Chereads / Pendekar Lembah Damai / Chapter 97 - Bola Api

Chapter 97 - Bola Api

Di halaman tempat latihan di padepokan Cempaka Putih, selesai melatih para murid menjelang tengah malam.

Seno yang berdiri dihadapan Huang Nan Yu nampak memegangi lututnya seperti orang sedang rukuk. Wajahnya terlihat kelelahan dan tubuh berkeringat.

Malam itu, Huang Nan Yu selesai melatih kungfu Tai Chi pada Seno yang nampaknya Seno menyerah dan tak sanggup untuk melanjutkan. Ia tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.

"Ha.ha.ha.... Nampaknya, Seno tak sanggup mempelajari kungfu Taichi, bibi. Terlalu rumit buatku yang tak sabaran ini," ujarnya.

Huang Nan Yu tersenyum kecil, lalu mereka berdua melangkah keluar dari halaman dimana Suro dan dua isterinya sedang duduk menyaksikan latihan mereka.

"Tidak segampang yang dilihat, ya, kangmas?" Suro bertanya sambil menyungging senyum.

Seno mengangguk, "Sepertinya, gerakanku jadi hancur. Ha.ha.ha!"

"Itulah yang membuatku tidak tertarik dengan kungfu, terutama taichi ini," Rou Yi menyahut.

"Apakah adik Yi pernah belajar Tai Chi?" Seno bertanya pada Rou Yi.

"Apakah kakak Seno tidak pernah dengar cerita dari Kakak Luo, kalau ayahku juga ahli taichi?" Rou Yi bertanya balik, ia berfikir kalau Suro sudah pernah menceritakan semua tentang dirinya, "Semua keluargaku adalah ahli kungfu Taichi."

"Oh, begitu?" Seno menanggapi.

"Waktu kecil, Rou Yi tak tahan sakit dan gampang lelah, makanya ayahnya tak mengajarinya Kungfu, dan memfokuskannya pada ilmu pengobatan," kali ini Huang Nan Yu yang menjelaskan, "Padahal aku dan ayahnya berharap Rou Yi sebagai penerus satu-satunya yang menguasai Taichi."

Rou Yi langsung menunduk malu.

"Sama saja 'kan, bibi," Li Yun menimpali sambil tersenyum, bahasanya terkesan membela Rou Yi, "Sekarang akan ada yang meneruskan ilmu ini dari Rou Yi, meskipun tidak langsung, yakni Kakak Luo dan anaknya, serta aku dan anakku. 'Kan ilmunya juga dari bibi juga?"

Mendengar ucapan Li Yun, semuanya jadi tersenyum. Suasana malam yang sepi jadi terlihat ramai dengan percakapan mereka hingga beberapa saat.

Tiba-tiba Seno mendongakkan kepala ketika sudut matanya merasa melihat sesuatu. Kemudian ia berseru sambil menunjukkan sebuah bola merah menyala yang bergerak cepat di langit dari kejauhan menuju padepokannya.

"Lihat itu!" serunya.

Semuanya langsung mengarahkan pandangannya ke atas dan melihat apa yang dilihat oleh Seno. Bentuk bola api menyala itu sama persis dengan bola api yang datang semalam.

Tanpa bicara lagi sebelum bola api itu sampai di atas kepala mereka, Seno menggerakkan kedua telapak tangannya dengan cepat membantu nafasnya terkumpul di bawah pusar, lalu membuat gerakan menyorong ke atas ke arah bola api itu.

Semua bisa melihat kalau telapak tangan Seno sedikit bergetar. Tak lama, Seno membuat gerakan menangkap dengan dua telapak tangannya dan memutar balik dan menyorong seolah-olah mendorong bola api itu dari posisinya berdiri.

Hal yang aneh terjadi, seiring dengan gerakan Seno, bola api itu langsung berputar arah seperti dikendalikan oleh Seno dan bergerak menjauh dari padepokan.

Setelah menghilang dan menurunkan tangannya, pandangan Seno beralih pada Suro, "Itukah yang dimas Suro lihat semalam?"

Mendengar ucapan Seno, Rou Yi dan Li Yun saling pandang lalu bersamaan melihat wajah Suro yang nampak tenang dan seolah tak terjadi apa-apa. Li Yun dan Rou Yi tak mengetahui kalau pada malam itu yang dimaksud oleh Suro ada seseorang yang mengawasinya adalah benda di angkasa itu.

"Iya," Suro mengatakannya sambil mengangguk, tetapi senyumnya tak berubah dan terlihat biasa saja.

"Apa itu, kakak?" Li Yun bertanya pada Seno, ia menganggap Seno mengetahuinya karena dialah yang merubah arah terbang bola api itu.

"Itu adalah ilmu santet. Ilmu hitam yang digunakan untuk menyakiti orang yang dituju," jawab Seno.

"Apakah tujuannya adalah padepokan ini?" Li Yun bertanya penasaran.

Seno mengangkat bahunya sebagai isyarat ia tak tahu, "Kakak tidak tahu masalah itu."

Sengaja ia berkata demikian agar tak membuat Li Yun dan Rou Yi panik dan takut. Untunglah sebelumnya Suro sudah menceritakan kejadian malam itu.

Meskipun demikian, Li Yun dan Rou Yi bukanlah anak kecil yang bisa dihibur begitu saja. Melihat arah datang dan terbangnya bola api, sangat jelas sekali kalau mengarah ke padepokan.

Rou Yi langsung memegang lengan Suro dengan erat membuat Suro menoleh padanya.

Untuk menenangkan isterinya, pemuda itu lalu mengalungkan lengannya ke tubuh Rou Yi dan menariknya lebih dekat.

"Sudah, tak ada masalah dengan itu. Bola api itu hanya lewat saja," hiburnya.

Li Yun menggoyang lengan Suro, "Kakak, kau belum mengatakan apa-apa tentang bola api itu. Adik Li yakin, kalian sedang menyembunyikan sesuatu."

Suro tertawa, lantas memandang Seno yang tersenyum melihat tingkah Li Yun.

Seno mengakui kalau kalimatnya tadi tak bakal menghilangkan kecurigaan Li Yun mau pun Rou Yi.

"Tenanglah. Besok tidak akan ada lagi bola api itu. Pengirimnya sudah tewas!" jawab Seno berterus terang.

Li Yun yang semula memperhatikan jawaban Seno nampaknya masih kurang yakin, maka ia kembali menoleh pada Suro, "Benarkah?"

Suro mengangguk sambil tersenyum.

"Semalam, bola api itu langsung pupus begitu masuk ke areal Padepokan Cempaka Putih. Tandanya serangan itu lenyap, dan kemungkinan si pengirimnya akan melakukan serangan lanjutan. Tetapi, malam ini, serangan itu sudah kakak balikkan ke pengirimnya, dan bisa dipastikan ia akan tewas akibat serangan dari bola apinya sendiri," Seno melanjutkan.

"Kenapa tidak malam itu saja kakak Suro langsung membalikkannya? Kejadian ini terus terang membuat adik Yi takut," Rou Yi akhirnya berkata.

Suro menggelengkan kepalanya, "Kakak Luo tidak tahu ketika bola api itu datang. Jika sempat mengetahuinya, sudah tentu kakak balikkan kembali. Tetapi, bola api itu hilang tiba-tiba sebelum kakak bertindak."

"Itu tandanya, padepokan kita ini diberkahi oleh Allah SWT. Serangan ilmu hitam tak akan bisa menembus masuk wilayah padepokan Cempaka Putih karena Allah sendiri yang melindunginya," Seno mengatakannya sambil tersenyum.

Li Yun kembali memandang Suro seperti meminta penjelasan, "Apakah padepokan ini ada semacam pagar yang tak terlihat?"

Lagi-lagi Suro tersenyum, "Padepokan didirikan dengan niat baik, dan diisi dengan hal-hal baik. Baca Qur'an, pengajian, pengobatan dan lain-lain. Kegiatan ini adalah baik, dan Allah suka hal-hal yang baik. Tak perlu kita buat pagar gaib, karena Allah langsung yang melindunginya. Tentunya Allah tak ingin padepokan ini hancur 'kan?"

Mendengar penjelasan Suro, mereka pun mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.

***

Ditempat lain, raut wajah Wulung terlihat geram dan marah mendapat laporan dari Wiro yang datang padanya dengan tergopoh-gopoh.

Mahesa yang diperintahkan oleh Wulung untuk menyerang Suro dan padepokannya dengan ilmu hitam malah tewas dengan tubuh hitam seperti hangus terbakar.

"Hal ini juga terjadi ketika kita meminta ahli ilmu hitam menyerang padepokan Cempaka Putih di masa si tua Ronggo Bawu. Makanya, aku kemarin berani sedikit membantah permintaan kakang," terang Wiro.

Mendengar penyampaian Wiro, Wulung menggebrak meja yang ada disampingnya hingga hancur. Ucapan Wiro membuatnya semakin marah. Ia seperti tak suka diperingatkan.

"Kamu berani-beraninya menasehatiku. Aku tak segan membunuhmu saat ini juga kalau aku mau!" katanya dengan suara keras.

"Bukannya begitu, kakang. Aku hanya tak mau kita berbuat yang sia-sia. Jika begini, kita yang kehilangan satu anggota," jawabnya.

Wulung mendengus keras.

"Aku hanya ingin tahu, apakah benar padepokan itu adalah padepokan yang sama dengan yang dulu. Makanya, aku ingin mengujinya. Jika ternyata sama, sudah bisa dipastikan kalau pendiri Padepokan Cempaka Putih saat ini adalah murid Ronggo Bawu. Artinya, aliran Cempaka Putih memang masih ada!" lagi-lagi Wulung tak mengurangi keras nada suaranya.

Wiro terlihat mengangguk. Ia akhirnya faham maksud Wulung. Lelaki dihadapannya tempo hari masih kurang yakin akan penjelasannya tentang Padepokan Cempaka Putih yang baru. Makanya ia meminta Mahesa seorang ahli ilmu hitam untuk menyerang padepokan itu.

"Lantas, apa rencana kita sekarang?" Wiro bertanya.

Wulung tak langsung menjawab, dahinya nampak sekali berkerut tanda ia sedang berfikir keras. Padepokan Cempaka Putih dulu merupakan aliran beladiri yang tak bisa ia taklukkan dalam pertarungan langsung melawan Ronggo Bawu. Hanya bisa ia taklukkan dengan cara yang licik.

Beladiri aliran itu sangat tangguh, untuk menyerangnya secara terang-terangan sangatlah tidak mungkin. Sekarang, ketika nama padepokan itu terdengar kembali, ia mesti memikirkan cara untuk menaklukkannya kembali. Ia belum tahu apakah kekuatannya sama sewaktu dipimpin oleh Ki Ronggo Bawu atau justru lebih lemah. Jika lebih lemah, dengan penyerangan terbuka masih ada kemungkinan untuk menang, tetapi bagaimana jika ternyata lebih kuat?

Setelah keberhasilannya menumpas habis perguruan Cempaka Putih dengan peristiwa pembakaran yang ia lakukan, ambisi Wulung untuk menjadikan aliran beladiri Macan Hitam menjadi tak terbendung. Tak ada perguruan lain yang berani macam-macam pada perguruannya. Nama mereka hilang ditelan bumi, yang ada hanyalah kumpulan penjahat atau perampok lepas yang tak dianggap apa-apa oleh aliran Macan Hitam, dan justru mereka takluk dan berlindung dibawah panji kebesaran aliran beladirinya.

Dulu, ia pernah bertarung secara langsung dengan Ki Ronggo Bawu sewaktu Ki Ronggo Bawu masih sebagai pendekar petualang. Secara telak ia mampu dikalahkan, beruntung ia tidak tewas dalam pertarungan itu, tetapi muridnya kocar-kacir dan banyak yang mati terbunuh di tangan Ki Ronggo.

Kekalahan itu membuatnya menyimpan sakit hati yang mendalam dan dendam kesumat yang menekannya berhari-hari, hingga ia harus memikirkan segala cara untuk menyingkirkannya.

Tapi kemudian, nama itu sekarang muncul kembali dan cukup membuat kepalanya pening. Ambisinya untuk menguasai seluruh aliran persilatan menjadi terhalang oleh adanya aliran dari padepokan itu.

Melihat Wulung bimbang, Wiro pun berucap, "Seharusnya, melihat perkembangan kakang Wulung yang sering berlatih selama beberapa tahun ini, tak ada yang musti ditakuti. Jika waktu itu ada murid aliran Cempaka Putih yang masih hidup, umurnya masih remaja, tentunya Ronggo Bawu belum menurunkan ilmunya secara keseluruhan. Bisa dikatakan, kemampuannya pastilah tidak sehebat dan setangguh gurunya itu, Ronggo Bawu."

Mendengar ucapan Wiro, nampaknya Wulung sedikit bernafas lega. Apa yang dikatakan Wiro bisa jadi benar dan masuk diakalnya.

Ia kemudian memandang Wiro meminta kepastian sekali lagi..

"Benarkah demikian?" tanyanya sedikit ragu, namun jelas sekali kalau ia merasa lebih tenang dari sebelumnya.

Wiro pun mengangguk.

"Kalau kuperhatikan, kegiatan mereka lebih terfokus pada pengobatan. Belum pernah kudengar pemimpin padepokan itu beraksi. Entah karena tidak menguasai beladiri atau memang belum ada yang mencoba mengusik tempat itu."

Tiba-tiba, Wulung mengangkat kepalanya, ia seperti mendapat ide dari apa yang disampaikan oleh Wiro.

"Kalau begitu, perintahkan Siwo dan Kelud untuk mendatangi padepokan itu untuk membuat onar. Kalau mereka berdua mempunyai kemampuan, habisi semua orang yang ada dalam padepokan itu tanpa ada sisa. Aku tak ingin mendengar kemunculan nama itu lagi setelah hari ini. Aku ingin tahu kekuatan pemimpin padepokan itu!" katanya memberi perintah.

"Baiklah!" sahut Wiro.

Tetapi Wulung langsung mengangkat tangannya sebelum Wiro membalikkan badan.

"Kirimkan juga satu orang untuk mengawasi Siwo dan Kelud tanpa dua orang itu mengetahuinya sebagai mata-mata. Aku khawatir, jika Siwo dan Kelud tewas, tak ada yang bisa segera memberi laporan kemari!" sambungnya lagi,

Wiro mengangguk mengerti. Tanpa menunggu perintah lagi, ia membalikkan badan dan menghilang dari pandangan Wulung.