Pagi itu, Cheng Yu turun dari kuda diikuti oleh beberapa orang anggotanya yang lain. Kelopak matanya tampak lebih menyipit melihat sebuah pemandangan mengerikan di depan matanya.
Dihadapan mereka, 6 sosok tubuh tergeletak dijalanan dengan kondisi tubuh penuh luka-luka. Melihat bekas darah yang mengalir dari luka ditubuh mereka, Cheng Yu bisa menebak kalau peristiwa ini belum lama terjadi.
Dengan langkah pelan, ia berjalan diantara tubuh-tubuh tergeletak sambil sesekali memeriksa dengan pandangan matanya, barangkali masih ada yang bernafas.
"Tuan Cheng!" Zhu Lie Xian tiba-tiba berseru memanggil nama Cheng Yu dari arah belakangnya, "Sepertinya aku mengenal orang ini!"
Seruan itu membuat Cheng Yu membalikkan tubuh, lalu buru-buru mendatangi Zhu Lie Xian yang sedang duduk berjongkok dihadapan sesosok tubuh yang tergeletak.
Tubuhnya yang penuh luka, wajahnya yang lebam dan bercampur dengan darah menyamarkan wajah sosok tubuh itu, membuat Cheng Yu mengernyitkan dahi. Memang ia merasa cukup familiar dengan wajah itu, tetapi ia masih belum bisa mengingatnya, kapan dan dimana ia pernah bertemu. Sosok tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi.
Sontak jantungnya berdegup kencang, "Jangan-jangan...."
"Kalau tidak salah, dia adalah orang yang waktu itu bersama Pendekar Luo dan tuan Yang..." Zhu Lie Xuan berkata.
Kalimat Zhu Lie Xian semakin membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Artinya, pandangan matanya tidak salah, kalau sosok itu adalah orang yang memang sama dengan yang disebutkan Zhu Lie Xian.
Hal itu membuat emosinya tiba-tiba menaik membuat kepalanya terasa penuh dengan darah, wajahnya pun terlihat memerah.
"Ini adalah tangan kanan Tuan Yang. Tan Bu!" katanya dengan kalimat sedikit menggeram, "Kita datang terlambat!"
Lelaki itu langsung berdiri, dan memeriksa kembali satu-persatu tubuh tergeletak itu. Kemudian, nampak ia menarik nafas panjang. Hatinya sedikit lebih tenang begitu tidak mendapati jasad Suro diantara tubuh-tubuh yang sudah menjadi mayat itu.
"Tampaknya, pendekar Luo tidak bersama mereka," Zhu Lie Xian mengetahui, apa yang sedang dilakukan oleh Cheng Yu.
Cheng Yu mengangguk, wajahnya nampak tidak terlalu senang mendapati kejadian ini. Sesaat terdiam, wajahnya tiba-tiba saja kembali berubah. Ia ada gambaran lain.
"Jangan-jangan, pendekar Luo tidak mati, tetapi ditawan oleh mereka yang membantai keenam orang ini!" katanya sambil menoleh pada Zhu Lie Xian.
Bawahan Cheng Yu itu terdiam sesaat. Sepertinya ia punya pemikiran yang sama.
"Jika benar demikian, melihat kondisi luka pada jasad mereka, sepertinya orang-orang yang melakukan pembantaian ini masih belum jauh. Barangkali kita masih bisa melakukan pengejaran," berkata Zhu Lie Xian.
Sebelum menjawab, Cheng Yu memandang berkeliling dimana sosok enam jasad tergeletak. Matanya kemudian menatap beberapa jejak tapak kaki kuda dan roda kereta tercetak di atas tanah jalanan. Arah cetakan itu menggambarkan pergerakan menjauh dari lokasi dimana saat itu mereka berada.
Ia seperti sedang memperhitungkan waktu dengan gerakan-gerakan bibirnya. Lalu kemudian mengatakan kepada Zhu Lie Xian dengan nada perintah, "Kalau begitu, segera kita kuburkan mereka, kita bergerak mengikuti arah jejak kereta dan tapak kaki kuda ini!"
"Siap!" serunya.
Lalu lelaki itu berpaling dan berkata pada lima orang anggota yang berada disekitarnya, "Ayo, jangan buang waktu. Kita kuburkan mereka dengan baik!"
***
Ketika matahari tepat berada di atas kepala, Suro menarik tali kekang kudanya disaat matanya melihat jalan tanah yang akan ia lewati terdapat bercak-bercak warna merah yang sudah meresap di tanah. Hatinya merasa was-was. Di tempat ini telah terjadi pertarungan! Fikirnya.
Pikirannya langsung membayangkan kalau itu adalah ceceran darah rombongan Huang Nan Yu. Tetapi, buru-buru ia membuang jauh-jauh pikiran yang membuat hatinya gelisah dan menggantinya dengan pikiran lain.
Jika perampok biasa, tak bakalan mungkin bisa menghadapi tetua Huang Nan Yu, Tan Bu dan 5 orang anggota Serigala Merah. Kemampuan ilmu beladiri mereka di atas rata-rata perampok.
Tetapi, pikirannya juga yang mengatakan kalau waktu kejadiannya bertepatan dengan rombongan Huang Nan Yu sampai ditempat ini. Dan itu membuat perasaannya kembali gelisah.
Lalu, dimana mayat mereka? Batinnya.
Untuk memastikan lebih lanjut, maka ia turun dari kudanya, berjalan menyusuri jejak-jejak darah dan telapak kaki bekas orang-orang yang ada disitu.
Tiba-tiba, di tempat lain tak jauh dari kakinya berdiri, matanya langsung terpaku pada beberapa buah gundukan tanah yang masih basah. Tampaknya, gundukan tanah itu adalah kuburan yang baru saja dibuat.
Dengan jantung berdebar, ia pun mendekati kuburan itu untuk memeriksa lebih lanjut.
Bagaikan di sambar petir, darahnya terasa melonjak lebih cepat, kepalanya terasa berputar, dan lututnya menjadi tak bertenaga hingga membuatnya jatuh bersimpuh.
Ada sebuah tulisan pada batang kayu yang dibentuk sedemikian rupa seperti papan yang ditancapkan sebagai nisan, dan bertuliskan nama yang sangat akrab ditelinganya.
"Kakak Tan...." ia menyebut nama pada papan nisan itu, air matanya langsung meleleh, tubuhnya berguncang hebat.
Ia berharap sedang bermimpi kalau ternyata di dalam tanah itu telah terkubur orang yang sangat dekat yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri, yang selama hidupnya dengan setia melayani keluarga Yang dengan ketulusannya.
"Tidak mungkin!"
Hatinya menyangkal, tetapi bagaimana pun juga tulisan pada batang kayu itu membantah apa yang ditolak oleh hatinya.
Hal itu membuat air matanya mengalir semakin deras dan tubuhnya juga semakin berguncang sampai-sampai ia tersungkur dengan dahi menyentuh tanah.
"Ini tak mungkin!" ia berkata lirih dengan tubuh bergetar, "Tak mungkin kakak Tan yang terkubur di dalam sini!"
Meskipun hatinya terus-menerus menolak, tetapi kenyataan ada sebuah gundukan tanah dengan papan nisan kayu bertuliskan nama Tan Bu dihadapannya tak bisa ia pungkiri.
Bayangan bersama Tan Bu pun muncul dan bermain dalam ingatannya. Bagaimana perkenalannya waktu itu dimulai, hingga membawanya dalam kehidupan keluarga Yang dengan segala drama suka maupun duka.
Sekarang, sosok Tan Bu tinggallah kenangan yang tidak mungkin bisa Suro lupakan. Harapannya membawa serta lelaki itu ke tanah kelahiran Suro hanya sebatas harapan yang mungkin hanya bisa terwujud dalam mimpi-mimpinya saja.
Sempat terbersit bisikan setan dalam hati pemuda itu menyalahkan tuhan atas kejadian yang itu, tetapi buru-buru ia beristigfar sebanyak-banyaknya dan menggantinya dengan prasangka-prasangka baik.
Perlahan, segala peristiwa yang dia alami pun bermunculan kembali hingga ia bisa mengambil hikmah dari peristiwa yang telah terjadi. Kematian yang dialami oleh mereka merupakan anugerah, karena tuhannya sudah mengambil nyawa dari tubuh mereka sudah dalam keadaan hidup yang benar.
Hal itu membuat Suro sadar, ia tak boleh larut dalam kesedihan. Dengan tarikan nafas panjang, ia berusaha menenangkan dirinya yang dirasa telah terseret lebih dalam menikmati drama duka yang dialaminya.
Lalu matanya menatap satu-persatu 5 kuburan yang berada di samping kiri dan kanan kuburan Tan Bu sambil bertanya-tanya dalam hati tentang jasad siapa yang berada didalamnya.
Jangan-jangan kelima orang anggota Serigala Merah? Atau salah satunya adalah tetua Huang Nan Yu? Atau Li Yun, atau Rou Yi?
Fakta yang jelas, mereka yang terkubur ini adalah beberapa orang rombongan dari tetua Huang Nan Yu, dan yang menguburkannya adalah orang yang hanya mengenal Tan Bu, hingga hanya kuburan Tan Bu yang bertuliskan namanya.
Lalu, siapa yang menguburkannya?
Sesaat ia nekat berniat hendak menggali kuburan itu satu persatu untuk memastikan, tetapi kemudian ia mengurungkan niatnya ketika melihat jejak roda kereta dan tapak kaki kuda bergerak menjauh dari tempat itu.
Dihadapan keenam kuburan itu, ia kemudian berdiri.
"Kakak Tan Bu, beserta jenazah orang-orang yang terkubur di dalam tanah ini, aku Suro Bawu bersaksi bahwa orang-orang yang sudah mengenalku dan ikut bersamaku saat ini adalah orang-orang yang baik, yang bertobat atas segala kesalahan masa lalunya, dan mengikuti jalan tuhan yang lurus. Aku berdo'a semoga Allah merahmati kalian dialam barzah, menikmati istirahat yang tenang dan menyenangkan menunggu tibanya hari akhir," katanya sambil berusaha untuk tersenyum.
Keyakinan akan kematian mereka yang indah membuat hatinya terasa tenang.
Ia mencoba menguatkan hati, lalu mengambil tayamum untuk segera melaksanakan shalat dan mendoakan kebaikan atas keluarganya yang telah mati.
Setelah ini, ia akan melakukan pengejaran mengikuti jejak yang ia temukan tercetak di tanah.
***
Beberapa mill dari tempat kejadian, sebuah iring-iringan beberapa orang berkuda nampak mengawal sebuah kereta kuda di muka dan di belakangnya, berjalan santai menyusuri jalanan yang cukup lebar entah akan menuju kemana.
Tiga orang lelaki berpakaian pendekar bertampang sangar dan kejam dengan senjata pedang terselip di pinggang berkendara kuda paling depan. Ada bercak-bercak darah dibeberapa titik menempel dipakaian yang mereka kenakan. Bahkan ada diantara mereka terdapat bekas luka dibeberapa bagian tubuhnya berupa goresan benda tajam yang merobek kain pakaian mereka.
Di bagian belakang mengiringi kereta kuda, ada sekitar lebih dari sepuluh orang berpakaian prajurit dengan kondisi yang kurang lebih sama dengan tiga orang yang berjalan paling depan.
Di atas kereta kuda sendiri, dua orang berpakaian prajurit salah satunya bertindak sebagai kusir yang memegang kendali kuda.
Dari kondisi demikian, bisa dipastikan kalau mereka telah melakukan suatu pertarungan berdarah yang berakibat luka dibagian tubuh mereka.
Huang Nan Yu nampak terbaring lemah dengan kepala berada dipangkuan Rou Yi yang sedang menangis. Wajahnya sudah nyaris tak berbentuk tertutup lebam akibat hantaman benda keras. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat beberapa bekas sabetan pedang yang masih mengeluarkan darah. Namun, dari bibirnya yang sesekali bergerak menandakan kalau ia masih dalam keadaan sadar.
Sementara, Li Yun yang duduk berseberangan nampak sesekali mengernyit kesakitan, dari sudut bibirnya terdapat bekas darah mengalir. Walau pun demikian, kondisinya jauh lebih baik daripada Huang Nan Yu.
"Rou Yi," Huang Nan Yu berkata dengan suara setengah berbisik dan dalam keadaan lemah, "Jangan bersedih. Aku yakin, Tuan Muda Yang akan datang menyelamatkan kita."
Rou Yi mengangguk pelan sambil mencoba tersenyum. Sesekali tangannya yang lembut membelai kepala wanita paruh baya itu yang merupakan kakak dari tabib Yin Ke Hu, ayahnya.
"Iya, bibi..." jawabnya.
Huang Nan Yu tampak sedikit membuka matanya, menatap wajah Rou Yi yang basah oleh tetesan air mata.
"Bibi harap, kau tabah. Selama ini, kalian berdua selalu ada dalam kondisi berbahaya. Janganlah menyalahkan keadaan ini terjadi karena menjadi bagian dari keluarga Yang, terutama Tuan Muda Yang Luo...." katanya, ia seperti khawatir gadis itu menyesal memilih ikut bersama Suro dan keluarga Yang.
Gadis itu menggeleng dan tersenyum.
"Bibi, aku tak pernah menyesal atas apa yang sudah aku pilih. Aku menangis karena kelemahanku sebagai seorang gadis biasa, bukan karena kakak Luo," katanya dengan kalimat yang tegas.
Huang Nan Yu kembali tersenyum mendengar kata-kata yang diucapkan Rou Yi. Tampak wajahnya menunjukkan rasa lega.
Kemudian ia menatap sayu ke arah Li Yun yang matanya berkaca-kaca sambil meraih tangan Li Yun dan menggenggamnya dengan begitu erat.
"Nona Muda Li," katanya, "Aku juga berharap kau juga tabah. Aku tak tahu apakah nyawaku bisa bertahan ditubuh tua ini atau tidak. Kalian harus saling menjaga satu sama lain. Kalian berdua tidak salah memilih orang untuk dicintai, karena tidak ada seorang pemuda yang pernah aku temui berkarakter seperti tuan muda Yang. Semua yang kalian alami selama ini akan menguatkan kalian, erat tak terpisahkan, menjadi sebuah sejarah yang tak terlupakan untuk dikisahkan."
Nasehat Huang Nan Yu membuat Yang Li Yun tak bisa lagi menahan air matanya, hingga tubuhnya pun bergetar. Dalam hati, ia tak akan melupakan apa yang disampaikan oleh Huang Nan Yu, guru kungfunya itu.
Kedekatan dengan Huang Nan Yu tak bisa dipisahkan dan merupakan bagian dari keluarganya. Maka, jika terjadi sesuatu pada wanita itu, ia pasti akan merasa sangat kehilangan.
"Guru Nan," katanya, "Aku akan selalu ingat pesanmu. Sama seperti yang disampaikan oleh Rou Yi, aku tak menyesal menjalani kehidupan ini, bahkan aku bangga dan bahagia...."
Begitu selesai mengucapkan kalimat itu, mereka mendengar suara derap kaki kuda yang berlari melewati kereta mereka, dan tak lama kemudian kereta yang mereka tumpangi berhenti disusul suara keras saling bersahutan terdengar berdialog di luar. Sepertinya, ada yang menghadang perjalanan mereka.
Yang Li Yun kemudian mengeluarkan kepalanya dari dalam jendela kereta dan melihat beberapa orang penunggang kuda sedang menutup jalan yang akan mereka lalui.
Tampak kalau ketiga orang yang menawan mereka dalam keadaan marah.
"Sudah lama tidak bertemu, Cheng Yu!" salah satu dari lelaki sangar yang berada di depan mereka berkata dengan tatapan mata tajam dan senyum meremehkan.
Rombongan penghadang yang ternyata adalah rombongan Cheng Yu itu balas tersenyum dengan gaya yang sama. Pandangan matanya sempat melirik kepala Yang Li Yun yang menyembul dari dalam kereta.
Cheng Yu langsung berfikir, sepertinya tidak ada Suro di dalam kereta itu, dan ia yakin kalau itu adalah rombongan Suro yang pernah diceritakan oleh Zhu Lie Xian kepadanya waktu itu.
Sementara, Li Yun yang belum mengenal Cheng Yu memandang dengan pandangan seperti bertanya-tanya, apakah mereka itu adalah satu komplotan atau bukan. Yang jelas, hatinya merasa bertambah was-was ketika ternyata mereka saling kenal, suatu pertanda kalau rombongan yang baru saja datang adalah orang yang jahat juga.
"Bebaskan orang-orang yang berada dalam kereta itu!" Cheng Yu berkata.
Salah satu dari ketiganya mendengus, lalu menjawab dengan kasar, "Apa urusannya denganmu! Lebih baik menyingkir dari hadapanku sebelum celaka!"
"Zhi Yi Liang!" Cheng Yu tak bergeming mendengar ancaman lelaki yang ia sebut namanya, "Kau tahu kalau aku tak pernah takut denganmu. Aku bertanya baik-baik, tapi kau malah mengancamku!"
Mereka bertiga saling pandang, kemudian tertawa nyaring.
"Cheng Yu," satu lelaki lainnya berkata, "Walaupun kalian berenam, tetap saja tidak akan mampu mengalahkan kami. Belum lagi jika kami mengerahkan prajurit yang bersama kami. Jadi, lebih baik, segeralah pergi dari hadapan kami!"
Cheng Yu memandang berkeliling, lalu menatap ketiga lelaki dihadapannya sambil senyum menyeringai.
"Yang Liu, Mou Yin, Yi Liang, aku tak tahu sejak kapan kalian ikut sebagai bagian dari tentara kerajaan. Atau kalian sekarang merupakan orang-orang bayaran pemerintah?"
"Apa urusanmu, tak perlu mencampuri kehidupan kami. Malah kudengar kau sekarang menjadi bajak laut, maka teruskanlah usahamu di laut, jangan disini!" kali ini yang berkata adalah orang ketiga yang bernama Mou Yin.
"Aku menginginkan orang-orang yang ada di dalam kereta!" Cheng Yu berkata mengacuhkan kalimat yang diucapkan oleh Mou Yin.