Bulan-kebulan, kehadiran padepokan Cempaka Putih sangat dirasakan sebagai anugerah bagi masyarakat. Bagaimana tidak, selama ini jika mereka sakit, pengobatan yang mereka lakukan terbatas pada apa yang mereka ketahui dengan memanfaatkan tanaman obat atau keahlian turun temurun dari pendahulu mereka. Itu pun tidak selalu manjur dan membuat mereka sembuh.
Dengan keahlian yang dimiliki Suro dan Rou Yi, barulah mereka paham bahwa untuk kasus penyakit yang sama, belum tentu tanaman obat yang diberikan juga sama. Banyak hal yang harus dilihat untuk menentukan jenis tanaman yang digunakan sebagai ramuan.
Seiring waktu yang berlalu, nama Padepokan Cempaka Putih sudah mulai terdengar dari mulut kemulut sampai ke beberapa pelosok wilayah, namun bukan sebagai sebuah perguruan, tetapi lebih kepada sebuah tempat pengobatan.
Padepokan itu pun kini sudah memiliki 5 orang murid yang masih berusia 11 sampai dengan 15 tahun yang kebetulan semuanya adalah anak laki-laki, yang dididik oleh Suro dan Seno secara bergantian, baik ilmu beladiri maupun ilmu agama.
Dikarenakan para murid itu adalah anak-anak yatim piatu, yang ditemukan Seno sewaktu ia melakukan perjalanan diberbagai tempat, Suro pun berusaha membahagiakan mereka dengan membangun tempat penampungan yang layak buat mereka, sebuah ruangan yang luas dengan alas tidur yang disesuaikan dengan jumlah mereka.
Malam itu, Suro mengumpulkan 5 orang muridnya di aula luas dalam padepokan. Cara pendidikan demikian meniru apa yang pernah diterapkan Ki Ronggo Bawu sewaktu Suro dan Seno masih menjadi seorang santri, ketika padepokan masih berdiri dibawah pimpinan Ki Ronggo Bawu sendiri.
Karena kemampuan Suro, dengan modal pemberian Cheng Yu dan pendapatan dari usaha pengobatannya, ia bisa membangun tempat yang jauh lebih luas dan nyaman, serta penerangan yang lebih baik ketimbang masa padepokannya dulu.
"Nah, adik-adik sekalian," Suro berkata dihadapan para santrinya, "Kakak harap, kalian bisa betah dan berbahagia di padepokan ini. Mungkin tidak lebih nyaman dibanding dengan rumah kalian dahulu, meskipun begitu kakak yakin di tempat ini tidak membuat kalian terlantar dijalanan."
Tak lama kemudian, Rou Yi dan Li Yun pun masuk dengan membawa gelas dari potongan bambu dan minuman hangat yang khusus dibuatkan untuk para santri. Setelah mengedarkannya pada masing-masing anak, mereka berdua ikut duduk di sebelah kiri dan kanan Suro.
"Kakak Li Yun dan Kakak Rou Yi juga mau ikut belajar, ya, adik-adik," Li Yun berkata menyapa para santri dengan melempar senyuman cantiknya, Rou Yi pun ikut tersenyum.
Tampak raut wajah mereka begitu bahagia menyaksikan suasana malam itu, duduk dihadapan para santri tanpa rasa malu karena ingin juga mendapat pelajaran dari Suro. Mereka berdua merasa perlu untuk belajar, mengingat mereka juga belum lama memeluk Islam.
Di samping itu, kehadiran para santri yang tinggal di dalam padepokan membuat hidup Li Yun maupun Rou Yi tidak merasa kesepian.
"Iya, kakak Li Yun dan kakak Rou Yi," mereka menjawab serempak sambil tersenyum.
Suro kemudian melempar pandangan ke semua muridnya sambil menyungging senyum. Terbersit kenangan dalam kepalanya, bahwa apa yang dialaminya saat ini sangat terasa manis jika mengingat perjalanan panjangnya yang penuh tragedi.
Kini, apa yang menjadi impiannya bersama Yang Li Yun sudah terwujud. Bahkan, Allah menambahkan nikmatnya lagi dengan adanya Yin Rou Yi sebagai pelengkap impiannya. Memiliki dua orang isteri yang memiliki karakter berbeda yang semakin melengkapi kehidupannya.
Suro menarik nafas dalam dan lega, hatinya kembali dipenuhi rasa syukur. Selama ini Allah telah memeliharanya dari segala hal buruk, selalu menjaganya dari tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran agamanya.
Tak lama kemudian, ia pun membuka suara dengan santun dan lembut memulai rangkaian kalimat nasehat sambil membayangkan saat Ki Ronggo Bawu, gurunya itu memberikan nasehat kepada murid-muridnya.
"Mahasuci Allah Yang telah Menciptakan alam semesta beserta segala isinya, Menguasai dan Memeliharanya. Semoga kita semua menjadi bagian dari orang-orang yang mendapat karunia dan rahmat-Nya berupa terpeliharanya diri dari kenistaan dan kemaksiatan, sehingga mampu mensucikan diri sebagai bekal dalam menghampiri-Nya.
Sifat Memelihara menjadi salah satu sifat Allah Yang Maha Mutlak. Sifat ini melingkupi hal-hal memiliki, menguasai dan melindungi. Ketiganya mengandung persyaratan sehingga betul-betul memenuhi kaidah dari Sifat Memelihara.
Menguasai artinya mengharuskan adanya pengetahuan. Memiliki, mengharuskan adanya kesempurnaan kemampuan atau kekuasaan. Melindungi, mengharuskan adanya tindakan.
Keluasan pengetahuan, kesempurnaan kemampuan dan kekuatan tindakan atau bertindak, hanya dimiliki secara total dan mutlak oleh Allah Azza wa Jalla. Allah adalah sumber pengetahuan. Dia yang Menciptakan (Khaliq) sekaligus memiliki setiap dan semua yang Diciptakan-Nya (makhluq) dan Dia sendiri yang menjaga serta memelihara makhluk-makhluk-Nya setiap saat. Sesungguhnya Allah menciptakan segala sesuatu tidaklah dengan sia-sia. Allah mempunyai Kehendak terhadap makhluk-makhluk-Nya sehingga Ia tidak akan pernah luput untuk menjaga, melindungi dan memelihara makhluk-makhluk-Nya itu. Subhanallah.
Sedangkan sifat memelihara pada makhluk, adalah manakala ia mengerahkan segenap usaha pada dirinya untuk istiqomah mempertahankan nilai-nilai keimanan dalam hatinya serta menata hati sehingga tidak terjadi turun naik antara iman dan kefasikan.
Yang tumbuh dalam diri orang-orang dipancari cahaya perlindungan Allah adalah pribadi mulia, pengasih dan penyayang terhadap makhluq lemah. Tidak mungkin orang-orang yang tidak memiliki sifat kasih dan sayang mampu menjadi pelindung bagi orang-orang lemah. Hal ini terjadi berkat perlindungan dan kekuasaan serta buah perlindungan dari Allah Azza wa Jalla.
Mudah-mudahan Allah menjadikan diri kita sebagai bagian dari orang-orang yang terpelihara, sehingga yang muncul dalam diri kita adalah pribadi indah yang memiliki kasih dan sayang terhadap sesama makhluq yang lemah dan tidak punya kekuatan apa-apa."
***
Selesai acara tausyiah, Suro kemudian beralih menuju gazebo yang berdiri ditengah ruang terbuka di dalam bangunan padepokan, bersama Li Yun dan Rou Yi menikmati suasana malam itu.
Bulan purnama, menambah suasana malam itu menjadi lebih terang.
"Kakak," Li Yun berkata sambil memeluk lengan Suro, sementara di sisi lain Rou Yi berlaku sama dengan Li Yun, "Aku ingat waktu itu kita berada di gazebo kediamanku. Adik Li merasa suasananya sama dengan saat sekarang ini. Bagaimana menurutmu?"
Suro tersenyum, kalimat Li Yun membuat ingatannya kembali ke masa lalu. Jika difikir, apa yang dikatakan Li Yun memang benar. Suasana saat itu sangat mirip dengan saat ini, hanya saja berbeda tempat. Suro sengaja membuat denah bangunan padepokannya semirip mungkin dengan kediaman keluarga Yang Meng, orang tua Li Yun. Dengan demikian, ia berharap isterinya itu tidak merasa asing dan betah dikediaman yang baru bersamanya ditempat yang berbeda.
"Kakak juga merasakan demikian," jawabnya.
"Adik Li ingat, kakak selalu berlatih tiap malam di halaman yang berada di sebelah kamar ujung. Seolah-olah, berada di tempat ini seperti berada dikediamanku. Kadang-kadang, adik Li masih merasa kalau ayah dan ibu juga ada di sini, kemudian muncul menyapaku dari ruang tamu," ucapnya, ia menyandarkan kepalanya di bahu Suro dengan manja.
Kali ini, Suro tertawa kecil mendengar ucapan Li Yun, "Apakah adik Li bahagia saat ini?"
Li Yun mengangguk sambil tersenyum, wajahnya terarah ke langit, "Umm!"
Lalu Suro menoleh ke arah Rou Yi yang sedari tadi hanya mendengar dialog mereka, tetapi raut wajahnya juga nampak sama seperti Li Yun. Ia seperti sedang menikmati suasana saat itu dengan menyandarkan kepalanya di bahu Suro sambil memejamkan matanya dan tak mau banyak bicara.
"Adik Yi," katanya pada Rou Yi. Gadis itu tak menoleh, hanya memejamkan matanya, tetapi sunggingan senyum disudut bibirnya menandakan ia menanggapi Suro yang berkata padanya, ���Apakah adik Yi betah di sini?"
Rou Yi mengangguk, masih dengan memejamkan mata ia berkata,"Asalkan bersama kakak Luo, dimanapun berada aku pasti betah."
Suro menarik nafas panjang merasakan kelegaan.
"Apalagi kalau nanti adik Li dan Rou Yi melahirkan anak-anak yang cantik dan tampan, lengkaplah sudah," Li Yun menyahut dan mengatakannya tanpa beban.
Suro merasakan anggukan kepala Rou Yi, tetapi kemudian ia merasakan lagi kepala gadis itu bergerak menjauh dari bahunya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Rou Yi menunduk dengan senyum yang terlihat malu dengan pipi yang merah merona. Ia bisa pastikan kalau isteri keduanya itu begitu malu ketika Li Yun mengucapkan kalimat terakhirnya. Rupanya, ia tadi mengangguk spontan dalam keadaan tak sadar. Hal itu membuat Suro tertawa dan membuat Rou Yi menoleh kepadanya.
"Adik Yi, apakah kau malu?" tanya Suro kemudian.
Rou Yi tak menjawab, melainkan langsung melempar pandangannya ke arah lain dengan wajah tersenyum. Ia malu menampakkan wajahnya kepada Suro.
"Kakak, apakah Rou Yi malu mendengar ucapanku barusan?" Li Yun bertanya pada Suro tanpa merasa bersalah.
Suro kembali tertawa. Ia tahu kalau Li Yun itu suka berkata apa adanya, yang terkadang kalimatnya bisa membuat lawan bicaranya seperti tersengat.
"Ah, Li Yun," Rou Yi akhirnya berkata dan berusaha menanggapi ucapan Li Yun, "Memang dalam hal adu bicara, tak ada yang bisa mengalahkanmu."
"Rou Yi, seharusnya kau tidak perlu malu begitu. Bukankah kita ini adalah isteri kakak Luo. Jika dimasa lalu aku berkata demikian, barangkali adalah hal yang wajar jika kau malu, karena status kita waktu itu adalah orang lain. Kakak Luo pun pasti akan menggaruk-garuk kepalanya... Ha.ha.ha."
Li Yun menutup kalimatnya dengan tertawa dan membuat Rou Yi pun akhirnya ikut tertawa.
Di saat demikian, tiba-tiba Suro memberi isyarat kepada kedua istrinya untuk diam. Ia seperti sedang berkonsentrasi pada pendengarannya, wajahnya terlihat serius. Setelah dirasa apa yang membuat perasaannya seperti diawasi menghilang, ia memandang kembali kedua isterinya bergantian. Kemudian berkata pada kedua isterinya, "Sepertinya ada orang yang sedang mengawasi kita."
Rou Yi langsung kembali memegang lengan Suro begitu Suro mengatakan sesuatu yang membuat darahnya mengalir lebih cepat, wajahnya terlihat ketakutan.
Suro pun seperti merasa bersalah, seharusnya ia tak perlu mengatakannya di depan Rou Yi, karena gadis itu pasti akan merasa cemas dan takut dengan kejadian dimasa lalunya.
Dengan lembut, ia meraih tubuh Rou Yi dan mendekapnya, "Adik Yi tenang saja dan tak perlu takut. Bukankah adik bersama kakak? Ada Li Yun dan Bibi Nan Yu juga. Insyaallah, tidak akan terjadi apa-apa."
Ucapan Suro membuatnya sedikit lebih tenang, tetapi ia tetap tak mau melepaskan pelukannya pada Suro.
"Jangan khawatir, Rou Yi," sambung Li Yun, "Kalau perlu, nanti kita minta tolong pada Kakak Seno untuk pindah kemari."
Suro mengangguk, ia tak melihat kepanikan dari raut wajah Li Yun sehingga ia pun mengakui kalau Li Yun cukup berani menghadapi apa pun.
"Lebih baik sekarang kita beristirahat dulu," Suro melanjutkan.
"Aku takut, kakak," ucap Rou Yi, suaranya terdengar sedikit bergetar.
"Sudahlah, adik Yi tenang saja. Barangkali tadi kakak salah," sekarang Suro yang nampak bingung menenangkan Rou Yi. Ia kembali menyesali ucapannya.
Sambil memeluk Rou Yi dan menggandeng tangan Li Yun, Suro menggiring mereka melangkah menuju kamar dan diam-diam mempertajam pendengaran dan perasaannya, barangkali apa yang ia rasakan memang benar, kalau ada orang yang sedang mengawasi mereka yang entah berada dimana.
Ketika kepalanya terangkat ke atas, sebuah bola api berwarna merah menyala melintas di langit sangat cepat di atas kepalanya, namun bola api itu langsung pupus padam dan menghilang, seperti nyala api yang terendam dalam air.
Melihat hal yang demikian, ia pun tersenyum. Ia faham kalau ada orang yang berniat buruk dengan mengirimkan ilmu hitam padanya, dan padamnya bola api itu menandakan kalau ilmu hitam itu punah.
"Alhamdulillah, terima kasih ya Allah," ucapnya dalam hati.