Menjelang Sore beberapa hari kemudian di Padepokan Cempaka Putih, penduduk yang datang berobat tersisa beberapa orang lagi menunggu antrian.
Di saat itu, dua orang lelaki bertampang sangar dengan bersenjata golok terselip di pinggang datang dan mulai melangkah masuk ke dalam ruang pengobatan. Pintu ruang pengobatan yang tertutup, membuat keduanya terdiam sejenak, kakinya terangkat hendak mendobraknya dengan kakinya itu.
"Hei!" satu suara terdengar menghentikan gerakan kaki lelaki itu.
Salah satu remaja murid Suro yang kebetulan berkeliaran ditempat itu langsung berlari dan berdiri menghalanginya di depan pintu ruang pengobatan.
"Minggir kau anak kecil!" salah satunya membentak.
"Maaf, bapak!" katanya dengan suara kasar, ia tahu kalau yang dihadapinya itu juga orang yang kasar dan tak tahu sopan santun, maka tak ada gunanya ia berlaku sopan, "Bapak sangat kasar dan tak tahu adat.
Murid Suro itu berusia sekitar 15 tahun, merupakan murid tertua diantara murid lainnya yang masih berjumlah 5 orang. Namanya Ranu.
Ketika menghalangi aksi kedua lelaki yang baru datang itu, wajahnya tampak tenang tanpa rasa takut.
"Jangan dikira kalau aku tak bisa membunuh anak-anak. Aku sudah terbiasa membantai anak yang lebih muda darimu!" salah satunya berkata,
Lelaki yang barusan berkata mengancam tadi bernama Siwo dan lelaki lainnya bernama Kelud. Merekalah yang diperintahkan oleh Wulung untuk berbuat keributan di padepokan Cempaka Putih.
"Bapak," Ranu berkata dengan tenang dan datar, "Jangan dikira juga kalau aku takut dengan ancamanmu. Mesksipun mati, tak ada beban buatku!"
Jawaban Ranu membuat keduanya nampak kaget. Ranu yang sudah yatim piatu jelas saja mengatakannya tanpa beban. Siapa yang akan kehilangan dirinya jika ia tewas. Justru ia merasa sangat terhormat jika bisa mati membela tempat ia bernaung dan menimba ilmu.
Kelud mendengus, tangannya bergerak menyibak tubuh Ranu, berniat hendak menyingkirkan anak remaja itu.
Tak disangka, tangan Kelud yang bergerak menyentuh tubuh Ranu malah ditangkap oleh Ranu, lalu dipelintir dengan satu tangan dan tangan lainnya melakukan gerakan mendorong, sementara kakinya bergerak menyapu kaki Kelud.
Buk!
Tubuh Kelud tahu-tahu sudah terbanting di tanah tanpa perlawanan.
Orang-orang yang tersisa yang menyaksikan kejadian itu langsung membubarkan diri, khawatir akan terimbas pada mereka. Dan dalam sekejap, ruang tunggu itu menjadi kosong.
"Kurang ajar!" Siwo memaki Ranu, lalu kakinya bergerak menendang tubuh Ranu.
Secara refleks, Ranu mengangkat tangannya membuat tangkisan menepis. Tapi tak disangka, tendangan Siwo cukup kuat hingga membuat tubuhnya terlempar dan menghantam dinding bangunan bagian luar ruang pengobatan.
Begitu tubuhnya menghantam dinding, Ranu langsung melompat ketempat yang lebih lapang, lalu membuka kaki dan tangannya sebagai sikap siap tempur.
Setelah membantu Kelud untuk bangkit, Siwo mengarahkan jari telunjuknya pada Siwo dengan pandangan marah.
"Kamu ini! Memang cari mati!" bentaknya.
Ketika ia hendak maju mendatangi Ranu, tangan Kelud menahannya.
"Biar aku saja. Aku mau membalas perbuatannya barusan!" ucap Kelud dengan wajah merah karena telah berhasil dibanting dengan telak oleh Ranu.
Ranu tersenyum sinis, sedikit mendengus, ia berkata, "Maju sini!"
Kelud makin marah, ia melompat jauh dan mendarat tepat pada jarak serang Ranu.
Begitu tubuh Kelud tepat didepannya, Ranu langsung mengayunkan kakinya untuk menendang.
Wut!
Kibasan kaki Ranu yang bergerak cepat menimbulkan suara. Kelud menepisnya dengan satu tangan, lalu tangan lainnya menyerang membentuk pukulan.
Ranu memiringkan kepalanya hingga serangan pukulan Kelud lewat di sisi telinganya. Tak berhenti disitu, Kelud mengayunkan tangan lainnya yang tadi menepis dari bawah ke atas menyasar perut.
Setelah Ranu berhasil menyilangkan tangannya, ia menyorongkan kepalanya ke arah hidung Kelud yang kemudian berhasil ditahan oleh Kelud.
Pertarungan berjalan tak lama ketika satu tusukan jari tangan Kelud berhasil telak menghantam ulu hati Ranu dan membuatnya langsung jatuh tersungkur ke tanah.
Belum selesai, satu sepakan keras menghantam kepala Ranu. Ranu sempat mengangkat tangannya untuk membendung sepakan kaki Kelud, tapi sayang, saking kerasnya tetap saja membuat tubuhnya terlempar ke belakang.
Lelaki itu nampaknya masih emosi karena Ranu telah berhasil membuatnya jatuh terbanting dengan sekali gerakan. Oleh karena itu, ketika tubuh Ranu tergeletak, ia mengejarnya lalu melompat ke udara sambil melipat lututnya sebagai alat menyerang perut Ranu.
Belum sampai lutut kaki Kelud pada sasaran, sebuah hantaman badan dari sisi lain memapas gerakannya dan membuat tubuhnya terlempar bersama tubuh orang yang menghantamnya.
Ia begitu terkejut begitu tahu kalau yang menggagalkan serangannya adalah seorang anak berusia lebih muda dari Ranu. Tak hanya disitu, masih ada lagi beberapa sosok anak lainnya dalam posisi bersiap menyerang.
"Heh! Anak-anak mau ikut campur urusan orang tua! Sana pergi, jangan main-main disini!" Siwo mendatangi posisi Kelud dan membantunya kembali untuk bangkit.
"Kalianlah yang seharusnya pergi dari sini! Ini rumah kami!" berkata anak yang tadi melempar tubuhnya untuk memapas serangan Kelud pada Ranu. Anak ini bernama Danu. Usianya sekitar 11 atau 12 tahunan.
"Sana pergi!"
"Jangan buat masalah di sini!"
Terdengar suara murid-murid Suro berteriak mengusir Siwo dan Kelud.
Pada saat itu, pintu ruang pengobatan terbuka, dan Rou Yi muncul dari dalam ruangan itu. Ia langsung terkejut ketika melihat para murid Suro sedang berdiri mengelilingi dua orang lelaki asing yang terlihat tidak baik.
Apalagi ketika melihat Ranu sedang dalam posisi berguling ditanah dan nampak kesakitan memegang perutnya.
"Ada apa?" tanyanya panik.
Semua mata terarah padanya, apalagi Siwo dan Kelud. Begitu melihat kecantikan Rou Yi dan mendengar suaranya yang lembut meskipun terdengar berteriak, membuat mereka terkagum-kagum.
Ranu yang melihat Rou Yi keluar dari balik ruang pengobatan langsung mengibas-ngibaskan tangannya pada Rou Yi sebagai isyarat agar gadis itu masuk ke dalam.
"Kakak Yi, masuklah! Masuklah! Jangan keluar!" Ranu berseru dengan suara menahan sakit.
Kelud dan Siwo buru-buru melangkah mengejar Rou Yi ketika Rou Yi langsung menutup pintu begitu melihat seruan Ranu, para murid Suro langsung menarik pakaian Kelud dan Siwo, berusaha menahannya untuk mencapai pintu.
Siwo dan Kelud langsung melakukan gerak memutar pada tangan dan kakinya, anak-anak yang mengereyoknya terlempar ke beberapa penjuru dan berjatuhan ke tanah.
Siwo dan Kelud berhasil mendobrak pintu dan membuat pintu hancur berantakan. Baru saja tubuhnya masuk ke dalam ruang pengobatan, sekejap kemudian tubuh keduanya terlempar keluar kembali beberapa tombak dari pintu dan berguling di tanah.
Dari dalam ruangan, tubuh Suro nampak keluar dengan tenang membuat Ranu dan murid lainnya berseru.
"Kakak Suro!"
Perlahan, Suro memperhatikan kondisi para murid yang masih berjatuhan di tanah. Begitu melihat kondisi Ranu paling parah, ia pun mendatangi remaja itu.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya sambil memeriksa luka di tubuh Ranu.
Ranu menggeleng, tetapi dari mulutnya terdengar sedikit desis kesakitan. Dari hidungnya mengalir darah segar.
"Masyaallah," Suro sedikit kaget.
Kemudian ia memandang para murid yang sudah berdiri disampingnya. Sambil membantu Ranu berdiri, ia berkata pada anak muridnya, "Antar ke dalam biar diobati oleh Kakak Yi dan kakak Li. Katakan pada mereka agar tidak perlu keluar."
"Iya kakak!" semuanya kompak menyahut, lalu membantu Ranu berjalan memasuki ruang pengobatan.
Setelah tubuh murid-muridnya menghilang dari pandangannya, Suro mengarahkan kepalanya pada Siwo dan Kelud yang sudah bersiap dengan goloknya masing-masing. Tatapan matanya yang tenang dan senyumnya yang mengembang menghiasi raut wajahnya.
Siwo dan Kelud merasakan dirinya begitu tertekan dengan pandangan mata Suro. Apalagi jika mengingat dari cara pemuda itu membuat tubuh mereka berdua terlempar menunjukkan kalau yang akan menjadi lawannya kali ini benar-benar ahli beladiri berpengalaman.
Golok ditangan mereka berdua pun seperti tak mampu membuat mereka sendiri percaya diri untuk menghadapi pemuda itu.
"Apa tujuan tuan-tuan berdua ini datang kemari? Sepertinya memang sengaja untuk berbuat onar?" tanya Suro dengan suara datar.
Sesaat sebelum menjawab, mereka berdua saling pandang, berharap salah satunya akan membuka suara.
Akhirnya, Kelud yang duluan berkata, ia berusaha membuat nada suaranya terdengar biasa, "Siapa sebenarnya kamu ini? Apakah kamu yang mendirikan padepokan ini?"
"Iya, memang benar. Aku yang mendirikan padepokan ini," jawab Suro, "Tuan belum menjawab pertanyaan saya. Apa tujuan tuan berdua datang kemari?"
"Kami memang bertujuan untuk membubarkan padepokan ini!" akhirnya Siwo berkata terus terang.
Suro menaikkan alisnya heran, "Buat apa? Apakah padepokan ini bermasalah dengan tuan atau perkumpulan tuan?"
Siwo mendengus, "Siapapun tidak boleh mendirikan perguruan di tanah Jawa ini. Kalau tidak, pasti akan kami hancurkan!"
Mendengar jawaban Siwo, pemuda itu terdiam sesaat. Ia berfikiran tidak mungkin dua orang ini berani datang tanpa ada seseorang dibelakangnya. Dan ia mulai curiga, kalau-kalau mereka ini adalah utusan dari seseorang.
"Selama ini tak ada yang bisa menghancurkan padepokan ini. Apalagi hanya kalian berdua!" Suro sengaja berkata sombong. Ia ingin tahu apa tanggapan dari dua orang lelaki dihadapannya itu.
Mendengar ucapan Suro, mereka berdua saling pandang lalu kemudian tertawa.
"Ha.ha.ha.... Jangan sombong anak muda!" berkata Kelud, "Kami dulu pernah membumi hanguskan tempat ini, rata dengan tanah berikut orang-orang yang berada didalamnya!"
Dalam hati, Suro terkejut tetapi juga senang. Ucapan jebakannya akhirnya memberinya jawaban sesuai dengan apa yang disangkanya.
Artinya, kedua orang ini adalah kelompok orang-orang yang sudah membakar padepokannya dulu.
Sambil menarik nafas dalam, ia mengatakan sambil menekan perasaannya, "O ya? Berarti, tuan berdua ini adalah anjingnya si tua Wulung?"
Ucapan Suro yang terkesan meremehkan membuat mereka naik pitam. Mereka dikatakan oleh Suro dengan sebutan anjing dan anak muda itu juga menyebut nama Wulung dengan sebutan tidak sopan, seperti memanggil kawannya saja.
"Hei anak muda!" Siwo mulai naik darah, ia berseru sambil mengacungkan goloknya ke arah Suro, "Mana sopan santunmu terhadap orang tua!? Tak ada yang berani menyebut nama Wulung dengan bahasa sembarangan. Ia adalah pemimpin dunia persilatan di tanah Jawa ini dengan Perguruan Macan Hitamnya!"
Suro malah tertawa, dalam hati ia menyebut kembali nama perguruan yang dipimpin oleh Wulung, "Perguruan Macan Hitam?"
"Kalian bertanya tentang sopan santun? Aku cuma meniru dan belajar dari prilaku kalian yang tidak punya sopan santun. Jelas kalian harus menanyakannya pada diri kalian sendiri, mana sopan santun kalian?" balas Suro.
"Kau!!!" ucapan Suro begitu telak menghujam bagai panah ke jantung mereka berdua, hingga mereka tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
"Sudahlah, Siwo. Cukup basa-basinya!" ucap Kelud.
Tanpa menunggu persetujuan Siwo, laki-laki itu langsung mengayunkan goloknya menyerang Suro.
Suro memiringkan tubuhnya, lalu menendang perut Kelud dengan sebuah jejakan keras dan cepat.
Beruntung, Kelud berhasil menarik tubuhnya mundur hingga jejakan kaki Suro mengenai tempat kosong. Tangannya kembali mengibas, belum sampai terlaksana, tangan Suro sudah menahannya, lalu dengan bahunya, Suro menghantam tubuh Kelud hingga terlempar cukup jauh. Hantaman Bukit Baja!
Buk!
Tubuh Kelud terseret di atas tanah beberapa tombak membuat pakaiannya kotor dan robek.
Tahu-tahu, Siwo mengambil langkah panjang dibarengi gerakan tangannya menusukkan golok ke tubuh Suro. Suro hanya memundurkan posisinya, lalu kakinya menyepak tangan Siwo yang memegang golok.
Diiringi jerit kesakitan tertahan, kaki Suro yang tadi menyepak dan belum sampai menginjak tanah langsung melanjutkannya dengan jejakan kaki seperti pegas.
Buk!
Telak mengenai dada Siwo, membuat tubuh Siwo pun terlempar dan mengalami nasib yang sama dengan Kelud.
Untuk sesaat, Siwo tak dapat bernafas, dadanya terasa sesak akibat tendangan kaki Suro seperti meremukkan dadanya.
"Sampaikan pada Wulung, Padepokan Cempaka Putih tak akan pernah lagi bisa dibakar olehnya!" ucap Suro keras, tidak seperti ucapan sebelumnya. Ia bernada menantang, "Katakan juga, kalau aku, Suro Bawu, akan datang menemuinya cepat atau lambat meminta pertanggungjawaban atas perbuatannya di masa lalu!"
Suro seperti sengaja tidak membunuhnya, dan itu disadari oleh Kelud dan Siwo. Maka, dengan tubuh terluka, keduanya segera bangkit dan pergi meninggalkan Padepokan Cempaka Putih tertatih-tatih.