"Kakak, banyak sekali tanaman obat yang baru kuketahui disini," Rou Yi berkata pada Suro.
Hari itu, Rou Yi bersama Suro pergi agak jauh memasuki hutan bambu yang masih berada dalam wilayah Lembah Gezi untuk mengumpulkan tanaman obat sebagai bahan persedian. Sementara, Li Yun tinggal di padepokan untuk mengatur dan merapikan segala sesuatunya bersama Huang Nan Yu.
Hampir tengah hari dengan cuaca yang cukup terik, mereka beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Angin yang berhembus lembut dengan aroma pedesaan sungguh menenangkan hati mereka.
"Umm," Suro mengangguk, "Panduan kita sementara ini adalah mengumpulkan informasi tentang khasiat tanaman obat yang umum digunakan masyarakat. Mengenai arah kerja, sifat dan rasa baru kita susun kemudian untuk memudahkan penggunaannya."
Rou Yi mengangguk sepakat apa yang dikatakan oleh Suro. Memang demikianlah cara menyimpulkan khasiat suatu tanaman obat. Jika tidak diketahui fungsi utama suatu tanaman obat, maka informasi mengenai khasiat suatu tanaman obat itu harus dikumpulkan sebanyak-banyaknya, kemudian dirasakan langsung dengan cara mencoba memakannya sendiri untuk menganalisa kekuatan, sifat dan arah kerja dari tanaman obat tersebut. Sehingga nantinya, akan memudahkan dalam hal peresepan sesuai dengan kondisi dan kumpulan gejala keluhan yang diderita oleh pesakit.
Rou Yi menyandarkan kepalanya di bahu Suro diiringi helaan nafas panjang, kedua matanya yang bening menyiratkan kebahagian yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata.
Kondisi demikian langsung mengingatkannya pada masa lalu saat-saat berdua seperti ini dengan aktivitas yang sama di Lembah Gezi.
"Kakak, apa yang kita lalui dulu seperti baru kemarin terjadi, ya. Saat dimana kita sedang mencari tanaman obat di hutan Lembah Gezi," ucap Rou Yi mengenang masa lalunya.
Suro tersenyum, memeluk tubuh Rou Yi disampingnya dan mengusap-usapnya beberapa kali. Pastinya ia masih mengingat jelas apa yang mereka alami waktu itu.
Pemuda Suro yang malu, dan gadis Rou Yi yang pendiam tetapi gampang marah karena hal-hal yang Suro sendiri tidak mengetahui penyebabnya.
Kini, gadis itu begitu dekat dengannya sebagai isteri. Rasa yang sulit diungkapkan kebahagiannya.
"Seperti mimpi, ya," sahut Suro.
Pemuda itu merasakan kalau Rou Yi menganggukkan kepala dibahunya, lalu dliliriknya gadis itu tersenyum.
"Aku tak menyangka kalau akhirnya sekarang aku sudah menjadi isterimu. Padahal waktu itu aku hanya bisa berkhayal. Sebab, aku tahu kalau kakak hanya mencintai Li Yun seorang, dan sangat tidak mungkin bagiku untuk merebut kakak darinya," Rou Yi berkata sambil mengenang masa lalu mereka.
Dalam hati Rou Yi, ia sangat berterima kasih pada Li Yun. Sangat sulit menemukan sosok gadis seperti Li Yun yang rela berbagi suami kepadanya. Karena gadis itulah dirinya bisa menikah dengan Suro, pemuda yang ia cintai.
Suro menarik nafas panjang, lalu menarik tangannya agar tubuh Rou Yi menempel lebih dekat tetapi pandangan matanya tertuju ke langit biru dengan menyungging senyuman.
"Semua sudah tertulis di langit. Bagaimana pun aku menolak, tetap saja tak bisa kuhindari. Tetapi, kakak selalu yakin, bahwa apapun yang ditakdirkan untuk kita adalah yang terbaik sepanjang kita juga selalu berbuat baik dan beramal sholeh mengharap ridho-Nya. Jika sudah demikian, maka Allah lah yang mengambil alih perjalanan hidup kita sesuai dengan keinginanNya."
Rou Yi mengangguk dalam dekapan Suro, rasanya ia begitu lelah dan mengantuk hingga ingin memejamkan matanya.
"Kakak, setelah apa yang kita lalui, mengapa sepertinya Allah membuat kita selalu menangis?" tanya Rou Yi kemudian.
Suro langsung melirik wajah isterinya ketika selesai bertanya.
"Memegang Islam itu seperti memegang bara api. Jika kita mau berfikir positif, harusnya kita bersyukur, orang-orang yang kita sayangi dan setia mendampingi kita selama menjalani peristiwa tragis malah dipanggil duluan. Sebab, bisa jadi jika mereka masih tetap hidup, suatu saat akan tergoda oleh dunia dan kembali lepas dari Islam, bukankah itu sangat merugikan? Allah memanggil mereka disaat yang tepat, dimana mereka masih dalam keadaan bersih karena baru mengenal Islam. Jika mereka hidup dan ada yang mengingatkan atau membimbing mereka jika berbuat salah, itu tak masalah. Tetapi, bagaimana sebaliknya? Contoh saja gerombolan Srigala Merah. Mereka adalah gerombolan perampok yang telah bertobat. Seandainya mereka masih hidup di negeri sana, sementara kakak tidak berada diantara mereka, siapa yang bisa menjamin mereka masih tetap dalam keadaan selamat?"
Rou Yi sangat antusias mendengarkan nasehat Suro, wawasannya semakin bertambah. Secara jujur ia mengakui bahwa yang dikatakan Suro memang benar. Iman seseorang itu tidaklah selalu datar, tetapi kadang naik dan kadang turun.
Ia baru sadar, ternyata jika ia mampu untuk selalu berfikiran positif dan bersangka baik pada sang pencipta, maka akan selalu bisa menemukan hikmah dibalik peristiwa.
Mendapati Rou Yi nampak sedang berfikir, Suro langsung tersenyum, kemudian melanjutkan kalimatnya.
"Rasulullah SAW pun mengajarkan umatnya untuk selalu berpikir positif dalam segala hal. Karena semua kejadian, apa pun itu, berada sepenuhnya dalam genggaman Allah SWT dan terjadi karena seizin-Nya. Dengan berpikir positif, seseorang akan mampu menyikapi setiap kejadian dengan cara terbaik. Selain itu, ia pun akan mampu menghadapi hidup dengan optimis. Betapa tidak, ia dekat dengan Allah Dzat Penguasa yang ada. Karena itu, Rasulullah SAW mengungkapkan bahwa orang beriman itu tidak pernah rugi, diberi nikmat dia bersyukur. Syukur adalah kebaikan bagi dirinya, diberi ujian dia bersabar, dan sabar adalah kebaikan bagi dirinya."
Gadis itu langsung menatap wajah Suro dengan penuh kekaguman. Apa yang ada dalam kepalanya seperti diurai kembali dalam kalimat yang Suro ucapkan.
Rasa syukurnya semakin bertambah setiap melihat wajah Suro.
"Ah, Li Yun, aku berterima kasih padamu yang mau merelakan berbagi suami seperti ini denganku," Rou Yi membatin dan langsung teringat pada Li Yun.
"Kakak, aku berjanji akan selalu berbuat yang terbaik untuk keluarga kita," bisiknya lembut.
Suro tersenyum dan mengangguk, "Semoga apa yang Allah anugerahkan pada kakak, dengan dua isteri yang cantik dan baik hati ini, akan menjadikan keluarga kita sebagai orang-orang yang pandai bersyukur."
***
Sebulan kemudian di Padepokan Cempaka Putih.
Beberapa orang berdatangan dan duduk mengantri pada bangku yang telah dipersiapkan pada ruang pengobatan seperti hari-hari sebelumnya. Usia mereka bervariasi, tua dan muda, laki-laki dan perempuan.
Satu-persatu mereka masuk bergantian ke dalam ruang pengobatan yang terbagi dua, untuk laki-laki dan perempuan yang dilayani oleh Suro dan Rou Yi, sementara Li Yun dibantu Huang Nan Yu bertugas menyiapkan ramuan sesuai arahan Suro dan Rou Yi.
"Untunglah ada tempat ini," salah satu penduduk yang datang berobat berkata pada orang yang berada disebelahnya.
"Iya, kita tidak kalang kabut lagi jika sakit. Ramuannya juga sudah disiapkan," sahut orang yang diajak bicara.
"Tapi aku masih takut dengan cara pengobatannya menggunakan jarum yang ditusuk-tusuk itu. Takut sakit tetapi ingin sembuh," yang lain menyambung.
"Kata tetanggaku yang datang kemari, tidak semua orang sakit perlu diobati dengan cara begitu. Kadang hanya diperiksa kemudian diberi ramuan."
"Aku dengar juga begitu. Tapi tak apalah jika memang caranya demikian, asalkan bisa sembuh. Katanya juga tidak begitu sakit."
Orang-orang saling berdialog satu sama lain membahas kehadiran Padepokan sekaligus tempat pengobatan di lingkungan mereka.
Di dalam ruangan, Suro duduk menghadap salah satu pasiennya. Sambil memeriksa gambaran lidah dan denyut nadi, Suro kerapkali menyelinginya dengan obrolan santai, hingga pasiennya tidak merasa tegang.
Hal demikian juga dilakukan oleh Rou Yi.
Sementara di bagian pengambilan obat, Li Yun bersama tetua Huang Nan Yu pun melakukan pelayanan terbaiknya. Setelah mengumpulkan bahan satu persatu sesuai catatan yang diberikan oleh Suro mau pun Rou Yi, lalu mengemasnya jadi satu paket dan memberikannya pada pasien sambil mendo'akan kesembuhannya.
Lama-kelamaan, bahasa daerah mereka pun menjadi lebih lancar.
Menjelang tengah hari, padepokan itu sudah sepi. Keluarga kecil Suro sudah bisa beristirahat sambil menikmati hidangan santap siang.
Di ruang tengah padepokan terdapat taman yang ditanami aneka tanaman bunga, mengeliling sebuah bangunan gazebo unik. Untuk menuju ke dalam gazebo, mereka harus melewati jembatan kecil yang dibawahnya terdapat kolam berisi ikan pangan, karena di daerah ini, tidak ada ikan hias seperti dikediaman keluarga Yang.
Mereka berkumpul di dalam gazebo sambil mengobrol santai.
"Adik Li hebat, sudah mulai cekatan dalam meramu tanaman obat," puji Suro.
Pujian pemuda itu langsung membuat pipi Li Yun merona.
"Itu semua 'kan karena rutin dikerjakan, jadi hafal. Adik Li cuma mengumpulkan saja, tetapi tidak menentukan komposisinya," jawab Li Yun.
Suro tersenyum mendengarnya, "Benar. Jadi kakak bisa fokus memeriksa pasien tanpa terganggu pertanyaanmu."
"Oh, jadi selama ini jika adik menanyakan kembali resep yang kakak tuliskan itu mengganggu kakak, ya?" matanya tajam menelisik mata Suro.
Tatapan Li Yun bukan membuatnya ketakutan, malah sekarang Suro sudah berani menantang mata Li Yun lalu tangannya langsung mengusap-usap dan meremas-remas kepala Li Yun dengan gemas.
"Ha.ha.ha... kakak hanya bercanda isteriku sayang," katanya dengan tertawa.
Suasana waktu itu sangat mereka nikmati, suara tawa lepas terdengar menggema menyelimuti rumah itu di tengah hari. Tidak ada beban yang menyelimuti hati mereka.
"Eh, kakak," Rou Yi menyambung dengan sisa tawanya, "Li Yun sekarang juga sudah pintar memasak. Masakan yang kita santap tadi adalah masakan buatannya."
Suro lalu menatap Li Yun seolah tak percaya.
"Wah, hebat. Kakak kira tadi itu masakan adik Yi. Ternyata,.... Hmm.. Luar biasa!" pujiannya ditujukan pada Li Yun sambil menjulurkan lidah mengusap bibirnya sendiri.
Li Yun terlihat girang, senyumnya langsung terlihat mengembang mendengar pujian Suro, "Benarkah masakanku enak?"
Suro tersenyum sambil mengangguk, "Umm!".
"Tapi, tetap saja masih enak masakan Rou Yi. Sebab, Rou Yi lah yang sudah mengajariku.
Mendengar namanya disebut, buru-buru Rou Yi menengok ke arah Li Yun.
"Ah, tidak. Itu karena engkau memang berbakat," Rou Yi mengatakannya merendah dan itu langsung membuat Suro tertawa lepas.
"Percayalah, semua masakan yang dibuat oleh isteriku pasti akan kakak makan, karena aku yakin semuanya enak," sahutnya.
Di saat mereka tengah asyik bercanda, terdengar suara ucapan salam dari arah pintu luar. Suro langsung bisa menebak siapa si pemilik suara.
Tak lama kemudian, satu sosok tubuh Seno muncul dan langsung berjalan ke arah mereka.
"Assalamu'alaikum!" ia mengulangi ucapan salam diiringi senyum cerianya melihat keluarga Suro sedang berkumpul.
Selesai menjawab salam, Li Yun, Rou Yi dan Huang Nan Yu langsung berdiri dan membungkukkan badannya memberi hormat. Tentu saja kelakuan dua isteri Suro itu membuat Seno nampak kikuk karena tak terbiasa disambut seperti itu.
"Kakak Seno."
"Seno."
Seno terdiam berdiri ditempatnya sesaat, tangannya seperti bergerak sendiri menggaruk-garuk kepalanya. Melihat saudara seperguruannya itu bertingkah demikian, Suro tersenyum. Kemudian menatap ke arah Li Yun yang juga tersenyum melihat Seno.
Suro langsung bisa menebak kalau nanti akan keluar kalimat celetukan dari Li Yun.
"Kakak Seno, apakah semua murid Cempaka Putih selalu menggaruk-garuk kepalanya ketika dalam suasana tertentu?" benar saja apa yang difikirkan Suro, Li Yun langsung berkata seperti tanpa beban.
Suro tersenyum, sementara Seno nampak gelagapan dan seperti tak mengerti maksud perkataan Li Yun barusan.
Ditatapnya wajah Suro dengan pandangan keheranan, lalu kembali memandang ke arah Li Yun yang masih tersenyum padanya.
"Apa maksud adik Li Yun?" tanyanya dengan wajah lugu.
Rou Yi langsung menutup mulutnya menahan suara tawa yang akan keluar.
"Ah, tidak. Masalahnya, Kakak Luo juga sering menggaruk kepalanya jika dia merasa aneh dan kikuk," jawab Li Yun, lalu kemudian ia tertawa.
Sambil senyum-senyum, Seno kembali melangkahkan kakinya memasuki gazebo dan langsung duduk di sebelah Suro.
"Bukan begitu, aku tak sadar kalau tadi sedang menggaruk kepala," jawabnya cengengesan.
Rou Yi kemudian menuangkan teh dari teko kedalam gelas keramik yang kosong yang ada di atas meja, dan menyuguhkannya kepada Seno.
"Silahkan kakak, ini teh herbal yang kami bawa dari China. Kebetulan masih tersisa sedikit," ucap Rou Yi.
"Terima kasih, adik Rou Yi," sahut Seno, "Terus terang, aku masih merasa aneh dengan penyambutan kalian.... Ha.ha.ha."
Akhirnya mereka semua tertawa bersama. Baik Li Yun, Rou Yi dan Huang Nan Yu sebenarnya tak sadar kalau mereka tidak lagi berada dinegerinya. Tetapi, mereka fikir begitulah cara penghormatan atau penyambutan pada orang lain yang terlihat sopan.
"Maafkan kami, nak Seno. Kami masih dalam masa belajar, kebiasaan kami masih sering terbawa-bawa," Huang Nan Yu berkata sambil tersenyum.
Seno langsung mengibaskan kedua tangannya beberapa kali dan menjawab kalimat wanita tua itu dengan cepat, "Tidak-tidak! Mengapa bibi minta maaf. Itu adalah hal yang wajar dan bisa dimaklumi."
Sekali lagi suara tawa kembali terdengar hingga beberapa saat.
"Kangmas dari mana? Apakah dari rumah?" Suro bertanya setelah tertawa mereka selesai.
"Aku dari desa sebelah," katanya, lalu berdecak beberapa kali sambil menggelengkan kepala, "Nama padepokan ini langsung tersebar, tetapi lebih pada tempat pengobatan."
"Oh, ya?" Suro langsung tersenyum mendengar informasi dari Seno, tiba-tiba saja hatinya merasa senang, "Artinya padepokan Cempaka Putih bagi mereka bukanlah sebuah perguruan pencak silat."
Seno mengangguk dan juga tersenyum, "Jika memang itu harapanmu, tak masalah. Barangkali padepokan ini akan terkenal sebagai perguruan pencak silat beberapa puluh tahun ke depan, dimana saat itu orang yang bernama Wulung, yang membakar padepokan kita di masa lalu sudah sangat tua atau bahkan mati."
Selesai berkata demikian, Seno langsung tertawa.
Jika memang yang dikatakan Seno benar, artinya Suro tak perlu lagi khawatir kalau padepokan yang ia dirikan akan didatangi oleh musuh lamanya.
"Umm!" anggukan Suro nampak semangat dan membayangkan kebenaran ucapan Seno benar, "Semoga saja."
Seno kemudian tersenyum aneh, lalu dengan suara agak pelan setengah berbisik ia mendekatkan kepalanya pada kepala Suro.
"Tetapi, ada hal lain yang membuat nama padepokan ini terkenal," katanya.
Suara Seno yang masih bisa terdengar oleh yang lainnya rupanya menarik perhatian dan membuat penasaran.
"Apa itu?"
"Bahwa di padepokan ini, dilayani dua orang gadis yang ayu dan cantik," kali ini suara Seno sengaja dibuat lebih keras hingga mereka yang ada di dalam Gazebo itu bisa mendengar dengan sangat jelas.
Mereka pun saling pandang dan saling senyum satu sama lain. Sementara Seno pun kembali tertawa.
NEXT ---- PERTARUNGAN YANG LI YUN