Chereads / Pendekar Lembah Damai / Chapter 104 - Aku Ingin Kembali ke China!

Chapter 104 - Aku Ingin Kembali ke China!

Ketika Li Yun membuka mata, dirinya sudah berada di atas pembaringan yang empuk dalam kamarnya di Padepokan Cempaka Putih. Ia terbangun ketika telinganya menangkap suara benda berdenting beberapa kali. Ia sangat mengenali suara itu, suara cawan yang beradu dengan benda pengaduknya.

Apa yang difikirkannya benar, seseorang sedang mengaduk sesuatu. Ketika ia menolehkan kepala, dilihatnya Rou Yi duduk menghadap meja sambil mengaduk-aduk sesuatu dalam cawan.

Mendengar ada suara pergerakan dari tubuh Li Yun yang berada dibelakangnya, Rou Yi langsung menoleh ke belakang. Melihat Li Yun sadar, ia bergegas mendatangi gadis itu dan duduk di tepi pembaringan.

Ditangannya ia menggenggam cawan berisi cairan obat.

"Alhamdulillah," ia berucap syukur, "Akhirnya kau bisa selamat. Kami semua sangat mengkhawatirkanmu."

Li Yun tersenyum. Sekarang wajahnya sudah terlihat lebih cerah.

"Apakah masih pusing?" Rou Yi bertanya kembali.

Li Yun menggeleng, "Sudah tidak pusing lagi. Tinggal badanku saja yang rasanya sakit semua."

Sambil mengatakan itu, Li Yun merubah posisi tubuhnya menjadi setengah duduk. Perjalanan di atas kuda dengan posisi yang tidak semestinya pastilah terasa sangat menyiksa. Dan saat ini gadis itu mengalaminya.

Rou Yi menyerahkan cawan yang ia genggam pada Li Yun dan disambut oleh gadis itu. Karena tahu bahwa yang diberikan padanya adalah tanaman obat, tanpa bertanya lagi ia langsung meminumnya habis.

"Apakah keadaan di padepokan tidak ada masalah?" tanya Li Yun.

"Tidak ada. Berjalan seperti biasanya. Sepertinya targetnya adalah dirimu. Makanya ketika mereka berhasil menculikmu, tak ada lagi pengacau yang datang. Aku sungguh takut sekali dan kehilangan konsentrasi dalam pelayanan kepada masyarakat," jawab Rou Yi.

Li Yun mengangguk-angguk, lalu kemudian teringat pada Cheng yu dan yang lainnya.

"Oh, ya. Dimana kakak?" tanyanya.

"Mereka sedang berkumpul di ruang makan," jawab Rou Yi.

"Aku ingin ke sana," pinta Li Yun sambil mencoba menurunkan kakinya dari pembaringan dibantu Rou Yi.

"Boleh, kita makan bersama mereka," jawab Rou Yi.

Li Yun mengangguk. Begitu Rou Yi menyebut kata makan, barulah ia sadar kalau ia lapar.

***

Ketika Li Yun datang bersama Rou Yi, mereka sudah berkumpul di ruang makan.

Kedatangan Li Yun langsung disambut oleh Suro dengan mendatanginya dan meggiringnya duduk di sisi kursinya, sedangkan Rou Yi duduk di sisi Suro yang lain.

"Bagaimana keadaanmu, Adik Li?" Cheng Yu bertanya.

Lelaki itu merasa gembira melihat wajah Li Yun yang sudah terlihat lebih cerah dari sebelumnya.

Li Yun tersenyum, "Alhamdulillah kakak Cheng, sudah jauh lebih enakan. Hanya badanku yang masih terasa pegal-pegal,"

Cheng Yu memandang Li Yun dengan senyuman lebar, "Wah, bahasa Jawamu semakin lancar."

Li Yun menanggapinya dengan tersenyum sebelum membalas ucapan Cheng Yu.

"Bagaimana tidak lancar, setiap hari kami disini melayani orang-orang yang datang dan berkomunikasi dengan bahasa mereka."

Lelaki itu manggut-manggut sambil tetap menyungging senyum.

"Ayo, kita makan dulu," Suro memotong pembicaraan sambil memberi isyarat dengan tangannya, "Hari ini adik Yi sudah membuat masakan khusus untuk Kakak Cheng Yu."

Rou Yi tersenyum, lalu pandangannya mengarah pada biksu Ching So Yun, "Mengingat anda tidak makan daging, aku juga memasak banyak sayuran untukmu. Hasil panen dari kebun sendiri."

Ching So Yun menunduk hormat, "Aku yakin masakan nona Rou Yi sangat enak. Aku ingat waktu di kuil Shao Lin, anda memasakkan untuk para biksu."

Rou Yi merasa dipuji, tetapi ia menyembunyikan senangnya dengan senyuman tanpa menjawab.

Di bantu Huang Nan Yu, mereka menghidangkannya pada masing-masing orang.

***

Di ruang tamu, semua orang sudah berkumpul dan terlibat percakapan yang santai. Aura kegembiraan menyelimuti ruangan itu efek dari selamatnya Yang Li Yun dari penculikan dan pertemuan orang-orang yang lama tidak bertemu.

"Aku belum tahu cerita, bagaimana saudara Ching So Yun bisa sampai ke tanah Jawa ini sendirian tanpa saudara yang lain?" dalam satu kesempatan pembicaraan, Suro bertanya pada Ching So Yun.

Ketika Suro menanyakan itu, wajah Ching So Yun langsung berubah sedih. Ia menarik nafas dalam, dan menundukkan kepalanya cukup lama.

Melihat raut wajah biksu pelatih senior menunjukkan kesedihan, Suro merasa ada sesuatu yang buruk telah terjadi. Ia memutuskan untuk menunggu penjelasan tanpa bertanya kembali.

Ketika biksu itu mengangkat kepalanya, mereka yang ada di ruang tamu itu bisa melihat mata Ching So Yun sudah berkaca-kaca, bibirnya juga terlihat bergetar.

Sesaat sebelum Biksu itu menjawab, Cheng Yu mengangkat tangannya untuk menyela sambil berkata.

"Biar aku saja yang bercerita," katanya, "Berhubung disini ada tuan Seno, aku akan berbicara dengan bahasa yang bisa dimengerti olehnya."

Seno langsung tersenyum mendengar namanya disebut.

"Saya lebih senang jika saudara Cheng memanggil namaku saja. Atau karena usia anda lebih tua, panggil saja dengan sebutan yang sama ketika anda memanggil Suro," sahutnya.

Cheng Yu tersenyum, "Baiklah, kalau begitu adik Seno bisa juga memanggilku dengan kakak. Karena adik Luo juga memanggilku kakak."

Seno mengangguk tanda sepakat, lalu membiarkan Cheng Yu untuk berbicara.

"Sebenarnya, telah terjadi pembakaran kuil Shaolin oleh pasukan pemerintah sepeninggal adik Suro beberapa bulan kemudian...."

Kalimat Cheng Yu membuat orang yang baru mendengar berita itu langsung terperanjat, lebih-lebih Suro. Sebab, ia yang paling mempunyai ikatan emosional dengan para biksu kuil Shaolin. Baginya, kuil Shaolin sudah dianggap seperti kediamannya sendiri.

Cheng Yu menceritakan kembali apa yang pernah diceritakan biksu Ching So Yun padanya, bahwa semua kejadian berawal dari adanya tuduhan penguasa Dinasti Qing terhadap kuil Shaolin.

Pemerintah mengatakan kalau di dalam Kuil Shao Lin banyak para pemberontak yang bersembunyi dan menyamarkan identitasnya sebagai biksu, serta menuduh kuil Shao Lin sebagai pusat gerakan para pemberontak untuk melawan Dinasti Qing Manchuria.

Beberapa kali mereka mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh tiga perwira berkungfu tinggi untuk menghancurkan kuil Shao Lin, namun serangan itu selalu menemui kegagalan.

Setelah berhasil berhubungan dengan para mata-mata yang mereka susupkan dalam kuil Shao Lin sebagai biksu, para penyusup itu kemudian memberi racun pada makanan para Biksu.

Pada saat itulah, para prajurit pemerintah dengan meminta bantuan para pendekar dari Tibet melakukan penyerangan kembali kuil Shao Lin. Tentu saja dalam kondisi lemah karena keracunan, para biksu tak dapat melakukan perlawanan hingga pasukan pemerintah membakar seluruh bangunan kuil bersama isinya.

"Ratusan orang calon biksu dan biksu mati terbakar," Cheng Yu menutup akhir ceritanya.

Saat itu ia melihat tubuh Suro gemetar, mulutnya terkatup rapat seperti menahan emosi yang akan meledak. Wajahnya pun terlihat memerah.

"Lalu bagaimana dengan biksu Hang Se Yu dan Yung Se Kuan?" tanya Suro dengan suara tertekan.

"Mereka berhasil melarikan diri secara terpisah, ke utara dan selatan untuk memecah perhatian tentara Manchu. Hingga Ching So Yun datang menemuiku, tak ada lagi kabar dari mereka. Maka, kusarankan agar dia ikut bersamaku menyeberang ke Pulau Jawa ini," jawabnya.

Suasana mendadak menjadi hening. Tampak sekali kalau Suro merasa sangat tertekan mendengar pembakaran kuil Shao Lin, seolah apa yang terjadi pada kuil itu merupakan imbas dari pelariannya sebagai buronan tentara Manchuria karena ia telah membunuh seorang aparat pemerintah.

"Saudara Luo," Ching So Yun berkata memecah suasana. Ia melihat Suro seperti orang yang merasa bersalah, "Anda tidak sepatutnya menyalahkan diri dan menganggap semua ini terjadi karenamu. Ada ketakutan berlebihan pada dinasti sekarang terhadap kemajuan kuil Shaolin. Engkau terlibat atau tidak, hasilnya sama saja. Tujuan mereka memang hendak menghancurkan kuil Shaolin."

Suro memandang berkeliling dan menatap satu persatu wajah tamunya yang datang dari negeri jauh itu.

Setelah menarik nafas panjang dan dalam, ia berkata, "Setelah urusanku di sini selesai, aku akan kembali ke negeri China mencari biksu Hang Se Yu dan Yung Se Kuan untuk kubawa kemari."

"Jangan!" Ching So Yun langsung berkata, "Jangan ikuti emosimu. Pergi ke sana sama saja dengan mengantar nyawa. Namamu sudah masuk dalam daftar pencarian mereka, dan pemerintah pasti sudah menunggumu untuk dihukum jika kembali dan tertangkap terkait dengan pembunuhan salah satu petinggi mereka olehmu. Aku percaya, dua saudaraku itu pasti bisa menjaga diri dan berharap agar kau tidak muncul di sana."

Sekali lagi Suro terdiam. Ia masih merasa sebagai penyebab terbakarnya kuil Shaolin dan membuatnya begitu sangat bersalah, meskipun Ching So Yun sudah mengatakan kalau itu bukanlah kesalahannya.

"Dimas," Seno angkat bicara begitu melihat Suro gelisah menahan amarahnya, "Walaupun bisa dikata kau mempunyai ikatan emosional yang erat, dengan kembali ke negeri China tidak akan menolong saudara-saudara biksu yang masih hidup. Aku yakin, mereka adalah para ksatria yang tahu niat baikmu, mengingat mereka sudah sangat mengenalmu, pasti tidak berharap dimas datang kembali kesana. Bukankah harapan mereka juga sama, berharap ketika dimas sebagai buronan, mereka berjuang mencarikan jalan supaya dimas bisa pulang ke tanah Jawa bukan mempertahankanmu tinggal di Negeri China?"

Seno bisa memberikan pendapatnya karena hampir semua kisah perjalanan Suro sudah diceritakan kepadanya, termasuk hubungannya dengan para biksu Shao Lin.

Melihat Seno berbicara begitu serius pada Suro, Ching So Yun nampaknya ingin tahu apa yang dikatakan saudara seperguruan Suro itu sehingga ia meminta Cheng Yu untuk menterjemahkan padanya.

"Ingat juga, saat ini dimas bukan seorang petualang lagi. Ada tanggung jawab baru yang tak mungkin kau tinggalkan; padepokan, Li Yun, Rou Yi, dan bibi Nan Yu." Seno melanjutkan sambil memandang satu persatu Li Yun, Rou Yi dan Huang Nan Yu.

"Kakak," tiba-tiba Li Yun tersenyum sambil menoleh ke arah Suro, "Apakah kakak masih merasa sendiri saat ini?"

Suro tak menjawab dan hanya tersenyum, Li Yun bermaksud menggodanya dengan mengatakan seolah-olah ia lupa akan isteri-isterinya itu.

"Kami berpisah juga mempunyai tujuan untuk membawa ajaran kuil Shao Lin, jadi anda tak perlu resah memikirkan kami," Ching So Yun berkata dan mencoba membuat Suro agar tidak merasa apa yang terjadi adalah karenanya.

Kalimat itu membuat Suro menunduk, lalu menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya panjang. Setelah itu ia kembali tersenyum memandang semua yang hadir di situ.

"Baiklah," katanya, "Ku pikir saatnya kita untuk terus bergerak menghadapi apa yang akan kita lakukan saat ini dan kedepannya."

Akhirnya mereka pun tersenyum.

"Hei, adik Li," tiba-tiba Cheng Yu berkata, "Sebaiknya kau beristirahat saja dulu untuk memulihkan kondisimu."

Li Yun menggeleng, "Aku sudah tidak apa-apa, justeru harus banyak bergerak agar rasa pegal disekujur tubuhku bisa segera hilang."

"Sebenarnya apa yang terjadi saat itu?" Suro bertanya, ia baru terfikir untuk menanyakan kronologis yang menimpa isterinya itu.

Gadis itu terlihat sedang mengingat-ingat apa yang telah terjadi sebelum ia pingsan.

"Waktu itu ada sekitar sepuluh orang yang mengepungku, dan tiba-tiba saja aku kehilangan kesadaran tak lama setelah aku merasakan sebuah benda kecil menancap dipundakku. Kurasa itu adalah jarum yang dibubuhi racun," paparnya, "Sungguh itu membuatku sakit hati!"

Semua orang bisa memandang raut wajah Yang Li Yun berubah geram dan mengatupkan bibirnya ketika ia mengucapkan kalimat terakhirnya.

"Sakit hati?" tanya Suro keheranan.

"Kenapa sakit hati?" Cheng Yu ikut bertanya.

Li Yun mengepalkan kedua tangannya, tatapan matanya seperti sedang menyaksikan saat peristiwa itu terjadi.

"Aku benci dikalahkan tanpa bertarung!" katanya.

"Wah!" seruan terdengar dari mulut masing-masing dan sama-sama tersenyum

"Benar-benar tukang kelahi!" Cheng Yu berujar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Mendengar Cheng Yu mengatakan kalimat yang entah itu pujian atau sindiran, Rou Yi tak dapat lagi menahan diri untuk tertawa sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Li Yun sudah menduga, ketika Cheng Yu berkata seperti itu akan membuat Rou Yi tertawa. Makanya ia langsung menoleh ke arah Rou Yi yang memang sedang tertawa dibalik kedua tangannya yang ditangkupkan untuk menutup mulutnya.