Chereads / Surga Kecil / Chapter 6 - Mengutuk Semesta (R-18)

Chapter 6 - Mengutuk Semesta (R-18)

Tidak ada yang lebih merepotkan daripada usaha melupakan seseorang karena bertepuk sebelah tangan.

Di sore hari tanggal 5 Januari, Skylar tampak uring-uringan di meja kerjanya. Sejak siang tadi, pikirannya sama sekali tidak fokus karena dia teringat pada sepupunya, Racie, wanita yang berusaha dilupakannya karena tahu perasaannya tak akan bersambut. Karena itu, pekerjaannya jadi tidak berjalan dengan lancar. Dia jadi sering melamun dan lupa apa yang harus dikerjakannya.

Pemuda berusia 26 tahun itu memutuskan turun dan masuk ke kamarnya untuk membilas kepalanya di bawah shower. Guyuran air dingin dari shower tampaknya tidak sepenuhnya berhasil menyegarkan pikirannya. Kepalanya mulai terasa pusing.

Setelah keluar dari kamar mandi dan masuk ke ruang ganti, Skylar bermaksud menghubungi Ruth, seorang muncikari di tempat pelacuran yang menjadi langganannya. Namun sebelum Skylar menyentuh ponselnya, benda itu menyala terlebih dahulu, memberitahu jika ada sebuah pesan masuk.

Pesan dari Ruth.

Dia tidak terburu-buru membuka ponselnya, karena tahu pesan yang datang dari wanita gemuk tua itu pasti hanyalah memberitahu jika ada pelacur baru di tempatnya, kemudian menawarkan pada Skylar apakah dia ingin menyewa atau tidak.

Sebagai pelanggan—yang bisa dibilang—tetap di tempat itu, permintaan khusus Skylar sangat diingat oleh muncikari di sana. Sejak tiga tahun lalu, Skylar sudah menyuruh Mrs. Ruth untuk menghubunginya jika ada pelacur baru.

Ya, Skylar memang senang menyewa pelacur, tapi dia hanya mau menyewa pelacur baru. Dia memiliki prinsip untuk tidak menyewa orang yang sama dua kali. Skylar bahkan tidak keberatan membayar mahal untuk itu, sehingga Ruth juga memberikannya dengan senang hati. Sehingga, sejak saat itu Ruth selalu menghubungi Skylar jika ada perempuan baru di tempatnya, dan kegiatannya masih berjalan hingga saat ini.

Skylar baru membuka pesan di ponselnya setelah dia memakai pakaiannya. Benar seperti dugaannya, Ruth mengirimkan pesan untuk memberitahu jika ada pelacur baru. Tanpa pikir panjang, Skylar mengiakan untuk menyewa pelacur itu untuk malam ini. Sebuah pesan yang menyuruh Ruth mengirimkan pelacur itu ke sebuah hotel pun dikirimkannya.

Pemuda itu pun tak mau berlama-lama dan segera pergi ke hotel tujuannya. Tentu saja, dia menyuruh Ruth mengirim perempuan yang Skylar sewa ke hotel lain, bukan hotelnya sendiri. Dia pun menyambar kunci mobil yang dia letakkan di samping rak di kamarnya, lalu turun ke tempat parkir bawah tanah.

Dia benar-benar mengabaikan para karyawan yang menyapanya ketika bertemu di lobi. Kakinya menginjak pedal gas segera setelah mesin menyala, seolah tidak sabar untuk melampiaskan 'emosi' yang sudah tertumpuk akibat munculnya bayangan sepupunya selama seharian ini.

Matahari sudah terbenam di luar sana. Langit baru saja berubah gelap ketika jam sudah menunjukkan pukul lima lewat. Langit di atas tampak mendung, namun berita prakiraan cuaca mengatakan jika malam ini tidak akan turun salju. Meski begitu, pemandangan langit mendung di London adalah sebuah hal yang biasa.

Sebuah mobil Lamborghini hitam melaju dengan kecepatan sedang di jalanan yang masih ramai. Hari ini bukan akhir pekan, wajar jika masih banyak orang di jalanan yang baru akan pulang kerja. Untungnya, jalanan yang dilewati Skylar sama sekali tidak macet, atau dia akan terlambat tiba di hotel tujuannya.

Sekitar 15 menit kemudian, dia tiba di sebuah hotel berbintang lima lainnya. Skylar berhenti di depan lobi dan menyerahkan kuncinya pada petugas di sana untuk diparkirkan. Sementara itu, dia melangkah menuju resepsionis untuk memesan kamar. Seraya menunggu, dia mengeluarkan ponsel dan membaca pesan dari Ruth yang masuk. Pesan itu menyebutkan ciri-ciri pakaian yang dikenakan, ciri-ciri rambut dan tinggi, serta diakhiri dengan sebuah nama.

Mischa.

Skylar mendengus. Sejujurnya, dia tidak peduli dengan siapa nama perempuan yang akan dia sewa, toh nama itu tak akan melekat di dalam kepalanya. Skylar bahkan tidak pernah ingat wajah para perempuan yang pernah ditidurinya. Meski begitu, nama Mischa hanya akan keluar dari mulutnya sebanyak satu kali, ketika dia memanggil perempuan itu dan memastikan Skylar tidak salah orang.

Pemuda itu duduk di lounge mewah sambil menggeser layar ponselnya, melihat perkembangan saham terbaru. Sampai akhirnya, sebuah pesan dari Ruth yang mengatakan pesanannya sampai membuat Skylar menyimpan ponselnya kembali. Dia pun bangkit dari sofa empuk yang dia duduki dan berjalan menuju resepsionis untuk mencari perempuan pesanannya.

Heh. Mereka harusnya bersyukur karena bisa menikmati tidur di hotel mewah sebagai debut pekerjaan kotor itu. Meski Skylar yakin pasti ada pria kaya lain yang akan menyewa mereka, namun intensitasnya tidak akan sering. Kecuali lacur itu menjadi simpanan orang kaya lain, maka beda cerita.

Kaki pemuda itu melangkah lebar menuju meja resepsionis sambil mengingat ciri pakaian yang dikenakan perempuan sewaannya. Syal merah, mantel panjang berwarna coklat, senada dengan rambutnya. Tentu saja, warna syalnya sangat mencolok dan dengan segera mata keemasan Skylar bisa menemukannya dengan mudah.

Tapi, pemuda itu sama sekali tidak menyangka apa yang dilihatnya. Memang benar dia mendapat ciri fisik berupa rambut coklat dengan warna mata senada dari Ruth, tapi Skylar tidak menyangka kalau gadis yang ada di depannya itu sekilas mirip dengan seseorang yang berusaha dia lupakan. Padahal niatnya menyewa pelacur malam ini adalah untuk melupakan masalah yang mengganggunya, bukan malah melihat seseorang yang mirip dengan wanita pujaannya.

Dalam sekejap, tangannya menggenggam erat hingga kukunya menancap kuat. Giginya pun menggeretak pelan menahan gejolak dalam dadanya. Betapa Skylar merasa kepalanya bisa pecah kapan saja, atau meledak marah melihat apa yang ada di depannya.

Apa-apaan ini? Apakah Tuhan dan semesta sedang mengolok-olok dirinya?

Dia menghampiri gadis itu dan bertanya dengan nada dingin, "Mischa?" berniat memastikan kalau tidak salah orang.

Sesungguhnya, Skylar sangat berharap sedang salah orang, sampai akhirnya gadis itu mengangguk. Riasan di wajahnya tidak terlalu tebal seperti pelacur lain yang pernah dilihatnya. Dari sana saja Skylar bisa tahu kalau gadis di depannya sangat tidak berpengalaman. Tapi siapa yang peduli? Skylar selalu memperlakukan para perempuan yang dia sewa sesuka hatinya sebagai ganti uang yang dia keluarkan. Untuk kali ini pun tidak akan berbeda.

"Ikut aku." Suaranya sama sekali tidak terdengar ramah.

Pemuda itu berjalan menuju lift dan menunggu hingga pintunya terbuka. Kartu kamar ditempelkan di bagian di bawah tombol lift setelah mereka berdua masuk. Lampu penunjuk lantai naik dengan cepat dan berhenti di lantai tujuan, tempat Skylar menyewa kamar selama semalam.

Begitu mereka berdua masuk ke dalam kamar, pintu segera dikunci, dan Skylar menjadi gelap mata. Bayangan Racie pada gadis itu sama sekali tidak hilang, bahkan setelah dia berulang kali mengulang dalam kepalanya kalau gadis di depannya bukan Racie.

Tangannya yang kokoh langsung bergerak mencengkeram leher Mischa dan menciumnya dengan kasar, tidak memedulikan gadis itu yang meronta minta dilepaskan. Isi kepala Skylar bagaikan tersapu badai, kosong tak bersisa. Dia tak bisa berpikir jernih dan melakukan segalanya bagaikan lepas dari kendali otaknya. Dia tak tahu batas mana yang salah dan benar. Seakan-akan semua tindakannya didasari oleh amarah yang bergejolak dalam hatinya.

Mungkin Skylar memang suka memperlakukan para pelacur yang disewanya dengan seenak hati. Mungkin dia tidak pernah memedulikan bagaimana setiap pelacur itu merengek meminta sesuatu, namun Skylar tak pernah mengabulkannya. Tapi semuanya hanya sebatas itu. Dia tak pernah memperlakukan mereka dengan amat kasar, seperti sekarang.

Pakaian sudah berserakan di atas kasur maupun di atas karpet. Gerakannya bahkan sama sekali tidak berhenti ketika gadis di bawahnya terus meneteskan air mata dan memohon agar berhenti. Wajahnya jelas-jelas tidak terlihat menikmati, tapi Skylar sama sekali tidak berhenti.

Persetan dengan keadaan orang lain yang bukan dirinya. Gadis itu bukan siapa-siapanya, kenapa Skylar harus peduli dan mendengarkan rengekannya?

Lima belas menit berlalu, dan Skylar sudah selesai membasuh seluruh tubuhnya dan juga berpakaian. Dia meninggalkan uang di atas nakas di samping ranjang, lantas meninggalkan gadis yang masih berbaring meringkuk di atas kasur.

"Kau boleh tinggal sampai besok siang," katanya sebelum meninggalkan kamar.

Dia yakin gadis itu tidak akan bisa berjalan dengan baik setelah ini, sehingga mengatakan secara tersirat kalau Mischa bisa tidur dulu sampai kondisinya membaik. Meski berkata demikian, Skylar sama sekali tidak merasa bersalah atas perlakuannya. Alih-alih, dia masih merasakan urgensi untuk menggertakkan gigi dan mengepalkan tangannya erat-erat, mengutuk semesta sampai hari berganti.