Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Rou Yi sudah bangun dalam keadaan nampak lebih tenang dan kembali memulai aktivitas rutinnya layaknya isteri dibantu oleh Li Yun sebelum orang-orang datang berobat. Udara segar di Lembah Damai dirasakan begitu membuatnya bersemangat.
Matahari perlahan mulai naik menampilkan bayangan setinggi tombak, sementara Suro dan Huang Nan Yu tengah sibuk menata bahan tanaman untuk dijemur di atas rak-rak yang terbuat dari anyaman bambu.
"Dimas!"
Satu suara dari arah belakang Suro terdengar dan membuatnya menoleh. Dilihatnya Seno sudah berdiri dengan menggendong bayi laki-laki berusia lebih kurang setahun, dan isterinya nampak tersenyum pula kearahnya.
"Oh, kangmas!" Serunya gembira menyambut kedatangan keluarga Seno, "Jauh-jauh datang kemari. Mestinya kami yang ke sana."
"Sekalian main-main. Mbak yu 'kan ingin juga melihat kediamanmu," kali ini yang menjawab adalah isteri Seno.
Huang Nan Yu pun datang menghampiri dan menyambut mereka dengan senyuman mengembang.
"Ah, gagahnya....Aryo... Aryo," Huang Nan Yu berkata memanggil nama bayi itu sembari mengusap pipi bayi kecil yang merupakan anak Seno, tangannya kemudian beralih hendak meraih bayi itu, "Ayo ikut nenek. Nenek sudah lama tidak menggendong bayi."
Bayi kecil itu pun menatap heran sejenak, namun kemudian tangannya terulur memberi isyarat kalau ia mau dibawa oleh Huang Nan Yu.
"Nah, Aryo. Ikut nenek Nan Yu dulu, ya," Seno lalu memberikan bayinya pada wanita tua itu.
Huang Nan Yu nampak begitu senang, senyumnya merekah menunjukkan rasa bahagia.
"Ayo, kita jalan-jalan. Ketemu sama bibi Li dan bibi Yi..." katanya kepada bayi kecil yang bernama Aryo itu.
Aryo nampak menurut dan membiarkan tubuhnya dibawa menjauh dari orang tuanya yang memandangnya dengan senyum.
"Cukup repot hari ini, ya? Banyak sekali bahan obatnya?" tanya isteri Seno sambil melihat ke arah hamparan tanaman obat.
"Sudah selesai, kok, mbak yu," Suro berkata, "Sebenarnya ini pun belum cukup, nanti kami akan mencari lagi."
"Oh, begitu," sahut isteri Seno.
Suro mengangguk.
"Membawa Aryo dalam perjalanan jauh ini sangat melelahkan Aryo tentunya," Suro berkata.
"Kami datang membawa kereta, jadi tak masalah. Berbeda pada zaman kita dulu, menuju ke sini mesti merambah hutan. Sekarang jalanan sudah terbuka dan juga sudah banyak penduduk, perjalanan ke tempat ini terasa sebentar saja," Seno menjawab.
Suro pun mengangguk membenarkan apa yang disampaikan oleh Seno. Perkembangan Lembah Damai cukup pesat, apalagi ketika padepokan Cempaka Putih sudah berdiri. Kondisinya tidaklah sesepi dan terasa jauh pada masa mereka dulu.
"Hahaha.... kangmas benar, anggap saja sedang berjalan-jalan," katanya menanggapi jawaban Seno, "Jika demikian, sekalian menginaplah di sini sesukanya."
Seno mengalihkan pandangan pada isterinya, lalu kembali melihat ke arah Suro sambil tersenyum, "Nanti kita lihat kondisi saja."
"Banyak kamar kosong yang bisa kalian tempati," jawab Suro, kemudian beralih pada wanita muda yang menjadi isteri Seno itu,"Mbak Yu belum tahu seperti apa bentuk rumah di negeri Cina 'kan?"
Wanita muda itu tersenyum sebelum menjawab, "Mbak Yu baru dengar dari kangmasmu, katanya padepokanmu dibuat mirip dengan bangunan dikediaman orang tua angkatmu dulu."
"Umm," angguknya, "Memang sengaja, Mbak Yu. Dimas membuatnya semirip mungkin untuk Li Yun supaya dia merasa betah."
Setelah cukup lama berbincang-bincang, mereka pun berjalan masuk ke dalam padepokan.
Di ruang makan, makanan sudah terhidang di meja dan siap untuk di santap. Di sebelahnya, Li Yun nampak asyik mengayun-ayun Aryo yang berada didalam dekapannya, dan Rou Yi pun berkali-kali mencubit gemas pipi Aryo. Sementara, Aryo yang seperti mendapat teman terlihat tertawa-tawa gelak.
Huang Nan Yu yang berdiri melihat kelakuan kedua isteri Suro seperti tersenyum, tetapi kilauan air matanya terlihat mengalir dipipinya yang sudah keriput.
"Lucunya....lucunya... Tinggal di sini sama bibi, ya?" Rou Yi berkali-kali mencubit pipi Aryo, dan Aryo pun tampak begitu senang diperlakukan seperti itu.
Saking asyiknya memanjakan Aryo, mereka tak sadar kalau keluarga Seno datang bersama Suro.
"Mbak Yu do'akan, semoga kalian lekas dapat momongan."
Mereka cukup terkejut begitu mendengar ucapan isteri Seno, dan ketika melihat kehadirannya disitu, mereka bergegas mendatanginya.
"Mbak Yu, bagaimana kabarnya. Lama tak bertemu," Rou Yi menjabat tangan wanita muda itu dengan senyum ramahnya, bergantian dengan Li Yun.
"Alhamdulillah, baik," jawabnya, "Kalian lama tidak main ke rumah."
"Maklumlah, mbak. Di sini hampir-hampir kami tidak bisa bergerak keluar rumah," Li Yun menjawab.
Isteri Seno mengangguk, "Iya, mbak mengerti. Tapi sekali-sekali, beristirahatlah kalian. Jaga kesehatan. Supaya cepat dapat momongan."
Rou Yi dan Li Yun menanggapinya dengan tersenyum.
"Ayo, sarapan sudah siap!" Huang Nan Yu tiba-tiba berkata.
***
Karena desakan Li Yun dan Rou Yi pada isteri seno, akhirnya mereka memutuskan untuk menginap di padepokan.
Sementara mereka berkumpul, malam harinya Suro mengajak Seno untuk berbincang-bincang di gazebo.
Suro menceritakan apa yang mereka alami pada malam sebelumnya, dimana ia melihat sekelebat bola api besar di langit yang menghilang tepat di atas kepalanya.
Mendengar cerita Suro, Seno mengangguk-angguk sambil memegang dagunya.
"Tampaknya, pertarungan akan segera dimulai. Selalu saja ada orang-orang yang tidak senang dengan kehadiran padepokan ini."
Suro mendesah panjang. Yang dikatakan Seno memang benar. Di pulau Jawa ini, orang-orang banyak berobat kepada dukun apabila sakit. Kehadiran padepokan Cempaka Putih yang saat ini banyak membantu kesembuhan orang dengan keilmuan memanfaatkan tanaman obat tentunya membuat para dukun kehilangan pasiennya.
Suro sebelumnya tak pernah berfikir kalau penyerangnya adalah para dukun, yang ia fikirkan adalah serangan dari orang-orang yang dulu membakar padepokannya.
Tapi, apapun itu ia tak pernah merasa takut dengan keimanannya. Ia merasa serangan para dukun dengan memanfaatkan ilmu hitam jauh lebih gampang dihadapi. Kondisi demikian langsung mengingatkannya pada Ma Han, si penyihir yang berhasil ia bunuh sewaktu di negeri Cina.
"Peristiwa ini mengingatkanku waktu melawan seorang penyihir di negeri Cina. Akhirnya ia tewas mengenaskan," ucap Suro.
Seno langsung berpaling pada Suro dengan rasa penasaran, ia ingin mendengar cerita pengalaman adik seperguruan itu, "Oh, ya? Dimas belum bercerita tentang itu."
Suro pun tersenyum, kemudian menceritakan kejadian yang ia alami saat itu.
Seno terlihat semakin tertarik. Ia sendiri selama malang melintang di dunia persilatan belum pernah menghadapi orang yang menggunakan ilmu hitam, hal itu menimbulkan keinginan dalam hatinya untuk mencoba merasakan bagaimana bertarung melawan jenis ilmu itu. Dan ia mengungkapkannya pada Suro.
"Rasanya sakit, kangmas. Dimas merasa ketakutan yang amat sangat, yang tak jelas apa yang aku takuti. Beruntunglah waktu itu aku sempat sadar dan banyak-banyak beristigfar. Kalau bisa, jangan sampai kejadian itu menimpa kita," Suro menerangkan apa yang ia alami saat terkena serangan seperti itu dari Ma Han.
Seno menarik nafas panjang. Yang dikatakan Suro benar, tidak sepatutnya ia bersikap menantang. Bagaimana jika ia tidak beruntung? Bukankah akibatnya bisa fatal? Jikalau bisa, seharusnya apapun bentuk serangan itu tidak pernah ia alami.
"Serangan ilmu hitam itu masuk dalam wilayah penyerahan diri pada yang kuasa. Jika tidak, akibatnya bisa fatal dan merenggut nyawa. Orang sekelas Kyai saja banyak yang tewas karenanya, apalagi kita yang hanya seorang murid kyai," lanjut Suro.
Sesaat, dahi Seno berkerut menafsirkan apa yang disampaikan oleh Suro. Kemudian ia menoleh pada adik seperguruannya itu sambil tersenyum.
"Dimas benar," katanya singkat.
Ia seperti menyadari kekeliruannya, meskipun hanya di dalam hati, tak sepatutnya ia berharap bertemu dan menantang ilmu hitam. Seperti yang disampaikan Suro barusan, serangan itu membuatnya ketakutan, dan jika tidak buru-buru sadar mencari penyebab ketakutan dan memasrahkan diri pada tuhan, niscaya ia tak akan melihat Suro di negeri ini.
"Jika kita bisa melihat mahluk gaib, tentunya akan lebih mudah kita menghadapinya. Maka, sepatutnya untuk hal-hal semacam itu, cukuplah kita serahkan pada Yang Maha Gaib. Tugas kita hanya meminta perlindungan."
Sekali lagi, Seno mengangguk. Ia kemudian teringat ucapan Ki Ronggo.
Setiap tempat ada mahluk gaib yang lebih dahulu menghuninya, dan penghuninya itu bisa berubah karakter tergantung pada manusia yang menempati alam zahir. Jika orang yang senang membaca ayat-ayat Qur'an, maka jika penghuni gaib itu jahat, mereka akan pergi. Tetapi, jika sebaliknya, mahluk gaib itu bisa berubah baik, atau yang jahat akan pergi dan yang baik akan datang.
Yang baik biasanya senang dengan ayat-ayat yang dibaca, dan akan selalu berharap manusia itu membacakan ayat-ayat Qur'an dirumahnya.
Seno berfikir, padepokan yang dibangun oleh Suro selalu digunakan untuk hal-hal baik, pengajian, pengobatan, pembacaan Qur'an dan perbuatan baik lainnya. Bisa jadi, mahluk gaib yang menghuni padepokan ini merupakan mahluk gaib yang senang dengan kegiatan yang dilakukan oleh Suro.
Maka masuk akal apa yang disampaikan Suro tentang kejadian malam itu, di mana bola api yang seharusnya jatuh menimpa padepokan sudah dimusnahkan terlebih dahulu oleh mahluk gaib yang menghuni padepokannya.
Gaib mestinya dilawan dengan yang gaib juga, batin Seno.
***
Sehari sebelumnya.
"Padepokan Cempaka Putih?" seorang lelaki berusia 50 tahunan nampak terkejut begitu mendengar nama Padepokan Cempaka Putih dari seorang lelaki yang datang menghadapnya.
Rumah itu begitu besar dan megah memiliki halaman yang luas dikelilingi pagar kayu berhias menandakan kalau lelaki itu merupakan orang yang sangat kaya. Ditambah lagi dengan beberapa orang lelaki bertubuh kekar berdiri sebagai penjaga di pintu masuk dan lelaki lainnya nampak saling mengobrol dibeberapa sudut. Mereka semua berbekal senjata golok dengan tampang-tampang wajah yang kasar.
Lelaki yang melapor itu mengiyakan, "Benar kang Wulung. Namanya memang demikian."
Si lelaki yang ternyata adalah Wulung itu kembali menampakkan wajah keheranannya. Pikirannya terbang ke masa lalu, dimana ia bersama komplotannya menyerbu padepokan Cempaka Putih dan membakarnya habis.
Dahinya langsung berkerut ketika nama itu muncul kembali.
"Kamu jangan bicara sembarangan, Wiro! Bukannya Padepokan itu sudah kita bakar dan tak ada satupun yang tersisa? Bagaimana bisa berdiri lagi?" tanyanya pada lelaki dihadapannya yang bernama Wiro.
Wiro pun menggeleng sambil memperhatikan tingkah Wulung yang berjalan mondar-mandir dihadapannya.
"Mana berani aku berbohong, kakang. Nama itu sudah mulai terkenal. Meskipun kudengar kegiatannya sebagai tempat pengobatan, tetapi sudah ada beberapa murid yang dibina di tempat itu," katanya lagi.
Wulung menghentikan langkahnya dan langsung menatap tajam ke arah Wiro.
"Jika benar padepokan itu berdiri, pastilah waktu peristiwa pembakaran itu masih menyisakan satu atau dua orang yang masih hidup, dan kemudian mendirikan kembali padepokan itu meneruskan aliran Ronggo Bawu."
"Pastinya aku tak tahu," Wiro menanggapi, "Menurut informasi yang kudengar, dalam padepokan itu hanya ada seorang pemuda bersama dengan dua orang isteri dan satu orang nenek tua. Dua orang isteri dan nenek tua itu bukanlah penduduk sini, tetapi dari Cina."
"Dari Cina?" Wulung kembali heran, "Apakah beberapa tahun lalu setelah pembakaran, orang yang selamat itu lantas pergi ke Cina dan kembali kemari lalu mendirikan padepokan?"
Wiro terdiam sejenak, ia seperti sedang berfikir. Tak lama, ia manggut-manggut beberapa kali.
"Apa yang kakang katakan barangkali benar. Setelah kejadian itu, dia pergi ke Cina dan belajar tentang pengobatan, rasanya masuk akal. Karena jenis pengobatannya tidak pernah ada di tanah Jawa ini."
Wulung menarik nafas dalam, raut wajahnya berubah dongkol, "Saat ini, perguruan Macan Hitam adalah yang terkuat. Semua perguruan yang ada sudah bertekuk lutut dan kita habisi. Maka, jangan sampai perguruan baru itu muncul dan berkembang seperti waktu itu."
Lelaki itu melangkah maju, lalu mencengkeram kerah leher Wiro sambil melanjutkan kalimatnya dengan nada kesal, "Perintahkan Mahesa untuk mengirimkan serangan ilmu hitamnya!"
"Apakah akan berhasil? Bukankah serangan seperti itu sia-sia kita lakukan pada waktu padepokan dipimpin Ronggo?" Wiro berkata memberanikan diri dengan suara sedikit tercekat.
"Lakukan!" bentaknya.
Wiro mengangguk ketakutan.