Menjelang Subuh, didalam hutan yang ditumbuhi tanaman bambu, penunggang kuda berpakaian hitam yang ternyata seorang lelaki itu menghentikan kudanya, lalu menurunkan Rou Yi yang berada didepannya dengan kasar. Saking kasarnya, membuat gadis itu jatuh terjerembab dan mengakibatkan pergelangan kaki kanannya terkilir.
Rou Yi mencoba berdiri, tetapi kemudian ia kembali jatuh dan hanya mampu menyeret tubuhnya secara mundur menjauh. Tubuhnya gemetaran, panik dan ketakutan sambil menangis ketika lelaki itu mendekat dan memandangnya dengan tatapan penuh nafsu.
Setelah menambatkan kudanya, ia langsung mendekati Rou Yi.
"Jangan mendekat!" teriaknya.
Teriakan Rou Yi tak digubrisnya, malah langsung menarik tangan Rou Yi dan mengangkat tubuhnya ke pundak, lalu melangkah santai ke tempat yang lebih rimbun dari tempatnya menambatkan kuda.
Berulang-ulang Rou Yi menggerak-gerakkan anggota tubuhnya berusaha melepaskan diri dari cengkraman lelaki itu. Namun, hasilnya sia-sia. Ia terlalu kuat bagi gadis lemah seperti dia yang tak menguasai kungfu.
Di rasa cukup jauh, lelaki itu kembali meletakkan tubuh Rou Yi dengan sedikit kasar.
Begitu tubuhnya berada di tanah, ia mencoba berdiri, tetapi kakinya yang terkilir tak bisa ia jejakkan dan membuatnya jatuh kembali.
Lelaki itu membiarkan Rou Yi berusaha menjauh, dan ia pun sengaja berjalan mendekat.
Rou Yi tidak menyangka kalau nasibnya bisa seperti ini. Kejadian yang menimpa dirinya di Lembah Gezi, dimana Yun Se saat itu sudah berada diatas tubuhnya, yang nyaris membuat ia kehilangan harta paling berharga langsung terputar kembali dalam ingatannya.
"Tolong,.... Jangan mendekat!" katanya lagi diselingi dengan suara tangisan.
Lelaki itu hanya tertawa menyeringai. Pandangan mata penuh nafsu nampak semakin menggelora ketika Rou Yi berkata dengan suara mengiba.
Rou Yi berusaha terus menjauh dengan gerakan mundur diantara batang-batang bambu yang tumbuh di situ. Gaun yang ia kenakan sudah nampak kotor disana-sini.
"Ayo, teriaklah lebih keras," tantang lelaki itu sambil terus saja melangkah maju, senyumnya menyeringai.
Ia sengaja membuat Rou Yi semakin panik dan ketakutan, terdesak sampai gadis itu tak berkutik. Dimatanya, kondisi Rou Yi yang demikian membuat nafsunya semakin tinggi.
Sret!
Tangan lelaki itu meraih gaun bagian bawah Rou Yi sambil menariknya dengan tarikan yang keras, membuat robekan panjang sampai ke pinggang, hingga menampakkan bagian betis kaki Rou Yi sampai ke pahanya.
Lelaki itu kembali tertawa senang, tak ada rasa iba dan kasihan melihat korbannya yang gemetar ketakutan setengah mati.
Buru-buru, Rou Yi berusaha menutupi betisnya yang tersingkap dengan kain sisanya yang menjuntai, ketika dengan cahaya yang remang-remang, mata lelaki itu terlihat semakin jelalatan menelusuri tubuhnya.
"Tolong, tuan. Hentikan, jangan sakiti aku...." Rou Yi terus mengiba.
Ia tahu apa pun yang ia katakan tak akan membuat lelaki yang menculiknya itu merasa iba dan mengurungkan niat jahatnya. Tetapi, ia bisa apa selain memohon. Apalagi ketika ia salah mengambil gerakan mundur yang justru tertahan oleh batang bambu yang bertaut. Dan itu membuat lelaki itu bisa mendekatinya dengan mudah.
Sambil duduk berjongkok, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Rou Yi. Sampai-sampai hembusan nafasnya bisa ia rasakan dipipinya dan membuat gadis itu memalingkan kepalanya.
Hanya tinggal beberapa jari saja bibir lelaki itu sudah menyentuh pipi Rou Yi yang lembut.
Kedua tangannya langsung mencengkram kedua bahu Rou Yi dengan kuat dan keras hingga gadis itu menjerit kesakitan. Jeritan itulah yang ditunggu oleh lelaki itu. Baginya, jeritan itu adalah suara nyanyian yang merdu dan menggoda nafsunya.
"Hmmm...." ia membuat gerakan mengendus yang dalam, seolah menikmati harum wangi tubuh Rou Yi, "Bau tubuhmu harum sekali, membuatku bertambah...."
Kepalanya semakin mendekat lalu berusaha mencium pipi gadis itu dengan gerakan memaksa.
Rou Yi berkali-kali menghindar dengan mencoba menjauhkan pipinya dari bibir lelaki yang mencoba menciumnya dengan paksa itu. Kedua bahunya yang ditekan terasa sakit dan membuat ia tak berkutik.
Teriakan histerisnya tak berarti apa-apa ditempat seperti itu.
"Ayolah, nona," katanya sambil tertawa senang, "Kau juga pasti akan menikmatinya juga..."
Secara refleks, gadis itu menggunakan lututnya untuk menendang selangkangan lelaki itu. Namun, serangan lututnya tidak telak dan hanya mengenai perutnya, membuat tubuh lelaki itu sedikit menjauh.
Bukannya kesakitan, serangan Rou Yi yang lemah membuatnya terlihat semakin semangat. Maka, ia kembali merapatkan tubuhnya lebih dekat, hingga memeluknya dengan paksa.
"Ini yang aku inginkan...." kalimatnya terputus oleh satu seruan dari belakang.
"Hei, Lan Feng!"
Satu suara berat membuat ia tak melanjutkan perbuatannya.
Ia menduga, orang yang memanggil namanya tentulah orang yang kenal dengannya. Dalam hati, ia mengumpat, disaat seperti ini, apa yang menjadi hasratnya hilang seketika digagalkan oleh orang yang tak tahu diri. Wajahnya menampakkan ketidaksenangan. Padahal, ia tadi sudah membayangkan sebentar lagi akan menikmati tubuh gadis itu.
Dengan berdiri perlahan sambil menarik nafas cepat dan memburu karena kejengkelan, ia memutar tubuh dan ingin tahu siapa orang yang telah menngganggu kesenangannya.
Ia memicingkan mata agar bisa melihat dengan lebih jelas. Cahaya yang terbatas tak mampu membuat sepasang matanya untuk melihat. Yang ia tahu, ada dua sosok tubuh sedang berdiri sekitar sepuluh langkah dihadapannya dalam bentuk siluet gelap.
Kemudian, ia melangkah maju secara perlahan semakin dekat dengan obyek yang ia coba untuk lihat agar semakin jelas.
"Kalian ini!" bentaknya dengan kejengkelan yang luar biasa, "Mengapa suka sekali mengganggu!"
Bentakan orang yang bernama Lan Feng itu justeru ditanggapi dengan suara tawa dua sosok tubuh itu.
"Apa tidak salah, bukannya saat ini kamu yang sedang mengganggu gadis itu?" salah satunya berkata dengan nada bertanya.
"Lan Feng!" lelaki lainnya berkata, "Kamu sedang bertugas, bukannya segera menyerahkan gadis itu pada Perwira Chou, malah asyik bersenang-senang di sini!"
Lan Feng berhenti melangkah ketika ia sudah bisa melihat lebih jelas kedua orang yang berada dihadapannya.
Tiba-tiba saja dia mendengus keras dan meludah, kemudian tertawa terkekeh-kekeh dengan sudut bibir menaik.
"Rupanya, dua orang pengkhianat ini yang sedang menggangguku!" katanya membalas ucapan dua orang yang ia anggap mengganggunya, "Tien Lie, Tien Jie! Aku akan menyeretmu kehadapan Perwira Chou untuk digantung!"
Dua sosok tubuh yang ternyata adalah Tien Jie dan Tien Lie, sepasang pendekar Pedang Api dan Angin itu tak menanggapi ancaman Lan Feng. Mereka malah kembali tertawa lebih keras hingga tubuh mereka juga terlihat berguncang.
"Jangan mimpi, Lan Feng!" Tien Lie berkata dengan suara membentak, "Mana ada mayat yang bisa menyeret orang hidup!"
Lan Feng terkekeh, matanya sedikit terpicing, nampak kalau ia bersikap merendahkan kedua orang dihadapannya.
"Jangan merasa diri hebat. Kemampuan kalian bukan apa-apa bagiku. Jika memang benar kalian itu hebat, mestinya Luo Bai Wu tidak berkeliaran kemana-mana!" katanya menanggapi ucapan Tien Lie, "Kalian malah membantu Luo Bai Wu dan mempengaruhi Yutaka Shisido untuk membangkang dari perintah Perwira Chou!"
Tien Jie menoleh ke arah Tien Lie, saudaranya, lalu berkata, "Biarkan kali ini aku sendiri yang menghadapi Lan Feng. Mengakhiri tingkah polahnya di dunia ini!"
Tien Lie tak berkata, melainkan tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke depan untuk mempersilahkan Tien Jie melayani Lan Feng sendirian.
Tien Jie kemudian melangkah ke depan lebih dekat dengan Lan Feng. Ia faham kalau pertarungan dia dengan Lan Feng pasti akan terjadi. Ia merasa, untuk menghadapi Lan Feng, tak perlu melakukannya dengan pengeroyokan.
Dari posisinya yang semakin dekat, ia melihat tubuh Rou Yi yang terdiam dengan wajah ketakutan tak jauh di belakang tubuh Lan Feng. Untuk memberi keyakinan pada gadis itu, bahwa mereka bukanlah ancaman, Tien Jie tersenyum pada Rou Yi sambil menangkupkan kedua kepalan tangannya sambil sedikit membungkuk.
"Nona muda," katanya dengan sopan, "Aku tak tahu namamu, tetapi yakinlah kalau kami akan mengantarkanmu kembali pada pendekar Luo."
Rou Yi tak menjawab, karena ia merasa tak yakin kalau kedua orang yang baru datang itu adalah penyelamatnya. Bisa jadi, setelah Lan Feng kalah, justeru mereka yang akan membuatnya dalam keadaan yang lebih parah. Ibarat lepas dari mulut buaya, masuk ke dalam mulut singa.
Tien Jie maklum kalau gadis itu masih tak percaya akan apa yang ia sampaikan. Maka, ia bertekad akan menunjukkan niat baiknya kemudian setelah berhasil membunuh Lan Feng.
Lan Feng menengok ke belakang dan mencibir dengan gerakan bibirnya.
"Aku akan mengantarkanmu hingga kuburan!" Lan Feng berkata dengan suaranya yang keras.
"Oh, ya?" Tien Jie menanggapinya sambil tersenyum santai.
"Cih!" Lan Feng meludah ketika Tien Jie meremehkannya.
Dengan gerakan cepat, tinjunya seperti meriam melesat ke arah kepala Tien Jie.
Tien Jie terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba itu. Tetapi, pengalaman bertarung membuatnya mampu secara refleks memiringkan tubuhnya.
Tak berhenti disitu, Lan Feng menyusulnya dengan tendangan samping dan ditangkis menggunakan tangan kiri oleh Tien Jie. Tien Jie sempat mengernyitkan dahinya, rasa nyeri akibat tusukan pedang Suro waktu itu muncul ketika tangannya membentur kaki Lan Feng.
Untungnya, suasana yang masih gelap membuat raut wajahnya yang kesakitan tak terlihat oleh Lan Feng.
Namun begitu, serangan beruntun dari Lan Feng sempat membuat tubuhnya nyaris kehilangan keseimbangan, disamping pengaruh dari kondisi tanah tempat pijakannya yang tidak rata. Tetapi, itu tidak lama. Secara perlahan, Tien Jie sudah mampu mendapatkan gerakannya kembali dalam kondisi stabil, hingga ia bisa melakukan jual-beli serangan dengan Lan Feng.
Sejauh ini, pertarungan itu masih nampak seimbang. Masing-masing saling mengejar dan tak memberikan kesempatan satu sama lain untuk beristirahat dari jangkauan serangan.
Lama-kelamaan, rasa nyeri dibahu kiri Tien Jie terasa kembali dan membuatnya hilang konsentrasi. Luka itu belum sepenuhnya kering dan terbuka kembali disaat ia terpaksa menggerakkan tangannya untuk menangkis serangan-serangan Lan Feng.
Lan Feng rupanya mulai menyadari kalau bagian tubuh sebelah kiri Tien Jie bermasalah, maka ia pergunakan kelemahan itu dengan cara melakukan desakan dan benturan-benturan pada bagian itu secara simultan.
Buk!
Tinju tangan kanan Lan Feng berhasil menembus pertahanan Tien Jie yang tak mampu ditepisnya, ia kehilangan separuh tenaga pada tangan kirinya, hingga membuat tubuh Tien Jie tersurut mundur beberapa langkah.
Belum selesai, Lan Feng kembali menyerang dengan lebih gencar.
Tien Lie yang memperhatikan pertarungan antara Tien Jie dan Lan Feng mulai merasa was-was. Jika tidak waspada, Tien Jie bisa dikalahkan oleh Lan Feng.
Ia memutuskan untuk ikut menyerang dan membantu Tien Jie dengan cara melangkah cepat memasuki pertarungan. Tetapi, Tien Jie langsung memberi isyarat dengan tangannya agar tidak ikut campur.
Tampak kalau Tien Lie sedikit kesal dan geregetan. Tak ada lagi istilah curang atau tidak jika ia ikut mengeroyok Lan Feng. Masalahnya adalah nyawa.
Melihat Tien Jie semakin terdesak, Tien Lie memutuskan untuk membantunya menyerang Lan Feng secara diam-diam. Maka, ia berpura-pura duduk bersila, seolah sedang menonton pertarungan mereka berdua, tetapi tangan kanannya secara diam-diam meraih sebutir kerikil, dan meletakkannya diantara jari-jari tangannya.
Tien Lie harus memperhatikan betul-betul gerakan keduanya, jangan sampai serangan yang ia lakukan salah sasaran dan mengenai tubuh Tien Jie.
Tak!
Tangan kanan Tien Jie berayun menyasar kepala, secara refleks Lan Feng merunduk. Disaat itulah serangan kerikil dari jari Tien Lie melesat sangat cepat mengenai pelipis Lan Feng. Gerakan merunduk kepala Lan Feng tertahan yang berakibat pukulan Tien Jie menghantam telak.
Tubuh Lan Feng langsung terputar dan terbanting ke tanah!
Kepalanya langsung patah!
Tien Lie tersenyum karena rencananya berhasil tanpa diketahui oleh Tien Jie, saudara kembarnya itu.
Tien Jie mengatur nafasnya yang turun naik akibat pertarungan yang cukup menguras tenaganya. Sambil memegangi bahu kirinya yang mengeluarkan darah, ia menoleh ke arah Tien Lie yang mendekat kepadanya sambil menyungging senyum kemenangan.
"Akhirnya...." ucap Tien Jie dengan menghembuskan nafas keras, tubuhnya berkeringat.
Keduanya kemudian menatap ke arah Rou Yi yang nampak masih ketakutan. Melihat kondisi gadis itu dengan gaun bawahnya yang tersingkap, keduanya pun buru-buru memalingkan kepalanya demi membuat agar gadis itu tidak malu.
"Nona Muda," Tien Jie berkata, "Anda tak perlu takut. Keadaan sudah aman. Tetaplah ditempatmu sampai pendekar muda Luo tiba!"
"Ya," Tien Lie menimpali, "Kami tak akan mengganggumu dan menjaga jarak pengllihatan kami agar nona percaya pada kami."
Melihat keduanya memang melakukan apa yang mereka katakan, kepercayaan Rou Yi pun muncul. Dia memutuskan untuk berlindung dibalik batang bambu menyembunyikan diri.
"Terima kasih, tuan-tuan," sahutnya.
"Tak perlu sungkan," jawab Tien Lie, "Tunggulah sampai pendekar Luo datang. Kami akan menjagamu di sini."
"Kami berharap, engkau tidak kemana-mana. Jika pendekar Luo memang sedang melakukan pengejaran terhadap orang ini, ia pasti akan melewati jalan yang sama. Oleh karena itu, kami akan menunggu pendekar Luo ditempat yang akan dilewatinya," Tien Jie melanjutkan.
Tanpa menunggu jawaban dari Rou Yi, mereka melangkah pergi meninggalkan Rou Yi sendirian di tempat persembunyiannya.
Rou Yi tak tahu, mengapa kedua orang lelaki itu bersikap baik padanya. Tetapi, hatinya terasa lebih tenang dan merasa sangat beryukur. Dari sikap mereka berdua, nampaknya tak ada alasan lagi untuk mencurigainya.