Malam hari, di dalam kamar, Li Yun dan Rou Yi duduk menghadapi sebuah meja bersama Suro, diterangi lentera kamar yang cukup untuk membuat suasana ruang kamar itu terang.
"Kakak," Rou Yi berkata, "Apakah kakak serius ketika mengatakan akan kembali ke negeri China untuk mencari biksu itu?"
Suro menarik nafas berat, lalu memandang Rou Yi yang nampak khawatir ketika menunggu jawaban Suro.
Rou Yi tahu betul watak suaminya itu. Jika sudah berniat pergi demi keselamatan orang lain, meskipun nyawa yang menjadi taruhannya, ia akan melaksanakannya hingga terselesaikan. Itulah yang membuatnya khawatir.
Tetapi mendengar masukan dari orang-orang tadi pagi sedikit menenangkannya. Saat ini ia hanya menunggu jawaban yang sungguh-sungguh dari suaminya itu.
"Kenapa? Apakah adik Yi khawatir kakak akan pergi kembali?" tanyanya sambil tersenyum.
Kali ini Rou Yi yang menarik nafas panjang sambil memandang lentera dihadapannya yang terletak ditengah-tengah meja. Setelah itu ia mengangguk.
"Aku memang khawatir. Kondisi di sana tidak memungkinkan untuk kehidupan kita. Pemerintah pasti sedang mengincar kakak."
"Adik Li juga sepemikiran dengan Rou Yi," Li Yun menimpali, "Tetapi menurut adik Li, para biksu itu pasti tidak mengharapkan kedatangan kakak kesana. Mereka berharap ilmu beladiri Shao Lin harus terus hidup dan berkembang. Jika tidak memikirkan hal itu, biksu Ching So Yun pasti tetap akan bertahan di sana. Sementara, di sini kita juga harus memikirkan padepokan Cempaka Putih."
Suro mengangguk.
Sebenarnya hal yang memberatkan dirinya untuk kembali ke negeri China adalah ia merasa bersalah pada biara Shao Lin. Selama ia menjadi buronan Perwira Chou, kuil itu adalah tempatnya bersembunyi dari kejaran tentara kerajaan, dan itu sudah diketahui oleh Perwira Chou sendiri.
Karena kegagalan Perwira Chou untuk menangkapnya dan malah justeru ia sendiri yang tewas ditangan Suro, membuat pemerintah merasa sakit hati terhadap kuil Shao Lin yang telah menyembunyikan dirinya. Meskipun menurut penuturan Ching So Yun, ketidaksukaan pemerintah terhadap kuil Shao Lin dimulai semenjak runtuhnya Dinasti Ming.
Nasehat Seno juga mengingatkannya, kalau saat ini ia sudah mempunyai tanggung jawab sendiri yang tidak kalah besar. Ia sudah memiliki keluarga yang juga mempunyai hak atas dirinya.
"Apa yang adik Li dan adik Yi katakan benar," jawabnya kemudian sambil memandang kedua isterinya itu bergantian, "Kakak berkewajiban atas kalian dan kalian mempunyai hak pada kakak. Sangat berdosa jika kakak sampai mengabaikannya."
Mendengar jawaban Suro, Rou Yi tersenyum lega sambil menoleh ke arah Li Yun yang juga tersenyum.
"Sekarang, seperti yang adik Li katakan, yang harus kita fikirkan adalah ancaman orang-orang yang akan menghancurkan padepokan ini," sahut Li Yun.
Sekali lagi, Suro mengangguk.
Pada saat itu, terdengar suara Cheng Yu memanggil namanya dari luar dan membuat mereka buru-buru keluar.
"Apakah saatnya beristirahat?" Cheng Yu bertanya sambil menyungging senyuman.
Suro menggeleng, begitupun Li Yun dan Rou Yi.
"Oh, syukurlah," sahutnya cepat, "Jika adik Luo tidak merasa lelah, aku ingin mengobrol di gazebo. Ching So Yun dan Zhu Lie Xian juga sudah berada di sana."
"Boleh, memang belum masanya untuk beristirahat," jawabnya sambil melangkah keluar kamar.
Tak disangka, ternyata Li Yun dan Rou Yi mengikuti Suro dari belakang.
"Apakah kalian berdua ingin ikut berbincang-bincang dengan kami?" Cheng Yu bertanya.
Li Yun memandang Rou Yi sejenak, untuk kemudian menyahut, "Kami biasa mengobrol hingga larut malam."
Jawaban Li Yun membuat Cheng Yu menoleh pada Suro, seolah meminta pendapat.
Suro mengangguk dan tersenyum, "Sudah kebiasaan mereka dari dulu senang begadang."
"Kalau begitu, ayo kita mengobrol!" ajak Cheng Yu sambil menggerakkan kepalanya sebagai isyarat.
"Kakak, nanti adik Yi menyusul. Aku akan menyiapkan minuman untuk kalian," Rou Yi berkata, sambil kemudian berbalik ke arah dapur.
Di Gazebo, Ching So Yun dan Zhu Li Xian sudah berada didalamnya tengah terlibat obrolan. Melihat orang yang ditunggu telah tiba bersama Cheng Yu, mereka tersenyum.
"Selagi kita masih bisa bertemu, kami ingin memanfaatkan waktu ini untuk berbincang-bincang," Zhu Lie Xian berdiri menyambut kedatangan Suro bersama dua orang isterinya.
Mereka semua tertawa.
Suro sudah menceritakan semua perjalanannya dimulai sejak kedatangannya di tanah Jawa, sampai kemudian peristiwa penculikan Yang Li Yun.
Hingga kemudian terlontar ucapan dari Ching So Yun pada Suro, "Saudara Luo, berdasarkan semua yang sudah kau ceritakan, aliran Macan Hitam itu merupakan orang-orang yang ahli beladiri. Aku sendiri sudah pernah merasakan kemampuan mereka ketika menolong nona Li. Jadi kufikir, anda tak mungkin berjuang bersama saudara Seno menghadapi mereka. Aku berniat akan membantumu melawan mereka."
"Jangan juga lupakan aku," Zhu Lie Xian langsung menyahut, "Meskipun ilmu beladiriku tidak setangguh biksu Ching So Yun dan tuan Cheng Yu, aku juga ingin menjadi bagian dari kalian untuk melawan orang-orang Macan Hitam."
"Aku juga!" Cheng Yu langsung turut bersuara.
"Aku juga ikut!" Li Yun berseru.
"Tidak!" spontan para lelaki yang ada dalam Gazebo menyahut, pandangan mereka semua langsung tertuju pada Yang Li Yun.
"Adik tinggal di sini menjaga padepokan!" ucap Cheng Yu.
"Mengapa tidak boleh? Meskipun perempuan, aku juga menguasai kungfu. Jumlah mereka sangat banyak dan paling tidak kehadiranku bisa sedikit mengimbangi jumlah mereka!" Li Yun protes dan nampak kecewa ketika mereka menolaknya.
Suro tertawa geli, ingatannya langsung kembali ke masa silam ketika Li Yun memaksa ikut menjemput ayahnya. Meskipun dilarang, nyatanya gadis itu tetap nekad menyusulnya sendirian.
"Adik Li," Suro berkata, "Tidakkah adik belajar dari masa lalu?"
Li Yun menunduk dengan wajah cemberut.
Kalimat Suro langsung mengantarkannya pada peristiwa yang tak bakal pernah hilang dari ingatannya. Jika waktu itu ia mendengar dan mengikuti apa kata ibu dan kakaknya, semua tragedi itu tak akan pernah terjadi. Ia sungguh menyesal setelah itu.
Tangan Suro langsung meraih pundak Li Yun dan merapatkannya dibahunya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Li Yun begitu kalimatnya dirasa telah mengungkit rasa bersalah perasaannya. Ia melakukannya sambil tertawa.
"Anak yang keras kepala," katanya, "Tetapi....mampu membuatku bahagia!"
Setelah itu, Li Yun tak lagi bersuara tetapi wajahnya langsung berubah senang, ia seperti menikmati kehangatan rangkulan Suro.
Tak lama, Rou Yi tiba dengan membawa minuman, setelah menghidangkannya, ia langsung duduk disamping Suro disisi yang lain.
Suro kemudian memandang Ching So Yun, "Aku sangat berterima kasih atas bantuan anda. Memang aku sangat mengharapkan bantuan dari orang lain yang sekiranya mampu untuk melawan orang dari Perguruan Macan Hitam. Sebab, aku belum memiliki murid yang ahli beladiri mumpuni."
"Apakah kita akan menyerbu ke tempat mereka?" Cheng Yu berkata.
Suro menggeleng, "Sementara kita menunggu. Aku yakin kalau mereka yang akan datang kemari."
Yang lain mengangguk-angguk.
"Tak mungkin kita menyerang kesana, sama saja mencari mati. Tetapi, menunggu diserang juga suatu hal yang keliru. Santri yang kami miliki hanya 5 orang, dan cuma 1 orang yang bisa bertarung meskipun belum mahir," Suro melanjutkan pendapatnya.
Mendengar penjelasan Suro, mereka semua nampak berfikir.
Para petarung yang dimiliki oleh perguruan Macan Hitam jumlahnya tidak bisa diketahui secara pasti. Namun, diperkirakan mereka memiliki minimal 100 orang murid yang pandai bertarung.
"Kakak," Rou Yi berkata, "Mendengar pembicaraan kalian, tidak ada kemungkinan bagi kita untuk melakukan perlawanan, baik menyerang maupun bertahan. Apakah kita mesti bersembunyi dahulu untuk menyiapkan para murid sampai mereka bisa diandalkan?"
Suro tersenyum mendengar ucapan isteri keduanya itu, lalu menggeleng, "Bersembunyi sama saja membiarkan mereka kembali menghancurkan apa yang sudah kita bangun."
Rou Yi mengangguk-angguk, ia baru menyadari ucapan Suro.
"Adik Luo. Jika kita bisa menaklukan pimpinannya langsung, bagaimana? Kita tak perlu lagi buang-buang tenaga menghadapi murid-muridnya," kata Cheng Yu.
Suro terdiam, keningnya berkerut memikirkan ucapan Cheng Yu.
Diamnya Suro membuat mereka semua tak bersuara agar tak mengganggunya. Mereka tahu kalau pemuda itu sedang berfikir.
Pendapat Cheng Yu bisa saja dilakukan, tinggal bagaimana caranya. Cara ini seperti waktu Suro menaklukkan bajak laut. Barangkali, Cheng Yu mengambil pelajaran dari penaklukannya waktu itu.
"Assalamu'alaikum!"
Satu suara ucapan salam tiba-tiba terdengar disusul kemudian kemunculan sosok tubuh Seno berjalan ke arah mereka berembuk.
"Wa'alaikum salam!" Suro menyahut.
Mereka semua berdiri menyambut kedatangan Seno.
Setelah mengambil posisi duduk diantara mereka, Seno berkata sambil menyungging senyuman, "Sepertinya aku ketinggalan berita."
"Tidak," Cheng Yu menjawab sambil tersenyum, "Kami baru saja mulai. Lihat, teh kami masih hangat dan utuh."
Mendengar itu, Seno mengangguk-angguk sambil terkekeh.
"Kami sedang memikirkan rencana, apakah akan menyerang atau menunggu. Barangkali kakang bisa memberi masukan?" Suro berkata.
Sekali lagi, Seno mengangguk-angguk. Kemudian tatapan matanya bergiliran memandang Li Yun dan Rou Yi.
"Yang pertama, sepertinya adik Li dan adik Yi harus kita ungsikan bersama dengan bibi Nan Yu beserta para murid lainnya. Sementara padepokan ini ditutup terlebih dahulu," ucap Seno.
***
Wulung terlihat sakit hati mendapati apa yag sudah direncanakannnya gagal total. Ditambah lagi satu orang anak buahnya yang menjadi korban pulang dengan kepala bocor.
Saking sakit hatinya, ia menjadi semakin emosional hingga tak ada satu pun dari anak buahnya yang datang menghadap berani bicara.
Wiro, orang kepercayaannya pun demikian. Biasanya, ia yang paling berani memberi masukan. Namun kali ini Wiro hanya bisa diam.
Dari laporan yang disampaikan oleh para murid tingkat lima yang diberi perintah untuk menculik gadis dari Padepokan Cempaka Putih, kegagalannya disebabkan oleh kemunculan tiga orang asing yang berilmu tinggi.
Laporan itu kemudian menjadikan kesimpulan menjadi lebih terang, bahwa disaat mereka membumi hanguskan padepokan Cempaka Putih, ternyata masih ada satu orang yang selamat dari peristiwa itu. Satu orang itulah yang bernama Suro.
Suro kemudian entah bagaimana kisahnya, bertualang ke negeri China hingga bertahun-tahun, lalu menjalin hubungan dengan para pendekar yang akhirnya sekarang datang ke tanah Jawa.
Inilah sebenarnya yang menjadi sebab Wulung menjadi sakit hati atas kegagalannya. Untuk melawan Suro saja, ia cukup kerepotan, padahal Suro belum mempunyai murid yang mumpuni dalam padepokan yang didirikannya.
Kini, kehadiran tiga orang asing itu pastinya tidak akan tinggal diam jika ia menyerang padepokan Cempaka Putih yang dipimpin oleh Suro.
"Apa pendapatmu, Wiro?" akhirnya Wulung berkata meminta pendapat dari bawahannya itu.
Wiro akhirnya berani mengangkat kepalanya, "Kita mempunyai banyak murid dari berbagai tingkatan. Sementara, padepokan Cempaka Putih tidak ada murid yang bisa diandalkan selain 3 orang asing itu. Menurut pendapatku, jika kita melakukan serangan ke sana dengan kekuatan penuh, pastilah kita bisa menghancurkannya dengan mudah. Dari ketiga orang asing itu, menurut para murid kita, orang berkepala gundul itu memiliki kemampuan beladiri yang paling tinggi. Murid tingkat 5 bisa kita andalkan untuk melawannya, sementara aku bersama saudara tingkat 6, serta kakang Wulung sendiri bisa menghadapi Suro."
Wulung terlihat manggut-manggut mendengar penjelasan Wiro.
"Apakah aku juga musti ikut?" tanyanya.
Wiro terdiam sejenak sebelum menjawab, wajahnya terlihat ragu.
"Jika kakang mempercayakan semuanya pada kami, kurasa kakang tak perlu ikut," jawabnya kemudian.
"Apa kamu lupa apa yang disampaikan oleh Kelud tempo hari? Kekuatannya bisa jadi lebih tinggi dari gurunya," Wulung langsung berkata selepas Wiro selesai menyampaikan kalimatnya.
Lelaki itu tersenyum, "Satu orang melawan puluhan murid Macan Hitam tingkat 6?"
"Hmmm..." Wulung tak berkalimat. Ia bisa membaca arti senyuman Wiro dengan pertanyaan baliknya.
Wiro pun tersenyum sinis, dari matanya seperti membayangkan sedang mengeroyok Suro bersama rekan-rekannya, seolah meremehkan.