Chereads / Bittersweet: 91 Days / Chapter 1 - Bab 1

Bittersweet: 91 Days

Ranran_01
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 8.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bab 1

"Kau tahu, beberapa kali malaikat kematian mendatangiku. Namun dia tidak jadi membawaku ketika mendengar tangisan dan jeritan dari kakakku."

Kalimat itu kembali terngiang tanpa bisa Yuu cegah. Dia menyesal telah mendengarkan seseorang yang tengah berbicara kepada Tuhan. Jika dia tidak selancang itu, maka Tuhan tidak akan murka dan membiarkan suara anak laki-laki itu terus saja terdengar di Telinganya.

Yuu tidak sengaja dan bukan inginnya mencuri dengar. Suara pemuda yang penuh semangat itu terdengar sampai telinga Yuu yang berdiri tidak jauh dari pemuda itu ketika dia sedang berdo'a di kuil. Bukan salahnya, kan? Pemuda itu bahkan tidak mengambil pusing ketika pemuda itu tahu bahwa Yuu mendengar semua yang dikatakan pemuda itu. Mata mereka bertemu, hanya beberapa detik dan setelahnya terputus ketika pemuda itu berlalu pergi.

Lalu kenapa Yuu bahkan tidak bisa melupakan kalimat itu? Itu sungguh menyebalkan. Kalimat itu terus saja terdengar ketika dia sedang butuh kedamaian.

Yuu mendesah dan meletakkan kepalanya di mejanya. Musim panas telah tiba begitu cepat dan membuat semangatnya luruh seakan terbawa musim lalu. Dia tidak akan berharap untuk menghabiskan liburan musim panas di rumah. Dia tidak ingin sendirian dan membiarkan rasa itu mengambil alih ruang kosong di hatinya. Memberikan dorongan yang halus agar dirinya bisa terbebas dari beban kehidupan.

"Nona muda?" Suara diketuk sekali lalu suara pria separuh baya memanggilnya dengan halus.

Yuu mengangkat kepalanya dari meja belajarnya. Dia merapikan ikatan rambutnya yang mulai melewati bahu. Dia berpikir bahwa sudah waktunya rambut miliknya di potong. Mungkin nanti dia akan meminta Kaori - temannya untuk menemaninya ke salon.

Yuu membuka pintu kamarnya dengan pelan, dia melihat Mori -kepala pelayan di rumahnya- tersenyum setelah sedikit membungkuk seakan memberi hormat.

"Tuan muda Yoichi telah datang."

Yuu tidak berekspresi sedikitpun. Dia tahu untuk apa kedatangan kakaknya ke rumah. Yuu berjalan keluar dari kamarnya dan mengikuti Mori untuk menemui kakaknya. Ini adalah kunjungan ketiga dalam sebulan. Dia tahu bahwa kakaknya menyayangi dia lebih dari orang tuanya. Namun keputusan kakaknya beberapa tahun yang lalu cukup membuat hati Yuu terluka. Dia merasa kakaknya tidak berbeda dengan orang tuanya.

Jarak antara kamarnya dan ruang tengah agak jauh. Mereka bahkan harus menuruti anak tangga yang panjang. Dan Yuu membenci rumah besar orang tuanya. Mereka hampir tidak pernah pulang dan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Lalu untuk apa mereka membangun rumah sebesar itu? Pernah suatu hari kakaknya berkata bahwa rumah itu adalah bangunan yang dibuat oleh leluhur mereka dan sudah ditempati secara turun temurun.

"Yuu ..."

Yuu dapat mendengar kekhawatiran di suara itu. Dia tahu bahwa kakaknya perduli kepadanya. Namun keputusan Yoichi beberapa tahun yang lalu cukup membuatnya seakan telah dikhianati. Perlahan namun pasti Yuu mulai membiasakan diri dan membiarkan hatinya tega untuk membenci kakaknya juga

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Yoichi. Pria itu nampak ragu ketika kakinya ingin mendekat namun tertahan di langkah selanjutnya. Pertemuan terakhir mereka agak buruk. Yuu memaki kakaknya habis-habisan sebagai pelampiasan. Dia mengatakan seluruh isi hatinya dengan tangisan. Bahwasannya dia kesepian. Dia membutuhkan kakaknya untuk menjadi sandaran. Tapi Yoichi tidak bisa kembali ke rumah. Bukankah itu egois? Seharusnya Yoichi lebih nekat lagi dan membawanya ikut keluar dari rumah. Tapi Yoichi tidak melakukan hal tersebut dan membiarkannya dirinya sendirian. Dia mulai berpikir bahwa dia bisa menjadi beban untuk kakaknya.

"Apa kau masih peduli? ah, kukira kau tidak ingat punya saudara perempuan." Yuu berkata dengan dingin dan cukup melukai pria itu. Dia tahu itu, wajah kakaknya kembali murung seakan rasa bersalah bertumpuk di sana. Yoichi tidak akan meminta maaf lagi. Yuu tidak membutuhkan itu. Yoichi berhak memilih apapun untuk hidupnya sejak pria itu tidak lagi menggunakan uang orang tuanya untuk bertahan hidup.

"Yuu, kakak perduli kepadamu."

Yuu ingin tertawa, namun suara itu hanya sampai pada tenggorokannya saja. Akibatnya hanya Senyum kaku yang terlihat . Kalimat itu tulus. Meski Yuu tahu bahwa kakaknya tidak berpura-pura, namun dia tidak bisa menerima itu. Dia sendirian sekarang. Yoichi benar-benar telah membuat hatinya benar-benar kosong.

"Jangan membuat kakak khawatir."

Yuu melirik ke arah Mori dengan ekor matanya. Pria tua itu hanya diam tanpa rasa bersalah. Selalu seperti itu, Mori akan menghubungi kakaknya setiap kali Yuu melukai dirinya, "Mori-san bekerja untuk siapa?

"Yuu!"

Sudah sejak lama Mori berkeinginan untuk pensiun. Dia sudah tua sekarang. Hampir tiga puluh tahun bekerja di keluarga Takahashi. Namun keinginannya itu terkalahkan ketika melihat gadis kecil kesepian dan Mori berpikir untuk bertahan sedikit lebih lama.

Tapi Yuu tumbuh tidak sesuai harapan. Hatinya agak lemah jika dibandingkan dengan kakaknya. Dia ceria pada awalnya, namun setelah kepergian kakaknya dia kembali murung. Orang tuanya menyayangi dia dengan cara yang berbeda. Segala keperluannya sudah dipersiapkan, namun itu tidak bisa mengisi lubang di hatinya. Tidak seperti yang dia harapakan. Bisa bertemu setiap hari dan sedikit bercanda di waktu luang. Menanyakan tentang bagaimana hari-harinya di sekolah. Mendiskusikan kegiatan dan tempat dimana mereka akan menghabiskan akhir pekan. Tapi itu tidak pernah terjadi. Yuu merasa hatinya hampa.

Sementara itu Yoichi begitu tangguh dan berani mengambil resiko. Yoichi memutuskan lari dari rumah setelah hubungannya dengan kekasihnya ditentang habis-habisan oleh orang tuanya. Dia hidup bebas sekarang. Ayahnya tidak membutuhkan anak pembangkang. Yuu ingin juga seperti itu. Namun dia tidak cukup berani untuk tinggal di jalanan. Dia bahkan belum menghasilkan uang sendiri.

"Jangan menyiksa dirimu."

Yuu hampir tidak bisa bernapas mendengar itu. Dia tidak mempunyai pilihan ketika untuk kesekian kalinya mencoba menenggelamkan dirinya di bak mandi. Dia tidak bisa berpikir normal. Janji-janji bahwa dia akan hidup dengan damai terngiang di kepalanya dan itu cukup membuatnya berbuat nekat. Tanpa sadar dia telah berbaring dan membiarkan kepalanya tenggelam. Hari terakhir rasanya agak berhasil ketika dia hampir tidak ingat apapun selain rasa tenang.

Tapi itu tidak lama. Ketika Yuu membuka mata, Wajah Mori penuh dengan kekhawatiran. Dia bukan siapa-siapa jika berbicara tentang hubungan darah. Dan Mori bersikap seolah pria tua itu adalah ayahnya. Mori terisak dan mengucap syukur ketika Yuu mulai sadar dan mampu melewati masa kritisnya. Pria tua itu memeluknya dengan erat seakan takut jika Yuu akan kembali jatuh dan tidak dapat diselamatkan. Betapa pria itu begitu menyayangi Yuu sepenuh hati. Tapi Yuu membutuhkan orang tuanya, bukan pengasuhnya.

Yuu menangis hari itu. Orang tuanya tidak datang bahkan ketika dia hampir mati di bak mandi. Seperti hari-hari sebelumya ketika dia sekarat karena berusaha memutuskan urat nadinya. Orang tuanya tidak menampakkan batang hidupnya. Bahkan untuk sekedar menelpon saja tidak mereka lakukan. Sementara itu kakaknya baru bisa datang setelah seminggu sejak kejadian itu.

"Aku baik-baik saja." Sekarang, Yuu menambahkan kalimat itu di hatinya. Yuu selalu terlihat baik-baik saja. Semua orang melihat seperti itu. Dia lahir dan tumbuh besar di keluarga kaya raya. Segala kebutuhannya terpenuhi tanpa dia harus merengek. Dia bisa tertawa dan bercanda seperti kebanyakan anak seusianya. Dia bahkan bisa berbaur dengan baik seakan tanpa beban. Yah, dari luar tidak ada yang salah. Siapa yang peduli tentang bagaimana lubang yang besar di hati Yuu bisa ada?

"Bukankah kau harus mencari uang untuk hidupmu?" Yuu tidak sedikitpun mengubah nada bicaranya. Dia tidak ingin pria itu berada di dekatnya sedikit agak lama. Jika Yuu membiarkan hal itu, dia takut tidak akan bisa melepaskan kakaknya lagi dan kebencian itu semakin besar, "Pergilah. Bukankah melihatku berdiri sudah cukup membuat hatimu lega?"

Yuu menarik napas agak panjang. Dia berbalik, enggan mengucapkan kalimat yang lebih panjang lagi. Tanpa mendengarkan kata-kata Yoichi, dia berjalan menjauh dari kakaknya. Dia lelah, tidak secara fisik. Jika bisa, dia ingin menukarkan kesehatan fisiknya untuk batinnya.

**

Pagi itu suasana sekolah agak berbeda. Yuu melihat beberapa murid yang berlari ke arah kelasnya dan berdiri di depan pintu. Itu tidak seperti biasanya, tidak ada yang istimewa di kelasnya. Beberapa murid perempuan bahkan tertawa cekikikan dan saling berbisik usai dari kelasnya. Dia semakin penasaran dan melangkah semakin cepat.

"Bisa minggir?"

Melihat Yuu, beberapa anak memberi jalan untuk masuk. Yuu tidak melewatkan kesempatan itu dan berjalan melewati kerumunan. Wajahnya sedikit tegang sesaat ketika dia telah berada di dalam kelas. Dia tidak bisa menghentikan keterkejutan yang datang menghantamnya. Wajah itu ... Ingatan Yuu mulai berputar dalam seminggu terakhir.

"Yamada-kun, Kau akan menerima tawaran itu, kan?" suara kakak kelas memecahkan lamunan Yuu.

Yuu ingat sekarang. Pemuda itu adalah orang yang dia temui beberapa waktu yang lalu ketika dia hendak berdo'a di kuil. Tapi mengapa pemuda itu ada di kelasnya? Apakah dia anak baru yang seharusnya masuk minggu lalu? Yuu tidak berani berpikir lebih, jadi dia berjalan dengan pelan menuju bangkunya.

"Ah, maaf Senpai." Pemuda itu tertawa ringan, "akan tidak sopan jika aku merebut posisi itu."

Tatsuo, Kakak kelas yang berbicara tadi hampir menoyor kepala pemuda itu namun lebih dulu dihindari.

"Ah, Yuuki sekarang berlagak jika dia lebih muda dari kita." Tatsuo, kapten dari Klub bisbol ikut menimpali. Yuu sekarang tahu kenapa murid-murid yang lain berdiri di depan kelasnya. Tatsuo cukup terkenal di sekolahnya. Selain Pitcher andalan, Pemuda itu adalah Kapten yang dikagumi banyak murid.

"Jangan membuatku mempunyai banyak musuh." Yuuki, pemuda itu seakan memberi perlawanan.

Yuu memperhatikan interaksi itu dari bangku yang tidak jauh dari Yuuki. Agak aneh jika mereka terlihat begitu akrab ketika belum ada sehari Yuuki berada di sekolahan ini.

"Hei, kalian." Guru akhirnya datang dan menghancurkan reuni mereka bertiga, "jangan mengganggu anak baru," lanjutnya yang kemudian disahutin kalimat tidak terima. Sebelum pergi mereka kembali meminta murid baru itu untuk menerima tawaran untuk menjadi kapten baru klub bisbol

"Sebelum pelajaran dimulai. Kenalkan teman baru kalian." Nakamura - wali kelas sekaligus guru Sastra mulai berjalan ke arah bangkunya. Dia meletakkan beberapa buku di atas meja dan meminta pemuda itu untuk maju.

Pemuda itu menurut dan maju ke depan. Pemuda itu cukup tinggi, mungkin sekitar 180 cm. Rambutnya hitam dan rapi. Yah, memang cocok jika dia menjadi pemimpin mengingat dia mampu menjaga kerapiannya.

"Namaku Yamada Yuuki. Salam kenal," Yuki tersenyum, membuat beberapa murid perempuan terpesona dan yang laki-laki tidak terima, "tidak ada yang istimewa dariku."

Semua terdiam. Perkenalan itu begitu singkat dan Nakamura terlihat biasa saja.

"Kau bisa kembali," Ucap Nakamura yang dihadiahi sahutan tidak terima. Secara fisik, Yuki terlihat tampan. Jadi wajar saja jika para murid perempuan ingin mengetahui hal lebih tentang pemuda itu.

Yuu bisa melihat bahwa selain penampilan yang baik, senyum Yuuki bersahabat. Yuu memperhatikan setiap langkah Yuuki menuju bangkunya yang berada tepat di sampingnya dengan sedikit jarak untuk jalan lewat.

Yuu sedikit bingung ketika Yuuki berdiri di samping bangkunya dan bukannya langsung duduk di tempatnya. Yuu ingin mengabaikan hal itu, namun rasa penasarannya lebih besar dan mendorongnya untuk mendongak. untuk kedua kalinya mata mereka bertemu. Iris cokelat terang itu terlihat meneduhkan.

"Ano-san," Yuuki berbicara dengan pelan, "apakah wajahku seperti orang yang sekarat?" lanjutnya agak dingin.

Yuu hanya diam. Dia tidak tahu mengapa Yuuki berkata seperti itu. Mereka tidak pernah mengenal satu sama lain. Bahkan dia tidak tahu atas dasar apa Yuuki mempunyai pemikiran seperti itu. Pemuda itu agak menjengkelkan. Yuu tidak tahu dari mana pikiran itu muncul.