Chereads / CEO's Beloved Doctor / Chapter 4 - Akhirnya Menemukan Kandidat yang Tepat

Chapter 4 - Akhirnya Menemukan Kandidat yang Tepat

Mobil Mercedes-Benz Maybach Exelero melaju kencang di perbukitan menuju Puncak Bogor. Di dalam sedan mewah hitam seharga 117 milyar rupiah itu, Bastian Dewandra sedang menyetir sendirian. Penampilannya rapi sekali. Setelah jas hitam yang melekat pas di setiap otot tubuhnya, rambut yang di potong rapi, anting perak di kedua telinga dan kacamata hitam merek Gucci menempel sempurna di hidungnya yang mancung.

Siapapun yang melihat Bastian tentu akan mengira ia seorang selebritis papan atas. Nyatanya ia bukan selebritis. Ia adalah cucu sekaligus calon CEO Dewandra Automotive Corp. Salah satu perusahaan mobil mewah yang disegani di benua Asia.

Bastian sedang terburu-buru. Ia sedang mempersiapkan diri datang ke rapat pemegang saham perusahaan. Malam ini akan menjadi saksi kejadian paling bersejarah dalam hidupnya. Ia akan segera dilantik menjadi CEO perusahaan sang kakek setelah 10 tahun membuktikan kerja kerasnya. Ia merasa sudah ditakdirkan menjadi CEO satu-satunya Dewandra Automotive Corp sejak lahir ke dunia.

Sambil menyetir ia sibuk menelpon asisten pribadinya, Adi. "Bagaimana keadaan di sana? Apa sudah ada pemegang saham yang hadir?"

"Belum ada, Tuan," katanya yakin. "Tuan bakal jadi orang pertama yang hadir di rapat ini."

"Bagus. Terus awasi dan beri kabar jika ada pemegang saham yang udah hadir," katanya lalu menutup telepon.

Time is flying never to return.

Itu adalah prinsip yang di pegang Bastian sejak kecil. Waktu selalu berjalan cepat dan tidak akan pernah kembali. Jadi pria sukses adalah pria yang mementingkan waktu dan selalu datang lebih dahulu sebelum orang lain.

Mobil Bastian berbelok di sebuah tikungan. Namun tiba-tiba ada mobil Mitsubishi Pajero mengikutinya dari belakang. Bastian melirik spion mobilnya. Tunggu, benda apa yang ada di moncong Pajero itu batinnya bertanya-tanya.

Ada sebuah lempengan logam runcing yang dipasang di moncong Pajero itu. Seperti sebuah pedang yang sengaja untuk membunuh kendaraan manapun yang berhasil di tabrak Pajero tersebut.

Bastian berusaha menghindari Pajero pembunuh itu. Ia memutar setirnya dan berbelok ke kanan. Awalnya Bastian kira ia berhasil menghindar tapi dugaannya salah total. Mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi. Kurang dari 10 meter lagi akan menabrak mobil sedan Bastian.

Sekitar 500 meter di depan, mata Bastian melihat jalan di perbukitan itu di tutup. Sepertinya jalan itu belum selesai di bangun. Tanpa punya pilihan, Bastian membanting setirnya ke kiri.

Sedetik kemudian yang Bastian ingat adalah mobilnya melompati pagar pembatas jalan, meluncur bebas ke jurang berbatu dan berguling-guling.

….

"Apakah aku sudah mati?"

"Apakah ini akhir hidupku?"

"Mungkinkah aku akan segera bertemu dengan ibu dan ayahku?"

Tubuh Bastian seakan melayang ke udara yang gelap dan dingin. Jiwanya seakan memudar di kegelapan malam. Tapi…

Mata Bastian sedikit terbuka. Sama-samar ia melihat seorang gadis berbaju putih memegang tangannya dengan wajah khawatir. Gadis itu sangat terang. Terang sekali sampai bisa menyinari kegelapan yang menyelimutinya.

"Kamu akan baik-baik saja. Aku janji," kata gadis terang itu.

Dalam keadaan antara ada dan tiada perasaan Bastian tiba-tiba merasa hangat dan aman. Seolah semua kegelapan dan ketakutan perlahan pudar. Dalam kegelapan ia tersenyum.

Inikah cahaya yang selama ini kucari di dunia?

….

Bastian membuka matanya perlahan. Bau obat-obatan menyeruak ke hidungnya. Ia juga mendengar suara alat monitor hemodinamik untuk mengukur denyut jantungnya berbunyi pelan.

Dimanakah aku, batinnya.

"Tuan, Anda udah bangun?" seorang pria berkacamata berada di sebelahnya. Itu Adi.

Pria bernama Adi itu langsung melompat kegirangan. "Tuan besar, lihat Tuan Bastian udah bangun," jeritnya bahagia.

Tuan besar yang dimaksud Adi adalah kakeknya. Sang kakek langsung menggenggam erat tangan Bastian.

"Bastian, bagaimana perasaanmu?" kata kakek dengan wajah lega.

"Kakek," Bastian hanya sanggup memanggil nama kakeknya.

"Adi, cepat panggil dokter. Bilang kalau Bastian sudah bangun," perintah kakek. Tanpa diperintah dua kali, Adi sudah berlari keluar ruang pemulihan dengan ceria.

….

Kirana dan Yudhistira langsung bergegas ke ruang pemulihan pasien kecelakaan mobil yang tiba di rumah sakit 3 hari lalu. Mereka berdua ingin memastikan apakah keadaan pasien membaik setelah bangun dari koma.

Ketika masuk ke ruang pemulihan, mata Kirana tidak bisa berkedip. Pasien yang kemarin ditolongnya sedang duduk santai di atas ranjang. Penampilan pasien itu sangat jauh berbeda dari pertama kali ia datang. Wajahnya sangat… tampan.

"Ini dia Dokter Kirana yang kakek ceritakan tadi," suara kakek membuyarkan lamunan Kirana. " Dokter ini yang mendonorkan darahnya untukmu."

Kirana tersipu malu. "Saya hanya menjalankan tugas sebagai dokter, Pak."

"Ah omong kosong," kata kakek tidak percaya. "Selama 80 tahun hidup aku belum pernah lihat seorang dokter yang rela mendonorkan darahnya untuk pasien. Coba kalau tidak ada Dokter Kirana, Bastian pasti udah mati."

Oh rupanya pasien ini bernama Bastian, batin Kirana.

"Terima kasih atas pujiannya, Pak," sahut Yudhistira. "Sebagai dokter, menyelamatkan nyawa adalah kewajiban utama kami."

"Saya tetap berterima kasih untuk semua pertolongan Dokter Kirana," kata Bastian tiba-tiba.

Kakek berkacak pinggang. "Terima kasih aja gak cukup. Kamu harus memberikan kartu namamu ke Dokter Kirana, Bas. Lagian kakek dengar dia masih single."

Kakek Bastian begitu blak-blakan. Kirana sampai malu setengah mati ketika si kakek bilang dirinya masih single.

Dengan setengah hati Bastian meminta Adi memberi Kirana kartu namanya. Kirana buru-buru memasukkannya ke dalam saku jas dokternya.

....

Setelah Bastian bangun dari koma, hati Kirana tidak tenang. Setiap berada di lantai 2 rumah sakit, kakek Bastian akan langsung memanggilnya. Bertanya bagaimana perkembangan kondisi cucunya, apakah Kirana mau mengecek kondisi cucunya lagi dan apakah Kirana tertarik pada Bastian.

Semua pertanyaan gila itu hanya bisa Kirana jawab dengan senyuman. Bingung harus menjawab apa. Kakek memperlakukan Kirana seolah dirinya adalah dokter pribadi yang khusus menangani cucu kesayangannya. Ditambah kakek selalu menyebutnya sebagai "kandidat yang tepat" untuk Bastian.

Sehari setelah Bastian sadar dari koma, Kirana berusaha menghindari lantai 2 rumah sakit. Ia berusaha menyibukkan diri dengan mengobati pasien kecelakaan motor, menjahit kepala pasien yang jatuh dari tangga, sesekali memeriksa kondisi kesehatan anak-anak di bangsal dan ikut mengoperasi pasien korban penembakan. Sibuk sekali jadwal Kirana hari ini.

"Dok, di UGD ada pasien korban petasan. Luka bakar di tangannya parah banget. Sepertinya kita harus mengamputasi salah satu jarinya," kata perawat yang membuyarkan istirahat malam Kirana.

"Oke oke. Tunggu aku akan segera ke…" tiba-tiba pandangan Kirana berubah hitam dan tubuhnya ambruk di lantai rumah sakit yang dingin.