akan lagi menemukan barang-barang aneh di dekat piring makanannya.

Selesai sarapan, pemuda itu menyuruh Alexa memperlihatkan luka di tangannya. Meski lukanya tampak agak mengering, dan sepertinya Alexa sudah bisa melakukan kegiatan seperti biasa, Skylar tetap tidak membolehkan gadis itu bekerja. Mungkin satu atau dua hari lagi, barulah dia akan mengizinkan Alexa bekerja seperti biasa. Lagipula, Skylar mulai menantikan menu-menu yang akan disajikan oleh pelayannya.

Pada pukul sebelas pagi, Skylar sudah berpakaian rapi dan siap pergi keluar. Alexa yang saat itu sedang membaca buku di lantai 51 pun berdiri dan bersiap mengantar tuannya menuju lift.

"Aku ada urusan dan akan makan siang di luar. Aku sudah memberitahu restoran di bawah untuk mengirimkan makan siang kemari untukmu nanti. Jangan coba-coba masak diam-diam, aku masih tidak mengizinkanmu menggunakan dapur. Mengerti, Alexa?"

Di akhir kalimat, Skylar terpaksa memberikan ancaman ketika menangkap perubahan ekspresi pelayannya menjadi cerah setelah mendengar jika dirinya akan makan di luar. Dia bisa menduga kalau Alexa akan diam-diam menggunakan dapur, lalu mengembalikan makanan yang dikirimkan pelayan kemari. Terbukti dengan munculnya ekspresi kecewa setelah Skylar mengatakan ancaman itu.

Skylar pun mendengus geli, kemudian melangkah menuju lift dan meninggalkan lantai 51.

Sebenarnya dia memasang kamera pengawas di lantai 51 dan bisa mengecek keadaan tempat itu setiap saat, tapi Skylar bungkam dan tak mengatakan pada Alexa. Dia ingin menggunakannya untuk memeriksa apa yang pelayannya lakukan, meski Skylar yakin gadis itu tidak akan berbuat macam-macam di tempatnya.

Setelah kepergian tuannya, Alexa kembali duduk di sofa dan membaca buku. Buku itu adalah buku yang dia beli dengan gajinya dua hari lalu, isinya mengenai sejarah. Sayangnya, hanya tersisa beberapa lembar, dan Alexa akan kembali tak memiliki kegiatan setelah ini.

Benar, tidak sampai lima belas menit, bukunya sudah selesai dibaca, kemudian diletakkan di rak tak jauh dari sofa. Gadis itu pun menghela napas, lantas melihat ke sekitar. Tak ada yang bisa dia lakukan. Pakaian kotor semuanya sudah diserahkan pada petugas laundry. Memasak juga tidak diperbolehkan. Membersihkan ruangan sebenarnya jadi salah satu pilihan, tapi Alexa masih ingat tuannya melarang melakukan pekerjaan entah sampai kapan, dan dia tak berani melanggar setelah dapat ancaman barusan.

Dia pun merebahkan diri di atas sofa, menyalakan televisi sambil mengganti saluran, mencari acara yang menarik. Alexa nyaris ketiduran karena bosan, sampai suara ketukan di pintu terdengar dan menyadarkannya.

Makan siangnya sudah tiba.

Setelah pelayan menata makan siangnya di atas meja makan, Alexa segera duduk dan mulai makan. Meski ini bukan pertama kalinya dia makan siang sendirian, tapi tetap saja rasanya sepi dan bosan. Tanpa sadar, tangannya bergerak cepat menghabiskan makanan. Alexa mendadak punya rencana yang akan dia lakukan setelah ini.

Karena tak ada hal lain yang bisa dikerjakan, Alexa pun memutuskan mengajak Sophie jalan-jalan, sekalian mampir ke truk makanan milik Paman Bob dan istrinya. Sembari membunuh waktu dan juga menunggu tuannya kembali, serta waktu makan malam, dia berbincang dengan pasangan suami istri penjual makanan itu.

Entah mereka mengobrol berapa lama, Alexa memutuskan kembali. Suhu di tengah musim panas begini sangat gerah. Setelah melihat jam di ponsel, Alexa baru sadar jika hanya kuat bertahan selama satu jam berada di luar. Suhu di pertengahan musim panas seperti ini cepat membuat seseorang dehidrasi. Sehingga, Alexa segera kembali ke hotel.

Tidak ada pilihan lain yang dimilikinya. Setelah melihat Sophie bergelung manis di dekat sofa, Alexa pun ikut merebahkan diri di sana. Matanya tertuju pada televisi yang masih belum menyala. Tangannya meraih remote di atas meja tanpa mengubah posisi, lantas menyalakan televisi dan mencari saluran yang layak tonton.

Jarinya langsung berhenti menekan tombol remote ketika sebuah acara dengan nuansa kelam tampak di layar kaca. Alexa menelan ludah, kemudian bangkit dan duduk. Kepalanya menoleh ke arah kaca, memastikan bahwa di luar masih terang.

Acara yang sedang disiarkan di televisi adalah film horror.

Sebenarnya, Alexa cukup penasaran dengan film horror, namun dia takut menontonnya. Sehingga, dia memastikan kalau di luar masih terang, supaya keberaniannya muncul.

Gadis itu menelan ludah, sebelum menaikkan volume agar cukup terdengar. Sophie masih tidur di dekatnya. Alexa merasa aman, sehingga keberaniannya perlahan muncul.

Keberanian untuk menonton film horror sendirian.