Chereads / Pendekar Lembah Damai / Chapter 99 - Rencana Jahat

Chapter 99 - Rencana Jahat

"Mestinya, kamu tidak perlu melawannya, cukup segera memberitahukannya pada kakak Suro," Suro menasehati Ranu yang tengah diobati oleh Rou Yi.

Sambil mengernyit menahan sakit, Ranu tersenyum tipis. Dalam hatinya tidak menerima saran Suro. Karakternya, anak remaja itu adalah anak yang suka dengan perkelahian. Tetapi, demi menghormati gurunya itu, ia pun terpaksa mengangguk.

Sebenarnya, Suro sudah tahu sifat Ranu. Ia hanya mencoba untuk mengarahkannya saja agar kelak tidak tumbuh menjadi orang yang brutal. Ia bersyukur menemukan Ranu dalam keadaan yang masih bisa dikendalikan. Ranu adalah anak yang berbakat, meskipun masih berada dalam tingkat pertama, gerakan cerdasnya bisa membanting tubuh Kelud dalam hitungan detik.

Jika Ranu itu sempat diambil dan dijadikan murid oleh orang-orang yang tidak bertanggunjawab, pastilah dikemudian hari anak itu akan menjadi seorang penjahat yang meresahkan orang banyak.

"Ranu takut, kalau orang itu keburu menyakiti kakak Yi. Makanya Ranu memutuskan untuk menahannya sebentar," remaja itu memberi alasan yang membuat Suro dan Rou Yi tersenyum.

"Coba lihat, apa yang terjadi sekarang?" ucap Rou Yi, "Sebenarnya, jika Ranu memanggil kakak Suro, waktunya masih keburu. Bilang saja kalau kau ini memang ingin berkelahi."

Kalimat yang diucapkan Rou Yi sangat telak membuat remaja itu langsung tersipu malu begitu niatnya ketahuan oleh Rou Yi.

"He.He.He... Kakak Yi memang hebat membaca hati orang," jawabnya sambil sedikit meringis, tadinya ia mencoba untuk tersenyum.

"Huh, dasar tukang kelahi!" kali ini Li Yun langsung mengacak-ngacak rambut dikepala Ranu, hingga remaja itu kesakitan.

"Aduh, Kakak Li. Sakit tahu!" teriaknya.

Semua orang yang mengelilingi Ranu spontan tertawa gelak, mereka tak menggubris raut wajah Ranu yang kesakitan, godaan kepada Ranu makin bertambah gencar.

"Kau tahu, kelakuanmu itu sama dengan kakak Li Yun. Dia tidak bisa diancam sedikit saja, langsung menantang orang yang mengancamnya," ujar Rou Yi sambil matanya melirik ke arah Li Yun.

Li Yun langsung mendelik, "O ya? Apakah benar aku seperti itu?"

"Tentu saja!" jawab Rou Yi, "Tanya saja sama kakak Luo."

Percakapan Rou Yi dan Li Yun menggunakan bahasa Cina yang tentu saja tidak dimengerti oleh Ranu, hingga ia menyangka macam-macam pada kedua orang isteri Suro itu.

"Kalian pasti sedang mengejekku, ya?" Ranu langsung protes, karena sebenarnya ia ingin tahu apa yang sedang dikatakan kedua orang isteri Suro itu.

"Asal tebak kamu ini," sanggah Li Yun cepat.

Kemudian, Li Yun tersenyum simpul dan berkata pada Ranu yang memandangnya dengan mata menyipit menahan sakit, "Tapi, apa yang dikatakan kakak Yi memang benar. Sifatmu yang suka berkelahi sangat mirip denganku. Ada orang yang macam-macam, aku pasti akan menghajarnya!"

"Benarkah?" Ranu memaksakan tersenyum, "Jadi kakak tadi bukan membicarakan Ranu?"

Li Yun dan Rou Yi tertawa.

"Sungguh tak ada manfaatnya membicarakanmu," jawab Li Yun.

Ucapan Li Yun tak membuat Ranu tersinggung, ia malah kembali mengulas senyuman. Kemudian ia menatap Suro yang sedari tadi hanya memperhatikan percapakan mereka dengan santai.

"Kakak Suro," katanya, "Ajari Ranu lebih keras. Agar jika kakak bepergian meninggalkan kakak Yi dan kakak Li serta nenek Nan Yu, Ranu bisa menjaga dan melindungi mereka. Kakak Suro bisa pergi dengan tenang tanpa was-was!"

Ranu berkata dengan serius dan sungguh-sungguh.

Suro mengangguk sambil tersenyum. Ada rasa bangga dihatinya melihat Ranu.

"Wow, mantab!" Li Yun mengacungkan ibu jarinya pada Ranu, membuat remaja itu bangga.

"Sebenarnya, aku ingin seperti kakak Suro. Pergi berpetualang ke seluruh dunia. Menjajal kemampuan ahli beladiri yang tangguh, lalu kembali pulang ke tanah Jawa membawa isteri-isteri yang cantik seperti kakak Li Yun dan kakak Rou Yi," ucap Ranu, kalimatnya seperti mengkhayal.

Sontak saja, kalimat terakhir yang membuat semua yang ada disitu terbatuk-batuk.

"Isteri?" Rou Yi bertanya heran, kemudian menatap Li Yun sambil tersenyum geli.

"Kamu fikir, perjalanan ini sudah kamu atur seenaknya?" Suro bertanya sambil terkekeh kekeh, ia merasa Ranu hanya mengkhayalkan sesuatu yang enak-enak saja.

Dunia luas ini begitu kejam. Jika tak memiliki bekal yang cukup, seseorang bisa saja terjerumus dan putus asa.

"He.He.He... Kalau mengkhayal boleh saja'kan, kakak?" katanya menanggapi pertanyaan Suro.

Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepala.

Li Yun menundukkan kepalanya lebih dekat pada Ranu yang sedang diobati dalam posisi duduk, "Menurutmu, kami ini cantik, ya? Cantik mana kakak Li dan Kakak Yi?"

"Dua-duanya sangat cantik!" spontan Ranu menjawab, ia tak sadar dijebak oleh Li Yun, sehingga kalimat yang diucapkan Ranu merupakan lompatan yang ada dalam fikirannya yang langsung terucap.

Begitu sadar, ia menutup mulutnya sambil tersipu malu.

Li Yun dan Rou Yi pun tak bisa lagi menahan tertawanya, begitupun dengan Suro.

"Kakak Suro," Ranu melanjutkan, "Jujur dalam hatiku, aku akan membunuh kakak jika sampai menyakiti kakak Li Yun dan kakak Rou Yi."

Ranu berkata serius, dan Suro pun tersenyum dengan mengarahan pandangan pada kedua isterinya.

"Terima kasih," jawab Suro singkat. Suro jadi yakin, jika suatu saat ia bepergian jauh dari padepokan, akan ada orang yang rela berkorban untuk kedua isteri cantiknya itu, Ranu.

Rou Yi membereskan perlengkapannya, "Sudah selesai, pergilah dan jangan banyak mengkhayal!"

Rou Yi mengatakannya sambil tersenyum.

"Alhamdulillah, terima kasih kakak," jawabnya sambil berdiri dan berniat untuk pergi kekamarnya.

"Jangan jadi alasan tidak shalat magrib, ya," Suro memperingatkan sebelum Ranu betul-betul menghilang dari pandangan.

"Ya, kak!" jawabnya sambil membalikkan badan.

***

Beberapa hari kemudian dikediaman Wulung, Perguruan Macan Hitam.

Kembali raut wajah Wulung menampilkan keterkejutannya, meskipun sebelumnya ia sudah menduga kalau orang yang ia utus tidak akan bisa berbuat apa-apa. Apa yang ia lakukan adalah untuk mengukur kemampuan si pemilik Padepokan Cempaka Putih yang baru.

Dalam aliran beladiri Macan Hitam, ada beberapa tingkat kekuatan dan keahlian, tingkat pertama sampai tingkat keenam. Dan orang yang dikirim oleh Wulung, yakni Siwo dan Kelud merupakan petarung tingkat ketiga, yang diharapkan mereka ada sedikit perlawanan dalam pertarungan dan bisa mengukur kekuatan musuhnya.

Siwo dan Kelud yang datang menghadap dalam keadaan babak belur bertambah khawatir melihat tampang Wulung yang terlihat begitu emosi. Bisa-bisa, lelaki itu bakal menambah beberapa pukulan dan tendangan pada mereka. Mau bagaimana lagi, apapun kondisinya mereka tetap harus melaporkan apa yang sudah mereka alami di padepokan Cempaka Putih.

Tapi, setelah mereka memberikan laporan, Wulung masih tak merubah reaksinya untuk sekian lama. Entah sedang berfikir atau menunggu emosinya mereda baru kemudian mengeluarkan suara.

Justeru sikap yang demikian membuat Siwo dan Kelud bertambah was-was.

Sementara, Wiro yang berdiri di samping Wulung yang biasanya memberikan tanggapan atau masukkan pun untuk kali ini hanya bisa diam menunggu reaksi selanjutnya dari lelaki itu.

"Suro Bawu, Suro Bawu," Wulung mengulang nama itu dua kali, "Dia memakai nama gurunya dibelakang namanya."

Kemudian ia memandang Siwo dan Kelud bergantian, "Menurut kalian, dibandingkan dengan murid-murid Macan Hitam, pemuda itu sebanding dengan tingkatan berapa?"

Siwo dan Kelud saling berpandangan, kemudian berbisik-bisik dan mengira-ngira sebelum memberikan jawaban.

"Kami tidak bisa menduganya, kakang. Tapi kalau hanya menebak, barangkali dia adalah petarung yang berada ditingkat keenam," Siwo yang menjawab.

"Bagaimana kalian mengukurnya?" Wulung bertanya sedikit terkejut.

"Sewaktu kami melawannya, terus terang tak ada yang bisa kami lakukan sama-sekali. Ibarat kata, jika dia melawan kami dengan cara memejamkan matapun, kami tidak akan bisa berbuat apa-apa," Siwo menjawab lagi, tapi ketika ia menjawabnya sambil menunduk dan mengecilkan suaranya.

Siwo dan kelud barangkali malu mengatakan kalau tingkatan Suro jika berada dalam aliran Macan Hitam bisa lebih tinggi lagi. Jika ada tingkat kedelapan, bisa jadi Suro berada ditingkatan kedelapan. Ia bisa berkesimpulan demikian karena memandang Wiro, tangan kanan Wulung.

Orang yang berada disamping Wulung adalah murid aliran Macan Hitam yang tertinggi, seorang petarung satu-satunya yang berada ditingkat keenam. Dan mereka sudah sering melihat kemampuan Wiro pada saat latihan, atau beraksi membantu Wulung menghabisi para pendekar yang menentang perguruan Macan Hitam.

Wulung kembali diam setelah sebelumnya mendengus keras. Ia terlihat tak suka jawaban Siwo dan Kelud. Tetapi, itulah informasi yang ia terima.

Siwo dan Kelud nampaknya bisa bernafas lega, karena sampai saat ini, guru besar mereka itu tak berbuat apa-apa pada diri mereka.

"Aku masih tak percaya jika pemuda itu mempunyai kemampuan lebih tinggi dariku mengingat usianya yang sangat muda. Untuk mencapai tingkat keenam, butuh proses latihan bertahun-tahun. Di usia begitu, selain teknik ditingkatan tertentu, pengalaman panjang juga dibutuhkan. Bisa saja saat itu kalian sedang dalam keadaan tidak siap dan takut duluan," kata Wiro tak yakin dan merasa kehebatannya di tingkat enam masih kalah dengan beladiri yang dikuasai Suro. Informasi yang disampaikan oleh Kelud dan Siwo membuatnya ingin menjajal ketinggian ilmu beladiri Suro.

Wulung menoleh kearahnya dengan sudut alis menaik, lalu mengatakan "Jangan lupa, setiap aliran mempunyai teknik-teknik cepat untuk meningkatkan kekuatan. Bisa saja aliran Cempaka Putih memilikinya, ditambah lagi dengan bakat yang dimiliki pemuda itu!"

Apa yang Wulung katakan secara tidak langsung mendukung ucapan Siwo dan Kelud.

Kalimat Wulung langsung membuat Wiro terdiam. Yang disampaikan lelaki itu masuk akal dan ia menyadari kalau telah melupakan kemungkinan itu. Meskipun demikian, keinginannya yang awal belum hilang untuk bertarung dengan Suro.

"Jadi bagaimana?" tanyanya sesaat kemudian.

Wulung tak menjawab pertanyaan Wiro, melainkan kembali memandang ke arah Siwo dan Kelud. Tangannya bersilang dibalik punggung.

"Kalian bilang, ada seorang gadis yang terlihat lemah yang dilindungi oleh murid-murid Cempaka Putih di sana," Wulung bertanya mengulang apa yang pernah disampaikan oleh Siwo dan Kelud.

"Benar, kakang," jawab mereka berbarengan.

"Menurut informasi, sebenarnya ada dua orang gadis. Hanya saja yang muncul dan terlihat adalah gadis Cina itu yang langsung ketakutan waktu melihat kami," Kelud menambahkan.

Sudut bibir Wulung menaik, terlihat raut wajah liciknya sedang mengekspresikan sebuah rencana dikepalanya.

"Kalau begitu," ucapnya memandang Wiro sambil tersenyum jahat, "Bawa sekitar 10 orang murid tingkat 5 sekalian. Lihat situasi dan kondisi yang tepat untuk menculik gadis itu. Usahakan jangan sampai terjadi bentrokan!"

"Maaf, kakang," tiba-tiba Wiro berkata menyela membuat Wulung kembali menatapnya setelah sebelumnya hendak membalikkan badan.

"Apa lagi, hah?" Wulung bertanya agak emosi.

Sangat terlihat kalau kemunculan Padepokan Cempaka Putih membuatnya gampang naik darah.

"Kenapa tidak aku saja dan beberapa orang saudara tingkat enam yang menerima tugas ini?" sepertinya Wiro berharap sekali agar tugas yang diberikan kepada murid-murid tingkat lima diserahkan padanya.

"Tidak!" tolaknya keras, "Jika tugas ini kuberikan padamu, aku yakin bukannya menculik gadis itu, malahan pasti berharap menantang si Suro. Kamu pasti merasa diremehkan ketika Kelud dan Siwo mengatakan kekuatan beladiri Suro seperti murid tingkat enam. Biar saja kukirim murid tingkat lima yang lebih mudah menjalankan perintah ketimbang orang yang emosional sepertimu. Akalmu tak bakalan berjalan bahkan malah membuat masalah!"

Wiro akhirnya mengangguk, apa yang ada dikepalanya seolah sudah terbaca oleh Wulung. Mau tidak mau, ia pun kembali mengangguk untuk kesekian kalinya sebagai tanda menerima keputusan Wulung.

Dirasa perintah Wulung cukup jelas, lelaki bernama Wiro itu langsung melangkah meninggalkan Wulung di ruangan utamanya diiringi dengan Siwo dan Kelud dari belakang.