Ia tak mau terlalu lama berargumen agar Perwira Chou langsung menanggapinya. Suro bermaksud tidak memberikan pilihan lain selain bertarung satu lawan satu dengannya tanpa memanfaatkan prajurit untuk menangkapnya.
Mempersempit dialog akan membuat Perwira Chou langsung terfokus dan mengikuti kemauan Suro.
"Setan!" makinya kemudian. Wajahnya nampak memerah begitu mendapati Suro seperti menghinanya dengan sebutan takut mati.
Benar saja, Perwira Chou terpancing. Ia langsung membuat sebuah sikap siap tempur.
Dengan gerakan tiba-tiba, pukulannya melesat seperti anak panah yang lepas dari busurnya diiringi dengan lompatan tubuh yang ringan.
Suro menangkap tangan itu, lalu membaliknya dengan sebuah gaya kuncian. Tubuh perwira Chou terseret, tetapi kemudian ia berhasil melepaskan tangannya dari kuncian tangan Suro, lalu menggantinya dengan serangan tendangan.
Gaya mengelak ke kiri membuat tendangan kaki lawan menemui tempat kosong, malah tubuh Suro langsung menempel, menangkap bahu Perwira Chou.
Dengan hantaman kepala, Perwira Chou menyerang kepala Suro. Suro langsung membuka telapak tangannya membendung serangan kepala lelaki itu, lalu memasukkan kepalan tangannya menembus pertahanan perwira Chou.
Jika tubuh Perwira Chou tidak luwes, pukulan Suro sudah pasti telak menghantam dadanya.
Lelaki itu menyadari, gaya bertarung Suro adalah mirip dengan gerakan Tai Chi, namun penuh muslihat. Salah-salah, maka gerakannya akan terkunci dan bisa berakibat fatal. Jika anggota tubuhnya tidak patah, pastilah luka. Suro sangat menguasai pertarungan jarak dekat!
Selama ini, sangat jarang Suro menggunakan keahlian beladiri yang paling dikuasainya. Dalam pertarungan, yang sering ia mainkan adalah gerakan-gerakan dari kungfu Tai Chi yang dipelajarinya dari Huang Nan Yu.
Mengingat lawannya kali ini adalah Perwira Chou, dan dengan niat ingin segera mengakhiri pertarungan, maka gaya bertarung Silat Cempaka Putih yang ia mainkan.
Dari pertarungan ini, Suro dapat merasakan kalau kemampuan beladiri lawannya sudah meningkat pesat. Perwira Chou sudah banyak berlatih keras untuk menghadapi Suro.
Disisi lain, meskipun Perwira Chou pernah berhadapan dengan Suro, ilmu beladiri yang sebenarnya dikuasai oleh pemuda itu baru kali ini ia ketahui secara utuh. Karena pertarungan-pertarungan sebelumnya, Suro tak sepenuhnya menampakkan gaya bertarung dari Silat aliran Cempaka Putih. Dan itu cukup membuatnya shock!
Suatu kesempatan, mereka masing-masing melompat mundur sambil mengatur nafas. Saat ini, kemampuan masing-masing masih terlihat seimbang.
Mereka yang menyaksikan sama berdecak kagum, dan masing-masing memberikan tanggapan atas pertarungan itu, mengenai siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Wajah Suro seperti berubah masam, tak menduga jika ternyata orang yang dihadapinya sekarang berbeda ketika pertama kali bertemu. Sangat sulit melumpuhkan lelaki itu meskipun ia sudah berusaha untuk menguncinya.
Di sisi lain, Perwira Chou nampak tersenyum mengejek. Ia merasakan hasil latihannya sangat bermanfaat ketika menghadapi Suro. Tetapi ia juga agak pesimis dengan jurus-jurus yang dikeluarkan oleh Suro, sangat berbeda dengan waktu pertama kali bertarung.
Tiba-tiba ia mengangkat tangannya ke atas, membuat Suro terkejut.
"Serang mereka semua, jangan ada yang tersisa!" gerakan tangan Perwira Chou merupakan isyarat perintah pada para prajuritnya untuk bergerak.
Dengan gerakan sigap, para prajurit pun langsung melompat turun dari atas kuda. Sambil menghunuskan pedang, mereka merangsek maju menyerbu Suro dan Yutaka Shisido.
Mendapat serangan demikian, sontak Yan dan Mei Li, menjerit ketakutan.
Sring!
Yutaka Shisido menarik pedang panjangnya, disusul kemudian oleh Suro. Kemudian mereka pun terlibat dalam pertempuran cukup sengit.
Denting suara pedang langsung menggema.
Tampak sekali Yutaka Shisido bergerak dengan sangat marah sambil mengayunkan pedangnya, sementara anak dan isterinya bergerak kesana kemari berlindung dibelakangnya dari serangan pedang para prajurit yang berusaha melukainya.
Bet!
Bet!
Tak sampai hitungan menit, beberapa orang prajurit roboh bersimbah darah terkena sabetan pedangnya yang tajam. Jelas saja, mereka bukanlah lawan yang sebanding dengan Yutaka Shisido.
Sementara, Suro yang juga nampak sibuk sesekali melirik ke arah Yutaka Shisido sambil mengawasi jangan sampai para pengeroyoknya berhasil melukai mereka.
Ia berusaha sambil melakukan serangan, bergerak lebih dekat ke arah Yutaka Shisido dan keluarganya, mencoba mencari celah untuk dapat meloloskan mereka dari pertarungan ini.
Tahu strategi yang dilakukan Suro, Perwira Chou melompat dan langsung melakukan serangkaian serangan ke arah Suro silih berganti bersama prajuritnya.
Apa yang dilakukan lelaki itu membuat Suro menjadi jengkel. Usahanya mendekati Yutaka Shisido yang melindungi keluarganya dihambat oleh Perwira Chou.
Dia pun langsung melompat mundur menjauh, menangkap pakaian perang yang digunakan salah satu prajurit yang terdekat, lalu melemparnya ke arah Perwira Chou.
Berhasil!
Perwira Chou merasa gerakannya menyerang Suro terhalang tubuh prajuritnya yang dilemparkan kepadanya.
Satu prajurit kembali menyerang, bukan melakukan tebasan untuk membunuh prajurit itu, Suro malah menghindar dan membuat cara yang sama, yakni menangkap dan melempar prajurit itu kembali ke arah perwira Chou.
Akhirnya, Suro sudah berada sangat dekat dan saling membelakangi punggung Yutaka Shisido, sementara keluarga lelaki itu berada ditengah-tengah mereka.
"Aku akan membuat prajurit itu kocar-kacir dan membuka kepungan, jika sudah demikian, berlarilah ke arah salah satu kuda mereka, lalu pergilah. Mereka pasti tak akan mengejarmu, karena target utamanya adalah aku," Suro berbisik sambil melirik ke arah Yutaka Shisido.
Meskipun Yutaka Shisido mendengarnya secara samar dan terpotong-potong, nampaknya ia memahami apa yang disampaikan oleh Suro. Ia pun mengangguk.
Tetapi, dalam hati ia menolak dan bertekad akan terus mendampingi Suro sampai pemuda itu berhasil menaklukkan Perwira Chou.
Mendapat perlakuan seperti itu membuat Perwira Chou marah, maka tubuh prajurit yang dilemparkan padanya bukannya ia sisihkan, melainkan menebas langsung dengan pedangnya hingga mati.
Suro menggeleng-gelengkan kepala melihat perlakuan Perwira Chou terhadap anak buahnya. Ia seperti melihat lelaki itu seperti iblis bertubuh manusia. Tanpa rasa iba, anggotanya sendiri malah ia bunuh.
Justeru karena hal itulah, beberapa orang prajurit tidak ada yang mau menyerang Suro. Takut ketika serangan mereka gagal, tubuh mereka yang berhasil diraih oleh Suro akan dilemparkan ke arah Perwira Chou, keadaannya malah semakin bertambah buruk. Mati ditangan atasannya sendiri!
Sebenarnya ini merupakan keuntungan buat Suro, tak ada lagi prajurit yang ia hadapi karena takut. Mereka malah beramai-ramai menyerang Yutaka Shisido!
"Kejam!" batinnya.
"Bukankah lebih baik kita bertarung saja satu lawan satu daripada anda menghabisi orang-orang anda sendiri?" Suro berseru sambil mengayun-ayunkan pedangnya.
Lelaki itu mendengus. Ia langsung menebas tubuh Suro dengan cepat!
Tring!
Suro menangkis dan menyisipkan tendangan keras ke ulu hati. Mau tak mau, Perwira Chou mengelak dan kembali menebas kaki Suro.
Pemuda itu buru-buru menarik kakinya, lalu menyorongkan badannya ke depan menghantam lelaki itu dengan serangan bahu. Hantaman Bukit Baja!
Teknik ini paling sering Suro gunakan, dan efektif dalam jarak dekat. Pengalaman dari pertarungan sebelumnya membuat Perwira Chou belajar cara mengantisipasi teknik yang dilancarkan oleh Suro. Ia tak mau meladeni serangan itu, maka ia melakukan gerakan mengelak.
Tak jauh, Yutaka Shisido nampak kelimpungan dengan bergerak kesana-kemari. Ia seperti induk ayam yang berusaha melindungi anak-anaknya dari serangan musang yang mengepungnya.
Jika ia bergerak ke depan, anak dan isterinya akan lepas dari jangkauan pedangnya, dan ia musti buru-buru melompat untuk menutup celah serangan lawan. Begitu ia kembali, serangan lain bakal mengancam keluarganya dari arah yang berbeda.
Suro tak tinggal diam, walaupun tampak sibuk melayani serangan-serangan lawan, dengan sudut matanya ia masih bisa sesekali mengawasi pergerakan Yutaka Shisido.
Kini, prajurit yang tersisa tinggal hitungan jari, dan itu membuat mental mereka jatuh dengan hanya berputar-putar mengelilingi Yutaka Shisido tak berani melakukan serangan. Sudah banyak rekan mereka yang mati ditangan lelaki itu, dan mereka pun tak mau menyusul untuk mati pula.
Kemenangan sebenarnya ada dipihak Suro dan Yutaka Shisido, karena butuh beberapa puluh korban berjatuhan hanya untuk menaklukkan mereka. Perwira Chou kalah banyak.
Tetapi, memang watak kejam dari lelaki itu membutakan mata hatinya. Ia seolah tak perduli berapapun banyaknya korban demi untuk ambisinya menangkap Suro.
"Cepat anda pergi dari sini!" Suro berseru pada Yutaka Shisido yang nampak bersiaga dengan pedangnya, berjaga-jaga kalau ada prajurit yang berani mendekat.
Tanpa mengalihkan pandangan matanya, lelaki itu menjawab, "Tenanglah. Aku akan pergi sampai pertarungan ini selesai!"
Suro sepertinya dongkol mendengar jawaban Yutaka Shisido. Maksudnya meminta lelaki itu pergi adalah agar ia bisa lebih leluasa untuk melawan Perwira Chou. Ia sudah melihat peluang dengan kejatuhan mental prajurit yang tak berani maju menyerang Yutaka Shisido. Jika mau, mereka bisa pergi begitu saja tanpa halangan.
"Bantulah aku, jangan pecah perhatianku!" pinta Suro sambil sesekali ia menanggapi serangan-serangan dari Perwira Chou.
Bagi Yutaka Shisido, tindakannya meninggalkan Suro bisa menjatuhkan martabatnya sebagai seorang pendekar.
Apa yang akan ia katakan ketika nanti bertemu dengan keluarga Suro? Maaf, aku telah meninggalkan pendekal Luo bertarung menghadapi Chou Liang? Hah! Ia tak mau dikatakan pengecut. Hal itu aib besar baginya.
Tetapi demi mendengar permintaan Suro, sepertinya memang ia harus pergi, dan kelak ia pasti akan kembali lagi jika Suro tak segera menyusulnya, atau selesai ia membawa keluarganya bersembunyi ke tempat yang aman, ia bertekad langsung kembali.
Apalagi ucapan Suro yang terakhir menandakan kalau ia justeru menjadi beban bagi Suro jika tidak pergi.
"Ah, itu lebih baik!" fikirnya.
Akhirnya, ia pun mengurung anak dan isterinya dengan tangannya, lalu mengarahkan mereka menuju ke salah satu kuda yang ada ditempat itu.
"Pendekar Luo, sebelumnya aku sangat berterima kasih atas bantuanmu. Percayalah, aku akan segera kembali!" Yutaka Shisido mengatakannya sambil terus berjalan.
"Anda jangan khawatir. Aku baik-baik saja!" jawabnya.
Suro tak bisa berkata banyak karena kesibukannya meladeni serangan-serangan keras dari Perwira Chou. Tetapi nampak sekali kalau ia merasa lega dari raut wajahnya. Kini ia bisa bertarung tanpa beban.
Dengan satu kuda, Yutaka Shisido memacu kudanya dan pergi meninggalkan tempat itu bersama keluarganya.
Para prajurit yang tersisa rupanya tak berani mengejar, hanya memandanginya saja tanpa berbuat apa-apa, dan itu membuat Perwira Chou berteriak marah.
"Kalian prajurit rendah! Mengapa diam saja? Cepat kejar!"
Para prajurit saling pandang, mengejar Yutaka Shisido sama saja mengantar nyawa mereka untuk mati konyol.
Bisik-bisik pun terjadi diantara mereka, yang kemudian memandang ke arah Perwira Chou dengan pandangan kebencian!
"Kenapa diam saja! Dasar tolol!" Perwira Chou mengumpat mereka dengan sangat marah.
Yang terjadi sungguh diluar dugaan lelaki itu, para prajurit justeru menyarungkan pedangnya kembali lalu mereka berlari ke arah kuda-kuda yang tertinggal. Dengan sigap, mereka menaikinya dan meninggalkan pemimpin mereka bertarung dengan Suro.
Pemuda itu tersenyum mengejek ke arah Perwira Chou yang tak mampu berkata apa-apa melihat prajurit-prajuritnya yang tersisa pergi meninggalkannya.
"Tak ada pemimpin lalim yang disukai bawahannya! Seharusnya anda menerima tawaranku dari awal untuk berduel. Akhirnya, kita juga tetap berduel, 'kan?"
Buk!
Satu pukulan telapak tangan dari Perwira Chou telak mendarat di dada Suro hingga pemuda itu terhuyung mundur.
Nafasnya terasa sedikit sesak. Tetapi tatapan matanya tak lepas memandang ke arah Perwira Chou dengan tajam.
"Baiklah! Kali ini tidak ada lagi yang bisa keluar dari pertaruangan. Hidup-matimu akan ditentukan hari ini!" Perwira Chou berkata sambil menyeringai.
Suro mendengus. Sekelebat ingatannya dimasa lalu langsung bermunculan, memainkan drama tragis mengenai beberapa anggota keluarganya yang tewas akibat ulah lelaki dihadapannya itu.
Dendam yang sudah ia kubur dalam-dalam kini bertumbuhan bagai benih begitu melihat tampang Perwira Chou.
Meskipun ia juga merasakan kebenaran bahwa memelihara dendam itu sangatlah menyakitkan dan membuat hati tak tenang sepanjang masanya. Yang ia inginkan hanyalah segera keluar dari negeri ini dan pulang ke nusantara membawa keluarganya yang tersisa.
Tetapi, kenyataannya yang terjadi justeru menuntunnya untuk berhadapan dengan Perwira Chou, membongkar benih dendam itu sampai keakar-akarnya.
"Jauh-jauh hari aku sudah melupakan semua urusanku denganmu. Tetapi nampaknya, anda sendiri yang memang ingin berurusan denganku. Maka, jangan salahkan untuk kali ini aku tidak akan memberimu pukulan setengah-setengah seperti dulu!" Suro berkata dengan tenang, tetapi dibalik ketenangannnya itu mengandung kemarahan.
Perwira Chou tersenyum menyeringai, sudut bibirnya menggambarkan kalau ia sedang mengejek Suro.
"Kita akan lihat siapa yang akan melihat mayat!" katanya.
Lelaki itu kemudian mengarahkan ujung pedangnya kepada Suro yang seperti sedang mengatur nafas.